Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Waspadai Politik Sabung Ayam di Pilgub DKI 2017

3 Februari 2016   07:38 Diperbarui: 4 Februari 2016   18:07 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengalaman kalah telak dalam pertarungan Pilgup 2012 merupakan kepahitan kental yang sangat membekas. Apalagi, setelah pilkada DKI kelompok ini kalah telak lagi di Pilpres 2014. Akumulasi kekalahan beruntun itu tidak saja menciptakan kemaluan besar melainkan mengkristal jadi semacam dendam kesumat yang merasuki hati dan pikiran mereka.

Padahal, didalam kubu ini berkumpul para suhu dan ahli politik yang paling berpengalaman di negeri ini. Sebagian merupakan anak didik langsung mantan Presiden Suharto, seorang ahli strategi yang telah menunjukkan bakat alaminya sejak pertamakali merebut posisi Presiden di tahun 1965, melalui peristiwa yang bagaimana pun masih misterius hingga saat ini.  Para suhu ini banyak  yang digodok dengan disiplin keras di “kampus Orde Baru” oleh sang maha guru politiknya.  Tidak saja kumpulan para dedengkot politik. Jagoan mereka adalah petahana Gubernur, Foke (Fauzi Bowo), yang kala itu termasuk “ayam jago sangat terlatih,” tidak saja bergelar Doktor ahli bidang perkotaan jebolan Jerman, tetapi juga kekayaan pengalamannya mengelola birokrasi di Jakarta selama puluhan tahun, termasuk 5 tahun sebagai Sekretaris Daerah (Sekda), 5 tahun Wagub, dan 5 tahun Gubernur.  Jadi, dalam segala hal kubu ini punya resources. Tentu saja, termasuk kekuatan finansial. Selain didalamnya berkumpul banyak pengusaha kawakan, juga akumulasi kapital selama puluhan tahun menempel kekuasaan menjadikan mereka orang-orang yang tidak bisa dianggap lemah dalam hal keuangan.

Fakta di atas mengekstrimkan rasa sakit. Mereka tidak siap mental untuk kalah. Membayangkan saja tidak pernah! Metafora David lawan Goliath mungkin baru cocok setelah melihat hasil, namun di awal pertarungan rasanya seperti Serigala melawan Domba. Itulah sebabnya, kekalahan telak dan bertubi-tubi membuat mental mereka merosot. Kalah dari dua ayam jago kampung,  dengan pengalaman politik baru seumur jagung.  

Sebagai penjudi tulen, yang punya pengalaman berjudi seumur judi politik di negeri ini, kekalahan itu merupakan pukulan paling memalukan. Seolah-olah Mike Tyson dihajar babak belur oleh Chris John.  Maka, tidak heran kalau menyongsong Pilkada DKI tahun 2017  para penjudi ini tidak mau ambil resiko asal comot figur.  Ini adalah ajang balas dendam. Belum lagi, sakit hati mereka menjadi-jadi karena dibawah kepemimpinan Ahok (di DKI) dan Jokowi (sebagai presiden) banyak jaringan resourses diputus membuat rasa dendam merasuk dari telapak kaki hingga ubun-ubun. Dalam metafora kartunis sudah nampak di level merah menyala siap meledak!  

Kita juga tahu, bahwa selain Gerindra dan PKS, Parpol lainnya juga diam-diam aktif mencari calon ayam aduan untuk bertarung di DKI 2017. PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat adalah tiga partai besar yang tidak mungkin tidak tergoda menguasai DKI. PAN bahkan mencoba jurus mabok wacanakan pencalonan Eko Patrio dan Dessy Ratnasari, dengan mengandalkan popularitas keartisan. Sebuah gaya pencudi tulen! Berbagai cara digunakan untuk menang. Pasalnya, menguasai DKI tidak saja strategis sebagai ibu kota negara dengan berbagai peluang, kemewahan, prestise dan tantangannya, tetapi juga dapat berarti pintu masuk menuju RI-1. Jokowi sudah sukses merintis jalur emas itu, dan peminat yang ingin menguntit jejak Jokowi pastilah tidak sedikit.

Maka, meski ayam jago Ahok percaya diri karena didukung rakyat (calon independen) lewat kerja Teman Ahok (TA), sebaiknya dipikirkan lebih matang lagi. Bukannya meremehkan kinerja TA, melainkan perbedaan orientasi dapat mengakibatkan efek yang dihasilkan tidak terprediksi.

Perbedaan basis ontologis dalam memandang politik menyebabkan pertarungan di Pilgup DKI berpotensi menjadi liar, anarkis  (an = tidak, arche = prinsip) dan tidak terkendali. Polarisasinya menjadi dua besar, yaitu kelompokyang ingin balas dendam versus kelompok idealis. Basis pertimbangan kelompok pertama adalah mengalahkan/menghabisi, adu nasib (berjudi cari kuasa), sekadar bekin ramai, cari kesenangan, uji coba kekuatan, dan sejenisnya. Sementara kelompok terakhir berorientasi menciptakan perbaikan dan kemajuan serta kesejahteraan bagi “warga polis” DKI Jakarta. Tipikal kelompok pertama biasanya lebih gigih, total, rela mengorbankan semua resources, sebab beroperasi dalam mindset pertaruangan hidup mati. Itulah alasan mengapa kelompok idealis perlu waspada dan tidak menutup pintu bagi dukungan parpol. Kombinasi kerja mesin parpol dan relawan tentu akan jauh lebih efektif memblokir serangan ganas para penjudi politik. Juga menutup ruang bagi kemungkinan terformulasinya polarisasi “kubu dukungan Parpol” vs  “kubu Indenpenden,” mengingat adanya kecenderungan Parpol kehilangan kepercayaan publik berpotensi mendorong terciptanya konsolidasi lintas parpol sebagai “teman senasib sepenanggungan” yang merasa terancam eksistensinya.  

Untuk menghilangkan budaya sabung ayam dalam politik, sudah saatnya menguatkan disposisi ontologis pada prinsip “meciptakan kemajuan dan kesejahteraan warga.” Dengan mengacu pada disposisi ini, metafora pertarungan tidak lagi relevan. Pilkada menjadi momen politik menyeleksi dan mendapatkan pemimpin terbaik dalam kaitan dengan kepastian mewujudkan disposisi ontologisnya. Bila ada calon, misalnya Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Ridwan Kamil (Walikota Bandung), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng) maupun pemimpin terbaik lain yang ingin ikut dalam proses seleksi, itu adalah hak politik mereka. Dan itu baik. Namun, tujuannya bukanlah untuk menaklukkan melainkan menawarkan dan mengaplikasikan program yang lebih baik, dengan strategi yang lebih meyakinkan dan lebih terjamin dalam menciptakan kemajuan dan kesejahteraan warga.  

Dan, bila ambisi semua pemimpin diorientasikan pada upaya menciptakan kebaikan bersama, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, maka politik menemukan kembali citra hakikinya. Tidak heran, kalau Aristoteles, filsuf Yunani yang kesohor itu mengatakan bahwa manusia menemukan kesejatiannya hanya lewat tindakan politik (tindakan praksis), yaitu tindakan menciptakan kebaikan bersama dalam masyarakat polis. Selamat tinggal budaya politik sabung ayam, selamat datang politik berkeadaban. Semoga dimulai dari Pilgub DKI Jakarta 2017!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun