[caption caption="Tradisi sabung ayam"][/caption]
Sabung ayam / Adu ayam / taji ayam adalah permainan rakyat yang cukup populer di sejumlah etnik Indonesia. Seperti Bali (tajen), Sabu (nada) di NTT, Sulawesi Selatan (massaung manuq/assaung janggang), Jawa dan sebagainya. Aslinya, dalam konteks tradisi sabung ayam tidak saja sebagai permainan hiburan melainkan juga memiliki aspek spiritual, sosial dan politik. Sabung ayam dilakukan sebagai bagian dari ritual memelihara keharmonisan hubungan dengan Yang Kuasa dan alam. Juga sebagai wadah merawat harmoni dan membangun kohesi sosial, dan sebagainya. Namun, dalam perkembangannya sabung ayam menjadi permainan judi yang banyak menyedot peminat. Lalu, mencipta masalah ketika menyusup ke arena publik menjadi bagian dari budaya politik di negeri ini.
Politik sabung ayam memiliki sejumlah motif atau spirit yang mendasarinya.
Pertama, semangat pertarungan hidup mati, dimana ada pihak yang menang dan pihak yang kalah. Kalah dapat berarti mati.
Kedua; tujuan permainan adalah refresing, bersenang-senang, iseng, isi waktu dan sejenisnya.
Ketiga; dalam perkembangannya, sabung ayam tidak lagi menjadi sekadar permainan melainkan bermetamorfosa menjadi arena perjudian. Para menyabung berjudi, dan di belakang mereka juga ada penjudi, dan di belakangnya ada penjudi lagi. Jadi ada bandarnya. Ini melahirkan semacam rantai bisnis. Rantai “bisnis perjudian” ini dengan sendirinya menyimpan ragam dinamika, kiat dan intrik. Pada akhirnya, “kenikmatan” permainan beralih dari potensialitas, stamina dan keahlian ayam-ayam yang (dilatih untuk) bertarung, melainkan pada kekuatan intrik dan strategi para penjudi. Meski ayam petarung Anda tidak jago, kurang terlatih, kurang berbakat, jangan khawatir. Di tangan para penjudi kemenangan bisa saja diperoleh.
Spirit sabung ayam inilah yang terlihat kental mewanai hiruk pikuk pentas politik kita. Politik, yang esensinya bermakna luhur sebagai “keahlian untuk mensejahterakan kehidupan banyak orang (warga polis)” berubah menjadi medan pertarungan hidup mati, demi memuaskan kesenangan diri dan kelompok. Politik akhirnya mengalami pergeseran orientasi, dari misi suci mengelola kehidupan bersama menjadi sekadar intrik licik merebut dan mengelola kuasa. Dengan kata lain, dalam budaya politik sabung ayam para petarung kehilangan orientasi, kecuali untuk menyenangkan diri dan bersenang-senang. Kesenangan menjadi tujuan. Lalu, berlangsunglah pertarungan adu strategi, saling intrik, dan adu kuat (baik dalam pengertian kemampuan finansial, kekuatan lobby) guna memenangkan ayam jago yang didukung.
Patutkah spirit politik sabung ayam seperti ini terus dipelihara dalam budaya politik pemerintahan? Dalam pentas Pilkada, Pilpres dan momen politik lainnya? Sadar atau tidak sadar, setuju atau tidak setuju, roh sabung ayam ini telah merasuki budaya politik negeri ini, entah sejak kapan!
[caption caption="Kandidat Cagub DKI 2017 (Sumber: Merdeka.com)"]
Keinginan besar partai Gerindra menguasai DKI nampak tak tertahankan. Melalui mekanisme jejak pendapat publik, telah diperoleh setidaknya empat nama yang memastikan akan ikut, yaitu adalah Muhammad Taufik (Ketua DPP Partai Gerindra), M Sanusi (Ketua Komisi D DPRD Jakarta), Sandiaga S. Uno (Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra yang juga pengusaha top), dan Biem T. Benyamin (Anggota DPR RI Fraksi Gerindra yang juga tokoh Betawi). Sejumlah pengamat menilai keempat nama itu bukan “lawan tanding” yang tepat buat Ahok.
Alternatif terbaik, yang sedang diupayakan Gerindra dan sohib terbaiknya PKS, adalah mendorong Ridwan Kamil, wali kota Bandung untuk maju. Sejumlah analis menilai itu adalah pilihan terbaik, lawan sebanding. Bahkan, nada optimis RK akan kalahkan Ahok juga ada, "Enggak bisa kalahin Ahok karena pertama popularitas melebihi mereka (4 Cagub DKI Gerindra), tetapi Ahok lawan Ridwan Kamil baru bisa kalah," kata pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, seperti dilansir merdeka.com (28/1/16). Para haters Ahok, juga haters Jokowi, dan terutama pendukung berat KMP tentu ada dalam semangat besar ini. Mereka dengan diam-diam maupun terang-terangan berkeliling negeri mencari figur alternatif “ayam jago” yang sebanding untuk diadu dengan “ayam jago” DKI saat ini.