Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menuju Pilgub DKI 2017: Politik Balas Dendam, Krisis, dan Lahirnya Harapan Baru

4 Februari 2016   10:22 Diperbarui: 4 Februari 2016   11:45 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Elit Parpol KMP di Jakarta usai rapat (Sumber: Aktual.com/Fatah)"][/caption]Para pimpinan koalisi MP melakukan pertemuan (2/1/16) membahas Pilkada DKI  2017. Seperti dilansir Aktual.com, para pimpinan KMP yang hadir adalah Ketua dan Wakil Ketua DPD Gerindra DKI Mohamad Taufik dan Syarif, Ketua DPW PPP DKI Abraham Lunggana (Lulung), serta Sekretaris DPD Golkar DKI Zainuddin, juga Ketua Dewan Syariah dan Ketua DPW PKS DKI Abdurrahman Suhaimi dan Syakir Purnomo, serta perwakilan dari PBB DKI yaitu Masdanih.

Apa tujuan dari pertemuan, yang terkesan rahasia karena tidak banyak dipublikasi media itu? Sumber Aktual.com melaporkan  pernyataan M.Taufik, “Tadi kita mengarah pada koalisi besar dalam menghadapi Pilkada DKI.”  Selanjutnya, Abraham Lunggana mensinyalir adanya keinginan menggelar konvensi bersama antar partai, “Sehingga figur yang diusung betul-betul yang terbaik,” tandas Lulung. Masih dari sumber yang sama, Wakil Ketua DPD Gerindra DKI, Ahmad Sulhy menegaskan akan “merangkul teman-teman KIH.”

Bagaimana membaca arah dari “KOALISI BESAR” atau “KONVENSI ANTAR PARTAI” INI? Dalam tulisan saya sebelumnya, telah saya kemukakan dugaan atas kemungkinan ini.

Proses pemilu, pilpres, pilkada dan juga kinerja serta tingkah buruk anggota DPR di Senayan telah melorotkan kepercayaan publik pada parpol. Kalaupun belum menyentuh titik nadir, boleh dikatakan menuju level kritis. Berbagai survei menunjukkan negativitas persepsi publik. Salah satu diantaranya survei  Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis Oktober 2015 menunjukkan 67,5% publik tidak puas dengan kinerja DPR-RI.

Indikasi lain adalah, dari 38 RUU Prioritas tahun 2015 yang harus diselesaikan DPR-RI, hanya 2 (atau 5%) yang terealisasi. Diperparah lagi dengan berbagai “tuntutan aneh” anggota DPR yang ikut menggerus empati publik, seperti usulan proyek pembangunan gedung baru DPR senilai 1,6 Trilyun, bahkan 7 proyek senilai 2,7T, Usulan Dana Aspirasi 20 Milyar/anggota/tahun, revisi UU KPK yang dipersepsikan akan melemahkan KPK, usulan kenaikan tunjangan anggota DPR, penanganan pelanggaran etik Setya Novanto yang penuh intrik (lewat kinerja MKD), dan sebagainya. Melihat parpol adalah melihat wajah-wajah anggota DPR di MKD, di Fraksi, kerap tertidur waktu sidang, bolos rapat (ruang rapat yang sepi sering tidak qourum), sampah kondom, broker proyek, tuntutan-tuntutan tidak masuk akal, kritik asal bunyi, dan persepsi negatif lainnya.  Di sisi lain, perpecahan dan perebutan kuasa di internal parpol yang mencipta pengurus tandingan makin memperkuat antipati publik.

Fenomena Jokowi (dari Solo ke DKI ke RI-1) dan Ahok di DKI (juga sejumlah pemimpin bersih berkinerja mengagumkan di daerah lain) yang “bersih” telah membuat “kekotoran” kader-kader parpol makin kelihatan kelam. Sebuah pemandangan yang kontras antara dua obyek membuat keduanya makin jelas sampai ke detil-detilnya. Seperti menggambar obyek hitam di latar kertas putih akan membuat kertas makin kelihatan putih, sebaliknya gambar obyek menjadi semakin hitam. Keduanya kontras dan saling memperjelas.

