Karena masuk kategori WARNING, ada baiknya kita perhatikan indikator-indikator kritis yang membutuhkan perbaikan. Bagaimana pun, sebagai Negara besar dengan kekayaan alam dan sumberdaya manusia yang juga besar, kita patut berharap peringkat Indonesia terus meningkat ke level kategori negara berkelanjutan atau (sangat kuat).
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap, pada Tabel di bawah diperbandingkan Peringkat dan Indeks 5 Negara ASEAN dari tahun 2011-2015, diantara negara dengan peringkat terbaik (kategori HIGH SUSTAINABLE), yaitu Finlandia dan nagara kategori terburuk (kategori VERY HIGH ALERT), yaitu Somalia dan Sudan Selatan.
[caption caption="Sumber: http://fsi.fundforpeace.org/rankings-2015"]
Peringkat tertinggi selama beberapa tahun berturut-turut ditempati Finlandia. Negara ini menjadi satu-satunya yang berada di kategori VERY SUSTAINABLE.” Luar biasa! Negara yang kuat dan sangat terjamin berkelanjutan (sustainable), dengan kondisi distribusi pendapatan relatif merata, pendapatan perkapita tertinggi sedunia, keamanan dan kenyamanan masyarakat terjamin, diskriminasi minimal, HAM terjamin, dan kondisi ideal lainnya sebagai negara sejahtera tersedia. Dari 178 negara, Finlandia berada di peringkat 178 (tertinggi), dengan indeks hanya 17,8 (2015). Sementara, Sudan Selatan (dan Somalia untuk beberapa tahun sebelumnya) menempati peringkat terbawah sebagai “NEGARA PALING RAPUH,” atau terancam GAGAL, yaitu di peringkat 1 dengan indeks 114,5 (2015). Kedua Negara ini berada pada level WASPADA dengan kategori “sangat-sangat waspada (very high alert).” Sudan Selatan, misalnya merupakan negara baru di Afrika Timur, merdeka 2011, memisahkan diri dari Sudan, kerap disebut sebagai "negara boneka Amerika," selalu dilanda perang saudara. Kelaparan di mana-mana, pengungsian dan penduduk terlantar. Sementara itu, Republik Somalia yang disebut tidak pernah memiliki pemerintahan nasional yang efektif. Banyaknya partai-partai politik berdasarkan klen menyebabkan negara selalu dilanda kekcauan.
Sebagai catatan, semakin tinggi nilai indeks semakin mendekati “area Negara gagal/rapuh,” sebaliknya semakin rendah nilai indeks semakin mengarah ke Negara kuat atau sustain. Artinya, tingginya nilai indeks menunjukkan rangking "negara gagal" tinggi. Jadi, semakin mendekati indeks 1 (satu) berarti semakin mencapai negara ideal, yaitu sangat berkelanjutan, dengan kondisi-kondisi ideal seperti FINLANDIA.
Terlihat pada Tabel di atas, tahun 2012 ke bawah Indonesia terkategori sebagai HIGH WARNING (Index sekitar 80-an%). Tetapi mulai tahun 2013 Indonesia mengalami kenaikan peringkat ke kategori (hanya) WARNING dengan nilai indeks dibawah 80. Kenaikan yang konstan ini memberikan prospek positif dan sangat menjanjikan. Di antara 5 anggota ASEAN di atas, Philipina berada di kategori HIGH WARNING, satu level dengan Indonesia namun kategorinya lebih kritis dan rentan. Dalam artian, cukup dekat dengan level ALERT (Peringatan), yaitu hanya kurang 4,9 poin. Rangkingnya juga di 48, dekat ke rangking Sudan Selatan (1). Posisi Malaysia sama dengan Indonesia di level WARNING, namun kategorinya lebih baik (LOW WARNING). Sementara Singapura masuk dalam level Negara SANGAT STABIL (More Stable), antara lain bersama USA dan Polandia.
Apa yang perlu dilakukan, supaya peringkat Indonesai dapat ditingkatkan?
Seperti diperlihatkan dalam analisis trend (http://fsi.fundforpeace.org/2015-indonesia), oleh FFP disebutkan setidaknya dua indikator kritis yang menurut saya membutuhkan perhatian serius, yaitu masalah penanganan HAM (Human Rights & Rule of Law) dan penanganan “Dendam masalalu dan Keluhan masyarakat (Group Grievance).” Ini mungkin terkait dengan penanganan tragedi 1965 yang masih misterius hingga saat ini, kerusuhan Mei 1998, kasus Trisakti, pembunuhan aktivis HAM Munir, pelanggaran hak-hak minoritas dan sebagainya yang belum jelas penangananya.
Di harian Kompas seperti disebutkan di awal tulisan ini, disebutkan sejumlah faktor antara lain kegagalan mengelola keberagaman, seperti minoritas yang terlanggar hak-haknya, bahkan dalam sejumlah kasus terusir dari kampung halaman sendiri, kekerasan antar kelompok yang memburuk, termasuk didalamnya kekerasan antar etnik, kekerasan atas nama agama, diskriminasi, dan sebagainya. Pada masalah-masalah ini, pemerintah perlu bertindak konkrit, menunjukkan kehadirannya menangani secara terencana.
Faktor lain juga yang berkaitan dengan ekonomi adalah masalah kesenjangan pendapatan yang kian lebar menuntut pemerintah menciptakan proyek-proyek padat karya agar lebih menyerap tenaga kerja produtktif sehingga membantu meningkatkan pendapatan masyarakat kecil.
Kiranya dengan memperbaiki hal-hal di atas, diharapkan Indonesia tidak akan tergelincir menjadi Negara Gagal melainkan bertumbuh menjadi Negara kuat, stabil, bahkan berkelanjutan. Untuk mencapai level “Negara Stabil” saja masih dibutuhkan 15,1 poin agar mencapai setidaknya 59,9. Tetapi untuk mencapai posisi Malaysia (Low Warning) "hanya" butuh sekurangnya 5,1. Angka yang cukup realistis bagi Indonesia, meski butuh komitmen dan kerja yang sangat keras. Seperti terlihat pada Tabel Indeks di atas, koreksi poin tertinggi yang pernah dicapai Indonesia antara tahun 2012 dan 2013 yaitu “hanya” 2,4.
Ini sebuah gambaran, betapa untuk mencapai 5,1 poin butuh kerja sangat keras dan sinergisitas total antara berbagai elemen Negara maupun masyarakat. Pemerintah dan masyarakat harus saling percaya dan saling mengandalkan. Demikian pula antar sektor dan departemen di birokrasi, pemerintah (eksekutif), DPR, lembaga-lembaga hukum, kepolisian, TNI, juga swasta dan lainnya.