[caption caption="Sumber: pkspiyungaan.blogspot.co.id/2015/07/mendadak-gay"]
3. LGBT sebagai hasil evolusi. Hakikat evolusi makhluk hidup adalah keberlanjutan keturunan. Dari sisi ini, LGBT juga merupakan produk alam, meski “produk sampingan” (meminjam istilah Franz Magnis -Suseno dalam tulisannya di Opini Kompas, edisi cetak 23/2/16). Existensinya tidak bisa diabaikan karena sebagai bagian utuh dari manusia, hanya saja dalam “proyek evolusi” LGBT tidak berfungsi “melanjutkan” keturunan. Mereka “terpeleset” dari kontinuitas rantai evolusi. Atas dasar itu, meskipun semua hak hidup dan hak dasar bisa dipenuhi oleh Negara, sebagaimana warga Negara lainnya, namun tidak demikian dengan hak yang terkait “keturunan.”
4. LGBT sekaligus juga “Warga Agama,” “Warga Budaya,” dan “Warga Keluarga.” LGBT tidak muncul dari kehampaan. Tidak datang seperti alien yang tiba-tiba membumi (mendarat) di tengah-tengah masyarakat yang tersusun dalam struktur keluarga, struktur budaya dan struktur agama. LGBT lahir dari rahim perkawinan yang sah diakui Negara, lalu bertumbuh dalam lingkungan budaya dan agama tertentu. Dengan demikian, kalau LGBT dipersepsikan sebagai “penyakit,” atau “sampah,” maka seharusnya itu adalah “sampah keluarga, budaya dan sampah agama.” Dengan kata lain, LGBT merupakan produk gagal didik dan gagal bina dalam sistem keluarga, budaya dan agama. Maka, umpan baliknya harus kembali ke “sistem pendidikan dan pembinaan” di ketiga institusi tersebut. Negara tidak bisa dipaksa bertanggungjawab atas sesuatu, yang bukan diciptakan Negara, karena :kacamata Negara” adalah kacamata konstitusi.
5. Tetapi, konsekusensi dari kenyataan LGBT sebagai produk evolusi, mereka harusnya diterima sebagaimana menerima keunikan kelompok masyarakat lainnya, seperti misalnya kaum difabel. Sama-sama bukan penyakit, melainkan “pemberian alam.” Karena itu, harusnya disikapi secara wajar saja dan tidak perlu berlebih-lebihan distigmatisasi.
6. Dengan pemenuhan segala hak kewarga-negaraan di atas, LGBT tidak diperbolehkan membuat gerakan sosial yang berorientasi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi anggota masyarakat lain agar menjadi LGBT. Larangan ini sama sekali tidak melanggar “hak kolektif” mereka seperti dijamin dalam Konstitusi kita, yaitu Pasal 28C ayat 2. Larangan oleh pemerintah justru untuk memenuhi tuntutan hak warga masyarakat lainnya, yaitu melindungi mereka dari kemungkinan pengaruh yang mengubah orientasi seksual mereka dari yang seharusnya. Tidak bermaksud menyamakan LGBT dengan pengidap Aids (ODHA), tetapi logikanya masyarakat bisa menerima ODHA apa adanya. Namun, masyarakat perlu dilindungi dari “kejahatan penyebaran virus,” misalnya lewat jarum suntik, goresan luka, tetes darah, dan sebagainya.
Kesimpulan
Tulisan ini tidak mengandung arti dukungan saya kepada LGBT. Pertanyaan paling krusial adalah, bukankah mereka adalah bagian dari anggota keluarga kita? Bagian utuh dari masyarakat kita? Dan, tentu saja mereka adalah warga Negara dengan segala hak dan kewajibannya yang dilindungi oleh Konstitusi. Mana mungkin, kita “mengenyahkan” atau menolak seorang saudara, hanya karena memiliki “kelainan orietasi seksual yang tidak umum,” berbeda dari kita? Karena itu, pemerintah tetap harus memperlakukan LGBT sebagaimana warga masyarakat lainnya. Masyarakat juga, memperlakukan mereka secara wajar sebagai saudara, setidaknya saudara sebangsa dan setanah air. Tetapi, tentu saja, Negara juga harus bertindak tegas bila ada gerakan LGBT yang mengganggu “kepentingan umum,” sebagaimana bila dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun. Itulah fungsi Negara. Negara bukan agama. Agama dan budaya (tentu tidak semua) mungkin menolak LGBT, bahkan dengan keras. Tetapi tidak bisa memaksakan Negara memperlakukan hal yang sama. Tugas Negara adalah melindungi hak dan kewajiban setiap warga Negara, tanpa kecuali, termasuk LGBT. TITIK!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H