Dari daerah-daerah muncul pukulan telak lainnya. Sejumlah kandidat calon dari jalur independen di Pilkada serentak 2015 dilaporkan menang gemilang. Beberapa diantaranya Banjarbaru (Nadjmi-Jaya), Bukittinggi (M.Ramlan Nurmatias-Irwandi), Kabupaten Batubara (OK.Arya Z-Harry Nugroh, petahana, yang sebelumnya juga menang lewat jalur independen), dan lainnya.  Ini signal cukup kuat yang ikut meredupkan kemilau Parpol.

Belum lagi, tertangkapnya anggota DPR maupun DPRD, juga kepala daerah (yang merupakan kader parpol, bahkan beberapa merupakan pimpinan elit parpol) yang terlibat korupsi atau jenis kejahatan lain,  membuat citra parpol makin buram.

Itulah sebabnya, dalam berbagai momen politik itu, meskipun mesin parpol telah dipaksakan bekerja all out, namun laksana mesin tua yang jarang dirawat (berkinerja buruk), setinggi apa pun pedal gas diinjak, tetap saja kecepatannya mentok di batas toleransi usia dan kualitas perawatan. Nafsu tinggi tenaga lemah! Kalah cepat dari “mesin independen” yang fresh from the oven, hasil inovasi termutakhir sehingga bergerak lincah dengan kinerja teruji.

Kepungan “serangan” sistematis dari desa hingga kota itu membuat parpol banyak menguras energi dan kehabisan daya. Meski Pilgub DKI 2012 telah lama usai, bahkan Jokowi sudah melenggang mulus di kursi RI-1, momentum itu menyuguhkan kepada masyarakat sebuah permainan indah namun menegangkan antara “kekuatan parpol” (lewat dukungan mayoritas di kubu Foke) dengan kekuatan masyarakat/independen di kubu Jokowi-Ahok (lewat dukungan minimalis Parpol dengan maksimal dukungan masyarakat).

Kemenangan Jokowi-Ahok di Pilgub DKI 2012 itu merupakan kemenangan kader “independen/rakyat” atas “kader Parpol.” Kita ingat, bahwa formula yang sama muncul dalam pertarungan Pilpres 2014, dimana jauh hari sebelum Pilpres hitungan di atas kertas Prabowo-Hatta yang didukung parpol mayoritas akan memenangkan pertarungan. Namun matematika politik telah kehilangan daya aksiomatiknya. Meski didukung parpol minoritas, faktor “dukungan independensi (figur ketokohan Jokowi) plus gerak gesit masyarakat (relawan) telah menjungkirbalikkan semua prediksi, termasuk hasil survei.

Pukulan terakhir yang membuat “kubu pro parpol” mabok kepayang adalah keruntuhan KMP akibat penyeberangan PPP, PAN, dan terakhir Golkar. Meski publik juga menyadari terbukanya kemungkinan sebagai bagian dari strategi KMP, gaya lama permainan para jago tua ini telah mudah dibaca sehingga dapat diantisipasi. Mungkin, bahkan mereka sendiri tidak sadar bahwa intrik mereka telah diketahui dan sedang ditunggu.       

Progres di atas memaksa Parpol tersandar lemas dengan mata berbinar pusing di sudut ring. Eksistensinya terancam. Getaran menyeramkan kian terasa. Seperti orang sekarat yang sudah mendengar derap langkah mendekat malaikat pencabut nyawa. 

Maka, Pilkada DKI 2017 adalah momen balas dendam bagi “kubu parpol.” Ahok, yang memberi sinyal (meski nampaknya belum final) akan maju dari jalur independen telah menunjukkan posisinya. Kubu Parpol berusaha mencari “posisi tembak” yang tepat untuk menghadapinya. Selain kandidat setimpal, kalau bisa yang levelnya diatas Ahok, mereka juga mencoba mengkreasi ragam jurus pemungkas. Prinsipnya berbagai cara dan gaya akan dicoba, dengan tujuan merebut kembali ibukota serta mengembalikan pamor parpol. Menggandeng publik figure, khas gaya PAN, jurus penjaringan ala Gerindra, hingga bergerilya ke seluruh pelosok negeri mencari “ahli tempur” lawan Ahok.

Salah satu strategi yang patut diwaspadai, dan akan menjadi pertarungan mati-hidup adalah mengelola opini ke arah terbentuknya polarisasi “kubu dukungan Parpol” vs “kubu independent/dukungan relawan/rakyat.” Ini tidak sulit. Gagasan “Koalisi Besar” atau “Konvensi Antar Partai” seperti disebutkan oleh M.Taufik dan Lulung, dengan rencana merangkul KIH memberi indikasi kuat ke polarisasi dimaksud. Sebutan “Ahok dikeroyok” seperti ditulis oleh Saumiman Said di Kompasiana (terbit 3 Februari 2016)  nampaknya tepat. Isu genit yang cukup mudah dikelola, dan ini gampang ditebak, adalah gerakan “asal bukan Ahok.” Isu ini berpotensi jadi oli pelumas bagi mesin penggerak persatuan parpol. Meski ini juga tidak terlalu mudah!

Tetapi, keyakinan saya kondisi mati hidup itu cocok diarahkan ke kubu Parpol. Kubu independen tidak akan terpengaruh hasil pertandingan. Berapa pun skor dicetak oleh “kubu dukungan parpol” tidak memengaruhi kemenangan moral “kubu dukungan independen.” Sebaliknya, bila kubu kedua memenangkan pertarungan, bahkan meski tipis, akan terasa sebagai hantaman terakhir yang langsung mengkandaskan dan menghempaskannya dari atas panggung politik nasional. Sayangnya, itu berarti pula tamparan keras bagi perkembangan demokrasi di tanah air. Bagaimana pun Parpol adalah pilar demokrasi.

Jadi, bila dibiarkan terjadi polarisasi yang mengerujut langsung ke kandidat dukungan Parpol vs dukungan masyarakat/independen, saya khawatir akan menjadi momen bunuh diri bagi parpol. Tetapi, karena parpol telah lama mempersiapkan diri untuk bertempur total jiwa raga, maka jalannya pertempuran akan sangat sengit. Berbagai gaya dan kreasi akan dicoba. Ironisnya, dan seperti biasanya kubu para jago tua itu selalu gagal memahaminya, justru ragam intrik itu makin menjauhkan Parpol dari simpati publik. Bahkan kian mengentalkan racun antipati yang segera dimuntahkan ke toilet.

Kabar baiknya adalah, momen tersebut berpotensi menjadi semacam transisi kritis bagi munculnya parpol-parpol baru bervisi idealis ke permukaan panggung. Saya tidak sepenuhnya yakin partai Perindo dan partai Idaman besutan Rhoma Irama terhitung di sini. Tetapi prediksi saya akan lahir parpol yang mampu merebut dukungan dan simpati masyarakat.

Parpol yang lahir dari rahim perjuangan, lahir dari krisis, diurus oleh generasi 1980-an dan 1990-an, yang tidak mengalami masa subur politik intrik di era Orde Baru, dan sepenuhnya belajar dari pengalaman mutakhir perpolitikan nasional. Menyaksikan matigayanya pewaris terkhir politik intrik, tanpa sedikitpun jejak kejayaan.

Asalkan mereka tidak terburu-buru masuk dalam perangkap “koalisi besar” yang segera masuk kubur itu, kita memiliki alasan untuk berharap dari rahim krisis politik akan lahir parpol dan kekuatan-kekuatan politik baru yang memiliki idealisme dan visi besar membangun Indonesia menjadi negara modern, kuat dan berkeadaban. Semoga!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun