[caption caption="Survei CSIS jelang Pilkada DKI 2017"][/caption]
Hasil survei CSIS yang dirilis Senin, 25 Januari 2016 di Jakarta dengan tajuk “Calon Independen vis-a-vis Calon Partai' di kantor CSIS, mungkin menjadi kabar baik bagi pendukung Ahok, namun seakan petaka bagi para haters dan pesaing Ahok. Apalagi, dipertegas peneliti CSIS, Arya Fernandes bahwa "cukup berat menantang Ahok,” membuat kandidat calon lain bisa ciut. Kebanyakan pengamat menyikapi hasil survei ini secara wajar, dan mengakui atau setidaknya tidak mendebat hasil survei tersebut.
Menurut saya, setidaknya ada 8 pra-syarat yang bila terjadi, dimiliki atau dilakukan oleh seorang kandidat maka ia akan dapat mengalahkan Ahok, bahkan Jokowi.
1. Miliki reputasi dan rekam jejak brilian yang diakui masyarakat luas. Jokowi maupun Ahok memiliki reputasi yang sudah sejak lama terpelihara dan terawat baik. Sebagai pengusaha, keduanya termasuk sukses menjalankan bisnis mereka, meski tidak tergolong sebagai pengusaha besar. Dari reputasi baik selama menjadi pengusaha itulah, mereka didorong oleh lingkungan untuk memasuki dunia politik.
Di dunia politik pemerintahan, baik sebagai anggota DPRD, maupun Bupati dan Walikota, Jokowi dan Ahok sama-sama menciptakan perubahan-perubahan nyata yang dirasakan oleh masyarakat. Tidak tergoda korupsi, menerapkan transparansi, dan memperhatikan masyarakat marginal, antara lain merupakan fokus program andalan mereka. Atribut itu melekat pada diri, lalu membentuk reputasi dan rekam jejak keduanya.
2. Jangan jelekkan saingan. Bertarunglah secara fair. Pengalaman semenjak Pilgub DKI, para pesaing Jokowi-Ahok menggunakan cara-cara kampanye negatif maupun kampanye hitam untuk menyudutkan lawan. Justru cara-cara ini menjadi penyebab melorotnya elektabilitas mereka, seperti dipantau oleh hasil-hasil survei waktu itu. Sebaliknya, Jokowi-Ahok fokus pada eksplorasi visi dan paket-paket program perubahan mereka untuk memajukan Jakarta. Dan, itu membuat elektabilitas mereka terus meroket jauh meninggalkan petahana.
3. Tunjukkan kebaikan dan kompetensi lewat rekam jejak, bukan pidato. Masyarakat butuh bukti, bukan pidato. Sayangnya, banyak kandidat tidak memiliki kualifikasi ini. Mereka hanya memoles keahlian publik speaking mereka, juga penampilan eksterior dan baru berpura-pura baik ketika menjelang pilkada, misalnya dengan cara membagi-bagikan uang, door prize, hiburan artis, janji-janji dan sebagainya. Masyarakat kita sudah tahu ciri kandidat pemimpin yang sungguh-sungguh baik, atau hanya pura-pura baik. Pemimpin yang baik dan kompeten itu sudah teruji dan diketahui luas, setidaknya oleh masyarakat sekitarnya. Tetapi, pemimpin palsu biasanya “tiba-tiba baik,” yaitu ketika ada mau-maunya. Jadi, lakukanlah kebaikan sebagai sikap keseharian. Karena dari situlah kebaikan Anda mulai dikenal. Awalnya oleh keluarga, teman-teman, kemudian ke lingkungan yang lebih luas.
4. Tidak ambisius. Menurut saya, Ahok dan Jokowi sama-sama tidak ambisius. Banyak kritik diarahkan ke kedua tokoh ini ketika bertarung di Pilgub DKI, dengan mengajukan fakta bahwa Jokowi meninggalkan jabatan wali kota Solo, dan Ahok meninggalkan posisinya sebagai anggota DPR merupakan bukti ambisius dan gila kuasa. “Mereka berdua pemburu kuasa tulen,” demikian kira-kira pandangan para pengkritik. Apalagi kenyataan bahwa Ahok dari anggota DPRD di Blitung Timur bertarung merebut kursi bupati, belum selesai masa jabatan sudah bertarung ke DPR-RI, lalu belum selesai masa jabatan bertarung lagi ke kursi gubernur DKI. Benarkah demikian? Menurut saya tidak. Kalau mereka ambisius, mereka akan menggunakan segala cara untuk memenangkan pertarungan.
Itu tipikal orang ambisius tulen. Kenyataannya, mereka “hanya” menjual rekam jejak (track rekord) mereka yang memang mulus dan brilian. Keinginan merebut kursi DKI-1 lebih didorong oleh keinginan menciptakan perubahan atau tatanan, yang secara terang benderang terlihat gagal dilakukan gubernur pada saat itu. Seandainya gubernur DKI ketika itu berhasil mencatatkan prestasi sukses yang diakui masyarakat, sudah pasti Jokowi-Ahok tidak akan bertarung di Pilgub DKI. Akhirnya Jokowi melanjutkan pertarungan ke RI-1 juga karena didorong oleh motif yang sama, yaitu membangun Jakarta dan Indonesia. Kampanye perubahan yang diajukan akhirnya memang terbukti sejak tahun pertama menjabat, dan makin kuat terverifikasi pada saat ini.
Bukti prestasi dan kinerja yang mentereng itu membungkam para pengkritik, bahkan membuat para pengkritik, haters, dan calon kandidat lainnya kehabisan jurus pemungkas. Dengan jujur dan terbuka Ahok berkomentar: "Saya bukan Superman. Bisa saja ada pelaksanaan visi dan misi saya yang kurang baik. Kalau warga Jakarta memang melihat ada calon yang lebih baik daripada saya, ya jangan pilih saya.” (sumber: http://metro.news.viva.co.id/news/). Sebuah bukti, betapa dia tidak berambisi buta!