Pemerintah berencana membangun tanggul raksasa sebagai reaksi atas penurunan muka tanah. Beberapa ahli menyatakan rencana ini tidak akan efektif. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya, dengan sangat cerdas mengakhiri kekisruhan reklamasi dan banjir Jakarta dengan “proyek Garuda.” Seperti diketahui kekisruhan proyek reklamasi 17 pulau di pantai utara Jakarta telah memakan korban, baik dari kalangan pengusaha maupun legislatif. Demikian pula, banjir yang biasanya menelan korban orang-orang kecil kini memakan korban besar, yaitu walikota Jakarta Utara.
Proyek ini sebenarnya sudah digagas presiden SBY di saat-saat akhir pemerintahannya (Oktober 2014). Namun, diangkat lagi oleh Presiden Joko Widodo pada saat yang tepat, ketika proyek reklamasi dan persoalan banjir terkesan bergerak liar dan “melenceng dari Garuda.” Dengan ditarik paksa ke dalam pusaran arus politik yang terkenal ganas, visi besar diabaikan sementara aspek teknis yang diributkan dan diperebutkan.
Dalam Rapat Terbatas Rabu (27/4) yang dipimpin langsung oleh Presdien, membahas Proyek Pengembangan Kawasan Pesisir Terintegrasi Ibu Kota Nasional atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Rapat dihadiri oleh kementerian terkait dan 3 gubernur, yaitu DKI, Banten, dan Jawa Barat. Proyek ini juga dikenal dengan nama “Tanggul Laut Garuda Raksasa,” yang melibatkan dua Negara, yaitu Belanda dan Korea Selatan.
Dengan demikian, “Proyek Garuda Raksasa” (proyek Garuda) akan mengintegrasikan proyek reklamasi 17 pulau, sekaligus mengatasi masalah banjir ibu kota. Secara rinci, sebagaimana dikutip dari harian Kompas (28/4/16) tujuan proyek Garuda adalah untuk menyelesaikan masalah penyediaan air bersih, mitigasi bencana (karena penurunan permukaan tanah di teluk Jakarta yang mencapai 7,5-12 cm setiap tahun, bahkan diperkirakan 2030 seluruh Jakarta Utara berada dibawah permukaan laut), dan pengendalian banjir. Ditekankan juga oleh Sekretaris Kabinet, Pramono Anung Wibowo, oleh arahan Presiden Jokowi, pelaksanaan proyek diharapkan menjawab persoalan lingkungan, biota laut, mangrove, tidak boleh melanggar hukum (perlu sinkronisasi aturan di semua kementerian dan lembaga Negara), juga harus memberi manfaat bagi masyarakat setempat, tentu termasuk para nelayan.
Dua poin penting lain yang ditegaskan oleh presiden, sebagaimana disampaikan oleh Gubernur DKI, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) adalah bahwa meski proyek garuda sebagai “penyelamat,” tidak dicampuradukkan dengan kasus hukum proyek reklamasi yang sedang dalam penanganan KPK. Juga adanya kepastian bahwa Negara atau pemerintahlah yang sepenuhnya mengendalikan proyek, bukan pengusaha.
Penegasan ini menunjukkan, bahwa proyek garuda tidak saja sukses mengintegrasikan semua kepentingan, memberi solusi jangka panjang bagi permasalahan bangsa, tanpa mengorbankan penegakkan hukum. Bahkan, lebih penting lagi adalah, dengan itu wibawa Negara ditegakkan, sekokoh kepakan kuat sayap Garuda menghalau badai menggapai tujuan nasional.
Kecerdasan Presiden Jokowi dengan “politik Garuda” akhirnya menjadi solusi holistik dan parmanen bagi masalah bangsa. Percayalah, secara filosofis garis politik Garuda (Pancasila) memiliki karakter yang unik, mencirikan kepribadian bangsa (nasional), bersifat integratif, solutif, rekonsiliatif.
Beberapa poin penting dan tegas dari “garis Politik Garuda,” presiden Jokowi ini adalah:
- Proyek reklamasi 17 pulau tetap jalan, karena merupakan bagian integral dari pembangunan proyek garuda, dengan tujuan dan manfaat yang telah dikemukakan di atas.
- Proyek dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah, bukan pengusaha dan pengembang, bukan oleh donatur, bukan oleh politisi-politisi kuat. Sekali lagi, pemerintah! Karena lokasinya di wilayah DKI maka sepenuhnya menjadi tugas Pemerintah DKI, dalam hal ini gubernur dan jajarannya. Jadi, bukan masalah Ahok. Kalau dalam Pilkada 2017, misalnya Yusril Izha Mahendra, atau Haji Lulung, atau M.Taufik, Sandiagio Uno, atau siapa pun yang terpilih menjadi gubernur, dialah yang mengendalikan proyek ini.
- Proyek juga tidak dikendalikan oleh LSM, nelayan, termasuk para "pembela nelayan dan masyarakat kecil,” seperti Ratna Sarumpaet, Yusril, dan lainnya yang cukup vocal untuk itu. Persoalan rumah perahu akibat nelayan yang tidak mau pindah ke rusun yang telah disediakan pemerintah, bukanlah alasan untuk menghentikan proyek.
- Proyek memberi manfaat bagi masyarakat setempat. Ini tidak dalam arti apapun tuntutan masyarakat setempat harus dituruti pemerintah. Melainkan, pelaksanaan proyek memberi kepastian adanya manfaat langsung berjangka panjang bagi masyarakat.
- Penegakkan hukum atas berbagai pelanggaran atau kejahatan yang telah terjadi tetap diproses. Siapapun yang terbukti “bermain-main” untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok lewat proyek ini harus dihukum sesuai aturan.
Demikianlah, garis politik Garuda merupakan jurus cerdik dari Presiden Joko Widodo. Dengan itu, Presiden memposisikan kembali program-program pemerintah ke jalur yang benar, yaitu pencapaian visi bangsa. Ini bagian dari pembangunan karakter bangsa, yang dengan demikian juga menegakkan wibawa negara dan wibawa pemerintah.