Kecenderungan perkembangan dalam negeri seperti di atas nampaknya mengarahkan pengambilan keputusan sepenuhnya ke tangan Presiden Joko Widodo. DPR dalam posisi harap-harap cemas. Mengharapkan mujizat signal Presiden mendukung usul inisiatif lembaga legislative tersebut, supaya tidak diolok-olok massa atau sekurang-kurangnya tidak jatuh pamor lantaran diputuskan diterima di Rapat Paripurna tetapi kemudian ditolak oleh Presiden sebagai pelaksana undang-undang. Sekaligus, bila usul revisi diterima Presiden, maka ringanlah beban hukuman mereka dari dakwaan public. Sebaliknya, Presidenlah yang memikul beban sebagai kambing hitam pelemahan KPK. DPR bisa berpesta pora merayakan kemenangan, lalu mengkreasi argumen canggih, bahwa sebagai pelaksana UU Presiden seharusnya lebih paham substansi UU usulan DPR, apabila melemahkan mestinya ditolak. Tanpa upaya keras tangan mereka yang kotor dan bau comberan sudah dicuci bersih oleh Presiden. Sinyalemen intrik cuci tangan itu sudah didengungkan oleh Fadli Zon, seperti dikutip dari Sindonews.com, dimana ia mengatakan bahwa nasib revisi UU KPK itu tergantung sikap pemerintah.
[caption caption="Sejumlah politikus Partai Demokrat menyambangi Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Jakarta, Rabu (17/2). Mereka menyatakan penolakan terhadap Revisi Undang-Undang KPK yang bakal digodok di sidang paripurna DPR esok. (ANTARA FOTO/M.Agung Rajasa)."]
Dalam kondisi saat ini, fraksi-fraksi DPR, terutama yang menginginkan revisi, bisa bersikap “nothing to lose.” Presiden setuju, ok. Disyukuri dan dirayakan secara diam-diam beramai-ramai, atau ramai-ramai secara diam-diam. Kalau Presiden menolak atau menunda, juga ok. Mereka tinggal buat klarifikasi (seperti kebiasaan mereka), bahwa prinsipnya DPR sepakat dengan Presiden, sejalan pikir, yaitu sama-sama ingin memperkuat KPK, hanya saja waktunya belum tepat
[caption caption="Foto: Hasan Al Habshy (sumber: detik.com)"]
Sebaliknya, Presiden dalam posisi berada di atas angin. Tanpa harus adu kuat dengan DPR, Presiden dapat membuat keputusan yang sesuai aspirasi masyarakat. Seperti yang beberapa kali dikemukakan, bahwa sikap pemerintah tegas akan memperkuat KPK dan bukan melemahkannya. Sikap yang sejalan dengan kehendak masyarakat ini dapat diambil tanpa rintangan. Lagi pula, Presiden Joko Widodo juga pernah menegaskan perlunya mendengar aspirasi masyarakt. Aspirasi masyarakat sudah jelas, yaitu menolak Revisi UU KPK. Maka, bisa diharapkan bahwa sikap Presiden pun akan sejalan. Bukan semata-mata karena Presiden mengekor atau takluk pada tekanan masyarakat, melainkan karena sikap keduanya seiring sejalan, melaju di rute nalar yang lurus nan sehat, bersinergi oleh kekuatan cita-cita besar untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang bebas korupsi, sejahtera dan beradab tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H