[caption caption="Ilustrasi - Aktivis peduli KPK memegang poster ketika melakukan aksi mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi)"][/caption]
Menyaksikan intrik-intrik parpol lewat jago-jago mereka di DPR Senayan, yang sedang bersilat jurus mempreteli dan menelingkung KPK, kita jadi berpikir serius, apakah orang-orang ini patut disebut terhormat? Atau hanya badut dan komplotan penjarah yang membajak institusi terhormat DPR? Terkesan kuat mereka hendak membius bahkan membunuh KPK dengan racun sianida yang diaduk dalam suguhan kopi wangi bernama UU Revisi, yang sialnya dilakukan di depan CCTV mata publik? Transparan dan telanjang! Sulit lagi membedakan siapa kawan siapa lawan, siapa oposisi, siapa pendukung pemerintah, siapa pembela korupsi siapa lawannya.
Kita sadar bahwa institusi Negara yang tersedia untuk mengatasi korupsi bukan hanya KPK. Tetapi, kita juga tahu bahwa KPK memiliki kedudukan hukum yang istimewa, karena lahir dari rahim kesadaran adanya situasi darurat korupsi di negeri ini. KPK laksana “super man” untuk membangun harkat dan harga diri bangsa akibat hantaman krisis besar korupsi yang memerosotkan mental sebagai bangsa beradab. Jadi, tentu saja memiliki kedudukan istimewa, dan semua lembaga terkait lainnya harus bersinergi mendukung KPK melakukan fungsi dan peran heroiknya.
[caption caption="Plt Pimpinan KPK beserta alumni lintas perguruan tinggi melakukan aksi menolak revisi UU KPK di halaman Gedung KPK, Jakarta, Jumat 9 Oktober 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)"]
Di sinilah kita tidak bisa menolerir berbagai argumentasi, yang mencoba menyama-derajad-kan KPK dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan lembaga hukum lainnya. Bahkan logika sesat mengadu-kuat status kedudukan hukum KPK dengan lembaga hukum lain di hadapan UUD’45. KPK juga bukan di atas, atau di bawah lembaga-lembaga itu. KPK hanya memiliki kedudukan istimewa, khusus terkait upaya pemberantasan korupsi. Tidak di luar itu. Lembaga hukum lain memiliki fungsi yang lebih luas, jadi korupsi hanyalah salah satu. Tetapi, KPK spesial dibentuk untuk menghabisi korupsi sampai ke akar-akarnya. Mengenyahkannya dari bumi Nusantara. Makanya, sebutan lengkapnya adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disingkat KPK. Nama sudah menunjukkan spesifikasi fungsi dan perannya. Oleh Undang-undang, KPK disebut sebagai lembaga superbody yang memiliki kewenangan ekstra. Dia lahir dan dibekali peran super dan istimewa karena lawan yang dihadapinya juga benar-benar super istimewa, kebal terhadap berbagai jenis senjata, lincah menghindari berbagai jenis pukulan. Karenanya dinamai extra ordinary crime (EOC), bersama teman-teman lainnya seperti narkoba. Lembaga hukum lain telah dianggap lumpuh total dikadalin oleh EOC ini. Rakyat tidak lagi percaya. Citra penegak hukum melorot, buram dan mendung. Maka, KPK, makluk super man itu diciptakan sebagai upaya membangun kembali citra penegakkan hukum. Jadi, dimana kesamaanya, selain sekadar sama-sama lembaga penegak hukum? Yang satu kredibel dan dipercaya, lainnya kehilangan kepercayaan dan sedang diupayakan dipulihkan. Satunya sehat walafiat, kekar macho. Lainnya sakit, layu dan sekarat. Bedanya amat jauh.
[caption caption="Aksi tolak Revisi UU KPK.@2015 merdeka.com/arie sunaryo"]
Untuk melaksanakan fungsi dan peran khusus itu, apalagi dalam “keadaan darurat bin emergensi,” tentu dibutuhkan dukungan resourses yang memadai. Bayangkanlah kita sedang tersesat di hutan, dengan binatang buas berkeliaran di mana-mana. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain demi keamanan, lantaran selalu diancam penghuni belantara “nir adab” itu. Tetapi terutama yang paling mengkhawatirkan adalah kaum serigala lapar yang jumlahnya berlebih, sangat agresif, merampok dan merusak apa saja, bahkan membunuh komunitas. Memang, kita sudah punya tim keamanan. Tetapi tugasnya terlalu banyak sehingga tidak bisa dipaksa fokus menghadapi serigala. Lalu, kita membentuk satu tim khusus, anggotanya dipilih dengan teliti supaya memenuhi semua kriteria yang diperlukan untuk menghabisi para serigala. Maka, tentu saja, sebagai spesialis pembunuh serigala, tim perlu dibekali berbagai fasilitas, senjata, kewenangan, dan dukungan moral untuk mendeterminasi lawannya. Kita semua memotivasi tim, bahkan mendoakan mereka. Artinya, resourses apa pun yang kita miliki terkait dengan dukungan untuk melawan serigala haruslah diberikan. Kita tidak bisa membebani tim dengan aturan-aturan yang justru membelenggu, kamu harus santun ya sebab bagaimana pun serigala adalah ciptaan Tuhan. Atau, kamu tidak boleh membunuhnya dari belakang, harus dari depan sebab kita makhluk beradab, harus hadapi secara jentel (gantle). Kalau dikepung kelompok serigala, kamu tidak boleh langsung lawan dulu, kembali ke sini dan minta pertimbangan. Dan, aturan-aturan aneh lainnya.
[caption caption="ilustrasi Aksi Tolak Revisi UU KPK Massa yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Melawan Kriminalisasi melakukan aksi teaterikal saat unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (15/10). (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)"]
Jurus canggih orang-orang Parpol di DPR adalah mengajukan rancangan UU Revisi, yang diberi embel-embel akan lebih memperkuat KPK. Argumentasi yang hebat, bujuk rayu yang manis. Namun, dibalik harum dan manisnya racikan kopi luwak nan berkualitas itu, tercampur racun sianida dengan dosis melumpuhkan atau mematikan.
Mata publik adalah CCTV hidup yang terpasang dimana-mana, menjadi saksi hidup. Dari berbagai sudut terlihat terang. Tanpa basa basi, tanpa sembunyi-sembunyi. Mereka memperolok nalar masyarakat dan meremehkan kecerdasan publik. Sangat keterlaluan! Berbagai kalangan tegas menyuarakan nuranianya. Mulai dari masyarakat biasa, komunitas anti korupsi, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, para ahli hukum, Fitra, ICW, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, bahkan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan lainnya. Media massa memuat banyak himbauan dan tuntutan menolak revisi UU KPK. Lewat change.org para alumni Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) ICW menggagas petisi selamatkan KPK, dan telah mendapatkan hampir 60.000 dukungan. Memangnya, untuk revisi UU KPK DPR-RI mendapatkan berapa banyak dukungan masyarakat? Tidak sadarkah mereka, bahwa sebagian besar masyarakat telah “mencabut hak keterwakilan” mereka?
Kompas.com juga melaporkan hasil survei Indikator Politik Indonesia, yang menunjukkan 54 persen (responden) berpendapat revisi UU KPK akan memperlemah KPK. “Ini pernyataan umum, lebih dari separuhnya menganggap memperlemah," ujar peneliti senior Indikator, Hendro Prasetyo, di Kantor Indikator, Jakarta Pusat, Senin (8/2/2016). Jadi, sudah lengkap. Semua kalangan telah melihat dan berbicara.