Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sesat Pikir Itu Tidak Selalu Sesat! Menelusuri Jalur Sesat Pikir ala Faisal Basri

2 Februari 2016   14:08 Diperbarui: 10 Mei 2016   20:33 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesat nalar yang dilakukan FB disebut irrelevant conclusion (ignoratio elenchi), disebabkan karena argumen dan data yang diajukan “dipaksakan” mendukung kesimpulan (bahwa pemerintah sesat nalar). Padahal seharusnya mengarah ke kesimpulan lain, “pemerintah sesat peran atau sesat fungsi,” dalam pengertian yang disebut sendiri oleh FB sebagai “salah kelola.”  Kita lihat misalnya, dalam seri sesat nalar terbarunya, FB mengajukan sejumlah data terkait harga komoditas pertanian (beras, jagung, dsb) dari petani kita yang lebih mahal daripada harga komoditas tersebut di pasar internasional. Kondisi ini mendorong maraknya penyelundupan karena potensi meraup keuntungan besar (Lihat Patagraf kedua dari tulisan “Sesat Pikir Menteri Pertanian”). Substansi dari argumentasi dalam serial sesat pikir ini, bila dengan jeli memeriksa data dan argumentasinya jelas dan tegas menunjuk pada kesimpulan “Sesat Kelola,” bukan “Sesat Nalar.” Hal ini ditegaskannya pada Paragraf 7 dari tulisannya. Labih jauh, kesimpulan ke arah “Salah Kelola pemerintah” makin terlihat kuat ditegaskan dalam bagian penutup (paragraf terakhir sebagai berikut: “Pemburukan pangan nasional sudah berlangsung cukup lama. Kita berharap pemerintahan Jokowi melakukan pembenahan mendasar, menohok ke akar masalahnya. Namun, sejauh ini masih bersifat tambal sulam. Menyelesaikan persoalan jagung tetapi menimbulkan masalah kenaikan harga ayam dan telur.”

Memang ada perspektif lain yang bisa dijadikan pintu masuk merunut kemungkinan “sesat nalar” pemerintah (dalam hal ini Kementrian Perhubungan, dan Kementrian Pertanian yang menjadi sasarn kritik dalam dua seri Sesat Pikir terbaru), seperti  yang disimpulkan oleh FB. Jalur argumentasi ini perlu dibangun, karena masih tersembunyi dalam pengandaian seolah “dipahami.” Ini tentu membutuhkan kemampuan atau kompetensi terkait untuk bisa mengungkapnya. Dan, tentu pak FB lebih paham jalur logika ini. Saya hanya bisa membantu menunjukkan jalan masuknya.

Kita mulai dari konklusi: Pemerintah Sesat Pikir dalam pengelolaan Bandara di Indonesia (atau Sesat Pikir dalam Mengelola Pertanian, dan seterusnya seperti disampaikan dalam seri-seri lainnya). Dari klaim konklutif ini, lalu kita telusuri jalur nalarnya ke belakang untuk menemukan premis-premis, kepenadan data dan fakta  penopang konklusi itu. Sebagai orang yang ahli di bidang tersebut, saya yakin begitu melihat atau mengetahui sikap pemerintah, FB langsung paham susunan nalarnya. Kemungkinan inilah yang menghantar FB pada kesimpulan adanya sesat nalar dalam sikap dan kebijakan pemerintah. Apakah itu? Dimana letaknya sesat nalar itu? Sayangnya, premis-premis yang diandaikan itu tidak dibuka oleh FB dalam tulisan serialnya, karenaya hanya beliau dan orang-orang kompeten di bidang terkait saja yang memahaminya.

Tetapi, yang pasti dari dua tulisan terbaru FB dalam Serial Sesat Nalar-nya, tidak terlacak adanya kondisi yang memenuhi syarat untuk mendukung klaim sesat nalar. Semua argumentasi dan data yang diajukan sepenuhnya mendukung kesimpulan “sesat fungsi/sesat peran” pemerintah. Tentu saja, dalam pandangan Faisal Basri! Meski demikian, saya kira kritik-kritik FB tetap diperlukan demi perbaikan manajemen dan tata kelola berbagai aspek pembangunan di Indonesia, terutama terkait pembangunan bidang ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun