Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cara Mudah Kalahkan Ahok, Bahkan Jokowi

28 Januari 2016   00:31 Diperbarui: 28 Januari 2016   15:52 5289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Survei CSIS jelang Pilkada DKI 2017"][/caption]

Hasil survei CSIS yang dirilis Senin, 25 Januari 2016 di Jakarta dengan tajuk “Calon Independen vis-a-vis Calon Partai' di kantor CSIS, mungkin menjadi kabar baik bagi pendukung Ahok, namun seakan petaka bagi para haters dan pesaing Ahok. Apalagi, dipertegas peneliti CSIS, Arya Fernandes bahwa "cukup berat menantang Ahok,” membuat kandidat calon lain bisa ciut. Kebanyakan pengamat menyikapi hasil survei ini secara wajar, dan mengakui atau setidaknya  tidak mendebat hasil survei tersebut.

Survei tersebut menjaring setidaknya 13 nama kandidat potensil. Tetapi, tentu saja tidak menutup peluang bagi munculnya kandidat lain di masa depan.  Dari 13 kandidat itu, Ahok terlihat sangat kuat. Dengan tingkat elektabilitas yang tinggi (43,25%), jauh melampaui kandidat tertinggi kedua (17,25), juga ditopang oleh tingkat popularitas paling tinggi, Ahok rasanya memang tidak tertandingi. Setidaknya bila Pilgub dilakukan pada bulan Januari 2016 (survei dilakukan antara 5-10 Januari 2016).  Meski demikian, tidak berarti Ahok tidak bisa dikalahkan.

Menurut saya, setidaknya ada 8  pra-syarat yang bila terjadi, dimiliki atau dilakukan oleh seorang kandidat  maka ia akan dapat mengalahkan Ahok, bahkan Jokowi.

1. Miliki reputasi dan rekam jejak brilian yang diakui masyarakat luas.  Jokowi maupun Ahok memiliki reputasi yang sudah sejak lama terpelihara dan terawat baik.  Sebagai pengusaha, keduanya termasuk sukses menjalankan bisnis mereka, meski tidak tergolong sebagai pengusaha besar.  Dari reputasi baik selama menjadi pengusaha itulah, mereka didorong oleh lingkungan untuk memasuki dunia politik.

Di dunia politik pemerintahan, baik sebagai anggota DPRD, maupun Bupati dan Walikota, Jokowi dan Ahok sama-sama menciptakan perubahan-perubahan nyata yang dirasakan oleh masyarakat. Tidak tergoda korupsi, menerapkan transparansi, dan memperhatikan masyarakat marginal, antara lain merupakan fokus program andalan mereka. Atribut itu melekat pada diri, lalu membentuk reputasi dan rekam jejak keduanya.

2. Jangan jelekkan saingan. Bertarunglah secara fair. Pengalaman semenjak Pilgub DKI, para pesaing Jokowi-Ahok menggunakan cara-cara kampanye negatif maupun kampanye hitam untuk menyudutkan lawan.  Justru cara-cara ini menjadi penyebab melorotnya elektabilitas mereka, seperti dipantau oleh hasil-hasil survei waktu itu. Sebaliknya, Jokowi-Ahok fokus pada eksplorasi visi dan paket-paket program perubahan mereka untuk memajukan Jakarta. Dan, itu membuat elektabilitas mereka terus meroket jauh meninggalkan petahana.

3. Tunjukkan kebaikan dan kompetensi lewat rekam jejak, bukan pidato. Masyarakat butuh bukti, bukan pidato.  Sayangnya, banyak kandidat tidak memiliki kualifikasi ini. Mereka hanya memoles keahlian publik speaking mereka, juga penampilan eksterior dan baru berpura-pura baik ketika menjelang pilkada, misalnya dengan cara membagi-bagikan uang, door prize, hiburan  artis, janji-janji dan  sebagainya. Masyarakat kita sudah tahu ciri kandidat pemimpin yang sungguh-sungguh baik, atau hanya pura-pura baik. Pemimpin yang baik dan kompeten itu sudah teruji dan diketahui luas, setidaknya oleh masyarakat sekitarnya. Tetapi, pemimpin palsu biasanya “tiba-tiba baik,” yaitu ketika ada mau-maunya.  Jadi, lakukanlah kebaikan sebagai sikap keseharian. Karena dari situlah kebaikan Anda mulai dikenal. Awalnya oleh keluarga, teman-teman, kemudian ke lingkungan yang lebih luas.

4. Tidak ambisius.  Menurut saya, Ahok dan Jokowi sama-sama tidak ambisius. Banyak kritik diarahkan ke kedua tokoh ini ketika bertarung di Pilgub DKI, dengan mengajukan fakta bahwa Jokowi meninggalkan jabatan wali kota Solo, dan Ahok meninggalkan posisinya sebagai anggota DPR merupakan bukti ambisius dan gila kuasa. “Mereka berdua pemburu kuasa tulen,” demikian kira-kira pandangan para pengkritik. Apalagi kenyataan bahwa Ahok dari anggota DPRD di Blitung Timur bertarung merebut kursi bupati, belum selesai masa jabatan sudah bertarung ke DPR-RI, lalu belum selesai masa jabatan bertarung lagi ke kursi gubernur DKI.  Benarkah demikian? Menurut saya tidak. Kalau mereka ambisius, mereka akan menggunakan segala cara untuk memenangkan pertarungan.

Itu tipikal orang ambisius tulen. Kenyataannya, mereka “hanya” menjual rekam jejak (track rekord) mereka yang memang mulus dan brilian. Keinginan merebut kursi DKI-1 lebih didorong oleh keinginan menciptakan perubahan atau tatanan, yang secara terang benderang terlihat gagal dilakukan gubernur pada saat itu. Seandainya gubernur DKI ketika itu berhasil mencatatkan prestasi sukses yang diakui masyarakat, sudah pasti Jokowi-Ahok tidak akan bertarung di Pilgub DKI. Akhirnya Jokowi melanjutkan pertarungan ke RI-1 juga karena didorong oleh motif yang sama, yaitu membangun Jakarta dan Indonesia.  Kampanye perubahan yang diajukan akhirnya memang terbukti sejak tahun pertama menjabat, dan makin kuat terverifikasi pada saat ini.

Bukti prestasi dan kinerja yang mentereng itu membungkam para pengkritik, bahkan membuat para pengkritik, haters, dan calon kandidat lainnya kehabisan jurus pemungkas.  Dengan jujur dan terbuka Ahok berkomentar: "Saya bukan Superman. Bisa saja ada pelaksanaan visi dan misi saya yang kurang baik. Kalau warga Jakarta memang melihat ada calon yang lebih baik daripada saya, ya jangan pilih saya.” (sumber: http://metro.news.viva.co.id/news/).  Sebuah bukti, betapa dia tidak berambisi buta!

5. Fokus pada upaya memajukan bangsa. Dengan kata lain, fokuslah pada disain program Anda. Buatlah sebuah program pemungkas, misalnya untuk mengatasi banjir Jakarta, mengatasi kemacetan, dan lainnya. Program yang harus bisa meyakinkan masyarakat akan lebih baik dari programnya Ahok. Prinsipnya, dalam mempersiapkan kampanye, fokus saja pada program-program unggulan itu, tunjukkan dengan bukti, data, maupun argumentasi bahwa program-program Anda akan lebih “manjur” membawa kemajuan.  Dalam debat pilpres, Jokowi-JK dianggap unggul karena mengajukan program-program berbau inovatof dan kreatif, seperti revolusi mental, poros maritim dunia, toll laut, pembangunan infrastruktur di seluruh pelosok negeri (jalan lintas Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Papua, dsb), ekonomi kreatif, dan sebagainya.

6. Tidak kasar tetapi baik dan tegas. Ahok kerap dikritik, bahkan diupayakan dijatuhkan oleh para haters dan lawan-lawan politiknya karena dianggap kasar. Jadi, calon pesaing Ahok haruslah lembut. Tetapi lebih dari itu, bukan masalah lembut dan santunnya. Yang terpenting adalah tegas dan tidak berkompromi dengan segala hal yang berbau “kejahatan” terhadap negara, bangsa dan masyarakat Indonesia.  Tidak ada kompromi terhadap koruptor, terhadap pelanggar UUD 45, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dsb.

Dalam hal ini, sebagian masyarakat menganggap Ahok tegas, sebuah sikap yang memang sangat dibutuhkan dalam memimpin Jakarta. Untuk itulah,  sebagian anggota masyarakat rela melupakan kekasarannya, demi ketegasannya yang memang berbuah baik.  Persoalannya, di negeri ini banyak pemimpin yang terlihat santun, bahkan sangat kerap mengutip-ngutip ayat-ayat suci (religius), tetapi sayangnya kerap tidak dibarengi ketegasan, sikap adil, juga kinerja meyakinkan. Syukur-syukur  tidak korup.

7. Tidak membawa-bawa isu SARA. Pernah di suatu masa, isu SARA sangat efektif untuk menaik-turunkan pejabat. Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah matang. Perasaan nasionalisme jauh lebih kuat dan lebih merasuk. Kini, membawa-bawa isu SARA terlihat begitu kampungan dan kurang adab. Itu tidak berarti harus menyembunyikan identitas keagamaan atau SARA yang melekat pada diri. Bahkan, bisa saja seorang kandidat pejabat beragama secara kuat. Ulama pun bisa.  Tetapi, tidak menonjolkan identitas SARA secara berlebihan, apalagi dibarengi upaya melecehkan atau mendiskriminasi agama atau identitas SARA kandidat lain.

Dalam Pilgub, kita tahu banyak kampanye, selebaran, dan simbol-simbol liar lainnya yang mencoba menyerang, bahkan memanipulasi identitas SARA pasangan Jokowi-Ahok. Justru cara-cara ini makin melonjakkan eletabilitas  Jokowi-Ahok, sebaliknya merontokkan elektabilitas lawan. Masih hangat di ingatan kita, pada bulan September atau Oktober 2015, Adhiyaksa Dault yang telah mengumumkan niat akan maju sebagai kandidat Gubernur DKI, hanya gara-gara pembicaraannya yang dianggap terkait SARA langsung di-bully masyarakat.

Ungkapannya bukan menghina, hanya sedikit menyinggung SARA, sebagaimana klarifikasinya di media: "Saya kan bilang kalau Pak Ahok masuk Islam akan memudahkan langkah bapak menjadi gubernur ke depannya, tapi kan ternyata kalau tidak bisa, harus ada pembicaraan dengan tokoh-tokoh agama yang mayoritas Islam di Jakarta," paparnya. Beberapa waktu kemudian sekelompok orang yang menamakan diri “Eksponen Muda Lintas Agama” muncul dan mengkampanyekan dukungan kepada sang mantan Menpora di zaman presiden SBY itu. Nampaknya tidak ada pengaruh. Masyarakat sudah terlanjur memberikan penilaian mereka kepada integritas Dault.

8. Jadikan Pancasila, UUD, Bhineka Tunggal Ika sebagai panduan kepemimpinan. Sebuah jargon yang sangat tegas didengungkan oleh Jokowi-Ahok sejak kampanye Pilgub adalah, “kami lebih setia pada konstitusi daripada konstituen.” Ini baru negarawan sejati! Kepentingan negara lebih utama di atas segala kepentingan.  Ahok kerap mengatakan, “kalaupun saya harus mati, yang penting mati demi konstitusi, itu merupakan untung.”

Atas dasar itulah, Jokowi-Ahok tetap gigih mempertahankan lurah hasil lelang jabatan, Susan Jasmine Zulkifli yang ditolak masyarakat Lenteng Agung Jakarta karena alasan yang bernuansa SARA. Dalam pidatonya pada Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2013, dengan berapi-api Ahok menegaskan sikapnya. “Kami akan tetap pertahankan Lurah Susan. Kami tidak akan geser dia karena masalah SARA dan persaingan di dalam. Kita hidup di negara Pancasila. Pengangkatan dan pemberhentian kami pertimbangkan berdasarkan prestasi,” ujar Ahok. Lanjutnya lagi, “Pancasila tidak mungkin terkalahkan. Dari radikal kiri, mau radikal kanan itu sudah tidak mungkin. Jadi coba saja siapa yang pingin mengubah Pancasila pasti tumbang, pasti kalah.”

Atas dasar konstitusi pulalah, Ahok memperhatikan pembangunan masjid dan me-naik-haji-kan para penjaga Masjid, juga para lansia. Jokowi juga “membawa” pembangunan ke pelosok Timur Indonesia yang mayoritas non Muslim, seperti NTT dan  Papua.

Dengan delapan kriteria tersebut di atas, saya yakin Ahok maupun Jokowi akan mudah dikalahkan. Apalagi, mereka sendiri, sebagaimana karakter pemimpin sejati umumnya, yang juga saya yakini dimiliki  antara lain oleh ibu Risma, pak Ridwan Kamil, dan tokoh lainnya adalah tipe yang dengan sendirinya akan mengalah, bila mengetahui ada kandidat yang memang lebih baik dari mereka. Fokusnya adalah pada pencapaian kemajuan dan pembangunan yang lebih baik, bukan soal siapa yang memimpin!

Jadi, upaya “kompetitor” makin mudah sebab tipikal para pemimpin sejati tidak akan memberikan perlawanan kepada “calon pemimpin yang memang secara obyektif baik, terkualifikasi dan kompeten.” Karenanya, silahkan majukan kandidat yang sesuai kriteria di atas. Bila Anda memenuhi kondisi-kondisi di atas, mengapa tidak ikut bertarung juga??? Kata Ahok, “makin banyak kandidat, makin baik.” Dalam arti, proses untuk mendapatkan pemimpin terbaik dan berkualitas akan lebih terbuka. Monggo!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun