Golkar benar-benar pandai bermain silat! Sebagai partai tertua, dengan pengalaman berkuasa yang belum pernah tertandingi, Golkar sangat lihai memainkan isu, khusus yang berkaitan dengan upaya merebut kekuasaan.
Begitu terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, Setya Novanto (SN) menyatakan tidak saja mendukung pemerintahan Jokowi-JK hingga akhir masa jabatan kepresidenan, melainkan juga mendukung pencalonan Jokowi periode kedua dalam pilpres 2019. Sebuah titik start yang brilian! (baca di sini )
Sebagian pengamat, dan publik pendukung Jokowi menyambut positif dukungan ini. Namun, saya ingin mengajak kita mempertimbangkan sisi lainnya.
Kita tahu bahwa Golkar dibawah dua kali kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB) terus mengalami penurunan performa dan dukungan pemilih. Meski demikian, hingga saat ini pun ARB belum rela melepaskan cengkeraman kekuasaannya atas Golkar. Tanpa modalitas kepantasan untuk menduduki posisi prestisius sebagai “pengendali Golkar,” yang secara formal dipegang DPP, ARB selalu sukses menggagalkan berbagai upaya yang hendak menggoyang posisinya. Tarik ulur waktu pelaksanaan Munaslub (setidaknya 5 kali berubah, Sumber), sendiri merupakan bukti, betapa ARB sedang meracik bumbu yang tepat sebelum “pesta” Munaslub diadakan. Intinya, ia ingin pastikan posisi dan agenda masa depannya tidak terganggu melalui Munsalub itu. Awalnya bahkan ia tidak setuju Munhaslub.

Senyum besar ARB kian merebak lebar ketika Setya Novanto sukses terpilih secara aklamasi menjadi penggantinya di Ketua DPP. Memang, Ade Komarudin pun masih kader ARB, tetapi skenario besar ARB akan lebih kondusif berjalan mulus melalui kepemimpinan SN.
Dengan menyatakan dukungan kepada Jokowi dalam Pilpres 2019, padahal masih tiga tahun lagi, SN ingin merebut hati publik Indonesia, yang sebagian besarnya semakin percaya dengan kinerja Presiden. Apalagi, publik tidak begitu yakin apakah PDIP akan mendukung Jokowi di Pilpres 2019, maka pernyataan SN benar-benar mengobarkan harapan. Seperti menabur serbuk sabu-sabu ke minuman artis yang sedang galau, publik mulau bergairah.
Apalagi, diikuti wacana kemungkinan Golkar akan dukung Ahok di Pilkada DKI (Sumber baca disini) hati dan emosi publik, khususnya para pendukung dan simpatisan kedua pemimpin berprestasi dan berintegritas unggul tersebut dibuat berbunga-bunga. Seperti gadis ABG puberan yang pertamakali dirayu pembual buaya darat.
Pembawaan Setya Novanto yang nampak ramah, rendah hati dan merakyat kemungkinan akan terus merebut kepercayaan masyarakat. Ia akan mampu mengkonsolidasi internal Golkar, mulai dari pusat hingga daerah. Dan, ini menjadi modal dasar untuk menarik simpati massa yang lebih besar lagi. Selain bagi bekas pendukung dan simpatisan Golkar yang berpindah ke lain hati akibat kepemimpinan ARB yang tidak pernah jelas arah, juga bagi pemilih maupun simpatisan PDIP yang mulai meragukan sikap partai terhadap “pekerja partainya” yang kebetulan jadi Presiden itu. Juga, sikap PDIP yang terkesan kontra terhadap Ahok memberi alasan kuat hengkangnya pendukung ke “Golkar baru” pimpinan SN.
Meski hasil survei LSI-Denny J.A menujukkan suara Golkar akan makin anjlok pasca konflik internal (Sumber baca disini), saya berani membuat prediksi yang berkebalikan pasca SN terpilih sebagai Ketua, terutama sikapnya terhadap Pemerintahan Jokowi dan Gubernur Ahok. Kejelasan sikap yang diberikan sejak awal terpilih menjadi pimpinan Golkar memiliki efek positif, dan dengan itu nampaknya SN akan sukses menaikkan suara Golkar, sebaliknya peroleh suara PDIP berpotensi turun lantaran ketidaktegasan dan ketidakjelasan sikapnya terhadap Jokowi dan Ahok.
Sukses menaikkan suara dukungan Golkar tidak sertamerta memberi keuntungan politik besar bagi SN. Saya berani bertaruh SN tidak menikmati hasil keringatnya! Jadi siapa? Siapa lagi kalau bukan Ketua Dewan Pembina (KDP)? Bukankah, dalam sejarahnya KDP adalah Presiden RI?
Bagaimana itu terjadi? Perhitungannya sederhana saja. SN terjerat banyak kasus, dan itu akan diangkat sedemikian rupa sehingga “kekotorannya” SN jauh lebih pekat dari lumpur Lapindo. Selama tiga tahun ke depan, dengan bersembunyi dibalik “kursi emas megah KDP,” ARB lepas dari sorotan publik. Harapannya, dengan itu ingatan publik terhadap kasus Lapindo makin memudar. Apalagi dibandingkan dengan kasus-kasus SN yang jumlahnya lebih banyak, dan sebagai pimpinan DPP selalu menjadi sasaran tembak, sebagaimana dialami ARB selama dua kali Pemilu. Di sini, SN tidak mungkin dicalonkan menjadi capres maupun cawapres.
Setidaknya ada dua alasan kuat. Pertama; seperti sudah disebutkan, “dosa” SN jauh lebih hitam dari dosa ARB. Dosa besar SN itu menjadi semacam rantai yang sudah terkiat di leher, dan ARB tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menariknya bila diperlukan. Kedua; Pilpres dan Pileg 2019 dilaksakan secara serempak sehingga setiap Parpol bisa mengajukan capres sendiri (tanpa presidential treshold). Karena keputusan itu termasuk keputusan strategis maka DPP Golkar harus putuskan bersama KDP. Frase “putuskan bersama” itu hanya penghalusan, yang sesungguhnya adalah, DPP harus mendengar instruksi KDP. Dengan kata lain, keputusan siapa yang maju sebagai pasangan Capres-cawapres dari Partai Golkar sepenunya berada ditangan KDP. Dan, seperti patronnya, the smiling general yang selalu “tidak ingin berkuasa” namun karena “rakyat dan warga Golkar mendesak,” maka ARB sudah pasti tidak tahan akan desakan itu. Jadilah, SN bekerja keras membenahi Golkar, menaikan dukungan, tetapi Ketua Dewan Pembina, ARB menikmati hasilnya.
Maka saya ingin menegaskan kesimpulan saya. Peryantaan SN bahwa Golkar mendukung Jokowi sebagai Capres 2019 itu sesungguhnya racun memabukkan. Seperti tuba, SN menaburnya ke kolam politik Jokowi hanya untuk menjaring massa pendukung sang Presiden. Tetapi, di ujungnya ARB, sang KDP-lah yang akan menjadi Capres Golkar 2019!
Salam kompasiana!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI