[caption caption="Foto: Aditya Mardiastuti/detikcom"][/caption]
Kabar baik dari Kejaksaan Agung! Kabar baik bagi seluruh masyarakat Indonesia, bagi penegakkan hukum, khususnya bagi upaya pemberantasan korupsi!
Kabar tentang Deponeering kasus Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW) telah lama dinantikan publik. Terutama penggiat anti korupsi. Masalahnya, sudah sempat diwacanakan namun ditolak Komisi Hukum DPR-RI. Maka, pengumaman resmi pemerintah lewat Jaksa Agung menjadi kabar gembira. Dengan gagahnya M.Prasetyo mengumumkan: "Sebagai Jaksa Agung, saya menggunakan hak prerogatif mengambil keputusan. Dan keputusan yang diambil mengesampingkan perkara atas nama Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, semata-mata demi kepentingan umum," demikian Prasetyo di Kejagung, Jl Sultan Hasanudin, Jakarta, Kamis (3/3/2016) seperti dilaporkan news.detik.com.
Saya sebut gagah karena sikap dan diksi yang digunakan oleh Jaksa Agung sangat kuat. “Saya menggunakan Hak Prerogatif mengambil keputusan,” memberi kesan pasti, berwibawa, dan menggambarkan posisi hukum yang tegak-kokoh. Hak yang memang dijamin dalam Undang-undang Kejaksaan dan digunakan tepat waktu dan tepat kasus. Keputusan ini sedikit meningkatkan kepercayaan masyarakat pada keseriusan pemerintah menegakkan hukum dan menangani masalah korupsi.
Alasan lainnya yang dikemukakan Jaksa Agung adalah bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang memerlukan peran serta semua pihak. “Ketika ada salah satu pegiat anti korupsi, aktivis yang dikenal di jaringan luas di kalangan masyarakat, jika tidak segera diselesaikan, akan mempengaruhi semangat kita untuk memberantas korupsi," tuturnya. Saya bahkan berharap, AS, BW dan Novel Baswedan kembali bertugas di KPK, meski tidak lagi sebagai pimpinan.
[caption caption="Bambang Widjojanto dan Abraham Samad (VIVA.co.id/Muhamad Solihin)"]
Publik tahu bagaimana kinerja AS, BW (termasuk Novel Baswedan dan pimpinan KPK lainnya) menahkodai KPK. Ditengah gencar-gencarnya mereka mengejar dan menangkap koruptor kelas kakap, lalu mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat, tiba-tiba langkah mereka terhenti oleh tuduhan kasus masa lalu, yang seharusnya tidak menjadi prioritas. Sebelumnya, AS sudah diganggu oleh Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto dengan tuduhan “pertemuan politis AS dengan petinggi PDIP, dalam kaitan dengan pencapresan.” Sebuah tuduhan yang juga tidak jelas. Padahal korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan sepantasnya berada di strata very high priorty, secara ironis justru dikalahkan tuduhan pidana ringan, yang akhirnya juga tidak terbukti.
Maka, langkah Jaksa Agung mendeponiring kasus ini harusnya menjadi pembelajaran berharga.
Pertama, bagi kepolisian dan lembaga penegak hukum lainnya untuk lebih berhati-hati, lebih teliti dan selektif dalam memproses berbagai pengaduan. Menurut saya, ketidak-hati-hatian, bahkan kecerobohan mereka dapat dilihat sebagai tindakan “menghalang-halangi KPK” dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, ke depan harus dirumuskan bentuk sanksi bagi pelanggaran macam ini agar profesionalisme kepolisian makin meningkat dan terpelihara.
Kedua; untuk mencegah kemungkinan terjadinya kasus yang sama di kemudian hari, dalam Draf RUU KPK yang sedang dipersiapkan (kalau memang statusnya hanya DITUNDA, bukan diotlak), sudah harus menambahkan pasal yang mengatur tentang “perlunya pemberian hak imunitas terbatas” bagi para pimpinan, terutama komisioner dan penyidik KPK . Pada tulisan saya sebelumnya di Kompasiana, telah saya sebutkan bahwa, apabila sementara dalam tugas di KPK terdapat pengaduan masyarakat terkait pidana masa lalu, kasus itu didaftarkan saja dan baru diproses setelah masa tugas di KPK berakhir.
Ketiga; “hak imunitas terbatas” dimaksud tidak berlaku bagi kejahatan pidana yang terkategori sebagai extra ordinary crime. Artinya, meski sementara bertugas di KPK tetapi masuk laporan pengaduan tentang kejahatan masa lalu terkait Korupsi, Terorisme, dan Narkoba, maka yang bersangkutan langsung diberhentikan dan diproses.