Paus Fransiskus saat membasuh kaki 12 warga dari negara yang berbeda. Di antara dari Syria dan Pakistan. Foto: AFP
[caption caption="Para pengungsi suriah ikut Paus ke Vatikan (Foto: AFP Photo/Filippo Monteforte)"]
Sejak awal tragedi kemanusiaan akibat krisis dan perang saudara di Suriah, yang lebih diperparah oleh “ekspansi” ISIS di sejumlah negara di Timur Tengah, seperti Irak, Turki, Libanon, Mesir, dan Suriah, masyarakat di daerah-daerah itu telah kehilangan kenyamanan. Tempat dimana pesan-pesan perdamaian dan cinta kasih lahir pertamakali dalam peradaban lewat suara para nabi besar agama-agama Abrahamik justru dirasakan bertolakbelakang oleh penghuninya. Jauh dari “suasana surga” yang menjadi inti ajaran agama-agama itu, mereka justru menghidupi keseharian yang penuh teror kebencian dan bayang kematian.
[caption caption="Pengungsi dari Suriah menuju perbatasan di Jordania. (Foto: Dok. satuharapan.com/UNHCR)"]
Para pengungsi ini terusir keluar, awalnya tanpa tujuan kecuali menghindari ancaman pembunuhan di rumah dan kampung sendiri. Mereka sekadar ingin mendapatkan tempat penampungan yang menjamin keamanan kehidupan dan masa depan generasinya. Mereka berjalan kaki ratusan kilometer, melewati gurun kering melawan cuaca ekstrim dengan pakaian melekat di badan, haus dan kelaparan berhari-hari, dengan memikul harta tersisa yang masih bisa dibawa. Juga membawa anak-anak yang masih kecil, bahkan yang masih menyusui. Beberapa ibu terpaksa melahirkan di perjalanan. Tidak sedikit yang mati kalaparan dan kelelahan. Mereka masih harus berjuang melewati perbatasan, yang kerap dijaga ketat oleh tentara dengan moncong senjata yang selalu siap memuntahkan timah panas.
[caption caption="Para pengungsi Yazidi menghindar dari serbuan ISIS di Irak (Reuters)"]
[caption caption="Ilustrasi: arrahmahnews.com"]
Wajah Tuhan dan Wajah Kita
Dalam perspektif Emmanuel Levinas, wajah-wajah (dalam hal ini wajah para pengungsi) itu telanjang, polos dan langsung berhadapan “muka dengan muka” dengan kita. Wajah itu tidak terbingkai dalam jubah agama, etnis, ras, bahkan dalam baju si miskin atau orang-orang yang kalah. Ia tidak terkategori. Wajah itu unik, khas, menatap langsung ke kita dan menghimbaukan tindak-laku keadilan, kebenaran, cinta kasih,assalamualaikum, shalom, Namo Buddhaya, Om Santi, Santi, Santi, Om, dan sejenisnya. Wajah-wajah itu adalah “pancaran sang Ilahi” yang melawat kita.
Awalnya Paus Fransiskus menghimbau Negara-negara Eropa untuk membuka pintu bagi gelombang pengungsi Timur Tengah. Kemudian, Paus khusus menghimbau umat Katolik di Eropa untuk menampung para pengungsi itu, setidaknya setiap Paroki menampung sejumlah keluarga. Bahkan, ditengah-tengah teror bermotif agama mencekam Eropa dan Amerika, para pemimpin negara-negara itu dengan arif membuat distingsi tegas antara teroris (pelaku teror) dengan pengungsi. Mereka menghadapi dan menangani para teroris dengan tegas dan keras demi melindungi warga negaranya, tetapi juga menerima pengungsi dengan sikap kasih dan empati. Meski para pemimpin negara-negara ini harus menghadapi tekanan politik dalam negeri dari pihak oposisi, tidaklah melumpuhkan rasionalitas dan membutakan mata batin untuk menyambut saudara-saudaranya itu di rumah mereka.
Wajah yang lain adalah wajah Tuhan, demikian Emmanuel Levinas. Wajah yang tegas dan kuat mengetuk nurani, dan menguji penghayatan atas ayat-ayat suci yang diikrarkan setiap saat dalam ritual-rtual agama. Bahkan setiap saat ketika bertemu dan berpisah, lewat ucapan assalamualaikum, shalom, dan sejenisnya.
Ungkapan Paus yang sangat impresif dalam khotbahnya pada Jumat Agung 25 Maret 2016, sebagaimana dikutip international.kompas.com dari Reuters sebagai berikut: “Hari ini, kami melihat diri-Mu (Yesus) dalam wajah anak-anak, para perempuan yang ketakutan akibat perang dan kekerasan. Beberapa orang dari mereka harus pula menghadapi kematian. Sementara itu, banyak 'Pilatus' yang mencuci tangan mereka."Pertama; para pengungsi memancarkan wajah Kristus, yang menghimbau tanggungjawab kita. Kedua; Pilatus yang dimaksudkan Paus adalah semua kita yang tak acuh terhadap gelombang pengungsi, yang oleh pemimpin umat Katolik ini juga disebuat sebagai krisis kemanusiaan terbesar sejak Perang Dunia II.