Dalam tulisan saya sebelumnya (baca di sini) sudah saya sebutkan bahwa lahirnya “jalur independen” sebagai jalur alternatif merupakan indikasi dari kegagalan Partai Politik melaksanakan fungsi dan perannya. Aspirasi masyarakat mampet. Tingkah dan tindak kader-kader Parpol yang kerap mengabaikan aspirasi rakyat,juga keterlibatan kader parpol dalam sejumlah kejahatan, seperti korupsi, kekerasan, dan kejahatan kriminal lainnya menggerus simpati dan kepercayaan publik.
Maka, tuduhan deparpolisasi setepatnya diarahkan ke diri Partai Politik itu sendiri. Delegitimiasi yang berkaitan dengan pencalonan di Pilkada, misalnya, merupakan bukti kegagalan parpol melakukan fungsi rekruitmen sehingga tidak menciptakan kader pemimpin kredibel, yang berintegritas, dan kompeten untuk mengisi jabatan-jabatan publik. Sebaliknya, kader-kader yang oleh masyarakat dinilai memiliki kualifikasi memadai justru diabaikan oleh Partai Politik. Dari sinilah, lahir jalur independen guna membuka jalan bagi “kader-kader pilihan masyarakat” agar bisa menduduki jabatan-jabatan publik. Bukankah, jalur inilah yang menghasilkan Ahok, Jokowi dan kader “non” Parpol lainnya? Cobalah perhatikan kader-kader pilihan Parpol. Berapa kepala daerah (pilihan Parpol) yang terjerat korupsi? Bahkan, orang-orang seperti Setya Novanto, yang terindikasi terlibat korupsi pun bisa jadi pimpinan tertinggi di lembaga terhormat DPR-RI. Atau, pimpinan-pimpinan teras (mantan) Parpol yang masuk penjara karena kriminal, seperti Anas Ubraningrum, Surya Darama Ali, Angelina Sondakh, Sutan Batugana, Rio Capella, dsb. Berapa pula jumlah Kepala Daerah sebagai hasil rekruitmen Parpol yang kemudian terjerat kasus kriminal? Dikutip dari nasional.kompas.com, Mendagri Tjahjo Kumolo menyebut setidaknya terdapat 343 (data 2015) atau sekitar 65%. Inikah prestasi Parpol? Bagaimana rakyat bisa mempercayai Parpol? Kinerja Parpol dan wakil-wakilnya di DPR maupun pemeritahan tidak cukup kuat membuat rakyat percaya.
Maka, kesimpulannya adalah “deparpolisasi” seperti yang ditakuti secara berlebihan oleh PDIP dan Parpol lainnya tidak lain dan tidak bukan, merupakan gejala takut pada diri sendiri. Kehadiran jalur independen menelenjangi Parpol yang terlihat tidak kompeten. Maka, deparpolisasi yang dikhawatirkan itu sesungguhnya adalah hasil bunuh diri. Parpol melakukan Harakiri. Jalan keluar terbaik ya, perbaiki diri. Lakukan fungsi dan peran secara baik dan benar. Hanya dengan cara itulah, harakiri berlanjut bisa dicegah, lalu Parpol melakukan revitalisasi fungsi dan peran idealnya sehingga kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Tidak ada alasan untuk takut pada jalur independen. Sifatnya hanya sementara sebagai jalur alternatif untuk mengatasi kemempetan dan kemacetan aspirasi masyarakt di jalur tol Parpol. Bila Parpol sudah melakukan fungsi dan perannya dengan baik dan benar, jalur independen akan hilang dengan sendirinya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H