Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surga Kecil opa Nani, Rote Gerbang Selatan Indonesia

25 Januari 2016   17:06 Diperbarui: 23 Mei 2016   08:57 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wadah tempat makan dan ngopi terbuat dari tempurung kelapa (koleksi pribadi)

Opa Nani adalah bungsu dari saudara ayah ibu saya. Mereka bersaudara 9, lelaki 7 dan 2 perempuan. Tujuh  sudah meninggal, tinggal opa Nani dan seorang saudari perempuannya (Oma Gina) yang kini berusia 92, tinggal di Soe, TTS. Opa Nani sendiri berumur 88.

Ibu saya adalah anak sulung dari kakak tertua opa Nani. Jadi usia ibu dan opa Nani hanya terpaut 6 tahun.

Sejak istrinya meninggal 2005 opa Nani memilih tinggal di rumah kecil di sawahnya. Dulunya hanya ditinggali setiap menjelang dan selama masa panen. Letaknya di sebuah lembah cekung yang dikelilingi perbukitan.  Rumah itu terletak di sisi atas areal persawahan yang luas keseluruhannya mendekati  0,5 Ha.  Sebagai wilayah yang kurang sumber air sawah itu hanya dikerjakan sekali dalam setahun, setiap musim hujan.  Opa Nani mengerjakannya.

Istana Opa Nani dan lahan sawahnya (dok.probadi)
Istana Opa Nani dan lahan sawahnya (dok.probadi)
Bila tiba saatnya panen, anak lelakinya, Papi bersama istrinya  yang datang mengerjakan. Hasilnya lalu dibawah pulang ke rumah. Opa Nani sendiri tidak menyimpan apa-apa di rumah mungilnya, kecuali sembako seperlunya. Beras, gula, kopi, dan sebagainya biasa dibawakan oleh anak dan handai toulan. Termasuk ibu saya dan adik-adik ibu dari Kupang, maupun anak lainnya. Itupun ia sering kecurian. Maklumlah, rumah itu tidak memiliki pintu. Juga tidak ada tempat khusus untuk menyembunyikan propertinya itu. Tetapi, Opa tidak menyukai kosa kata “kecurian.”  Katanya, “tentu yang mengambil adalah mereka yang membutuhkan, yang lakukan perjalanan jauh sehingga kelaparan, atau  mungkin saja anak-anak dan cucu-cucu saya.”  Meski kecil, terbuat dari kayu beratapkan daun alang-alang, rumah itu sudah menjadi istana kesayangan Opa Nani. Sebuah surga kecil yang damai dan tenang.

Tomat
Tomat
Bagaimana Opa menjalani kehidupan? Inilah pertanyaan yang menggoda saya sejak lama. Bayangkan, hidup sendiri jauh dari perumahan penduduk (perkampungan terdekat sekitar 1 km), dalam usia yang menjelang 90!  Ketika ayah saya, yang juga teman terdekat opa Nani sejak sekolah (SR=Sekolah Rakyat) meninggal tahun 2008, saya telah berjanji pada opa Nani bahwa kelak kalau ke kampung lagi saya akan menemaninya menginap, setidaknya semalam di istana eksotiknya itu. 

Maka, setelah natal 2015 saya pulang kampung hendak merayakan tahun baru.  Tepat tanggal 31 Desember, ketika matahari senja sudah berada di balik punggung perbukitan barat, kami berempat: saya, ibu saya, anak paman saya (saudara lelaki ibu) Nobe, serta anaknya (cucu paman) Lita,  menuruni lembah lewat jalan setapak menuju istana opa Nani. Cuaca masih terang. Ketika melewati pagar masuk ke areal persawahan, terlihat tanaman-tanaman rimbun tak terawat. Ketela, singkong, dan semak maupun tumbuhan lainnya tumbuh bersama dan akrab berbagi ruang.

Di lahan sawah yang belum ditanami karena terlambatnya musim hujan tumbuh subur sejumlah tanaman, antara lain sejenis tomat yang buahnya kecil-kecil, tumbuh menyebar di beberapa titik, cabe rawit, pare, dan sejumlah tanaman bumbu-bumbuan seperti seledri, kemangi, dan lainnya.

Opa sedang duduk di dipan bambu di depan rumah. Rupanya ia baru saja selesai memberi makan ternak peliharaannya; beberapa ekor babi serta ratusan ekor ayam kampung. Hanya saja, ayam-ayamnya sudah mulai naik pohon. Di depan rumah terdapat beberapa pohon rimbun, antara lain Kesambi dan Kapuk (randu) tempat ayam-ayam itu berteduh di waktu malam.

Wadah tempat makan dan ngopi terbuat dari tempurung kelapa (koleksi pribadi)
Wadah tempat makan dan ngopi terbuat dari tempurung kelapa (koleksi pribadi)
Setelah melepas rindu opa meminta Nobe menangkap seekor ayam jantan untuk makan malam kami. Lantaran baru saja naik pohon harus menunggu beberapa waktu hingga ayam-ayam itu ketiduran dulu, barulah bisa ditangkap, Hanya dengan senter dan jerat yang terbuat dari tali gewang diikatkan di ujung bambu panjang.  Saya mengajak Lita pergi mencari sayuran untuk dimakan. Opa hanya menanam singkong dan ketela. Lainnya tidak pernah ditanam. Baginya makanan bagi manusia selalu tersedia di alam. “hewan dan makhluk hidup lain yang tidak kerja dan tidak berpikir saja Tuhan sediakan makanan bagi meraka, apalagi manusia?”, demikian opa berargumen.  Bumbu-bumbu pun tidak ada. Karena sewaktu datang kami sama-sama sudah melihat tempatnya, segera saja saya dan Lita menuju tempat tomat, cabai, juga pare. Lita menemukan rimbunan daun selasih dan sereh. Hasil panen tomat hampir penuh semangkuk tempurung kelapa.  

Opa meminta Lita membuat api di tungku untuk memasak air  agar kami bisa ngopi bareng.  Saya membawakan kopi bubuk dari Dili, Timor Leste. Tetapi opa sendiri punya stok kopi lokal yang masih banyak.  Setelah air mendidih kami pun siap menikmati kopi panas. Ternyata opa tidak punya cangkir atau pun gelas. Media yang digunakan untuk minum kopi terbuat dari tempurung kelapa hasil buatan tangannya sendiri. Tentu saja ukurannya menjadi terlalu besar untuk segelas kopi. 

Lita mengambilkan kami masing-masing “semangkuk tempurung” dengan sendok, kopi bubuk, gula dan air panas. Masing-masing seduh sendiri sesuai kemampuan, menakar komposisi kopi, gula dan air sesuai selera. Dibawah udara senja yang sejuk, dengan tiupan angin meluruh lekukan lembah membuat aroma kopi merebak tercium harum dengan rasa yang ektstastik. Lembah cengkokan yang kecil itu seakan dipenuhi aroma kopi, menyebar membau udara pedesaan. Apalagi diseruput langsung dari bibir tempurng terasa memunculkan sensasi unik dan menawan. Seakan ikut mengokohkan taste dan karakter dasar kopi. Fantastik! Ada pilihan lain, yaitu dengan menggunakan sendok. Kebanyakan memilih cara ini disebabkan terlalu panas sehingga beresiko bila diseruput langsung dari mangkok. Apalagi karena bibir mangkok tempurung terlalu lebar, bagi yang tidak terbiasa akan sedikit sulit mengontrol volume yang pas untuk dinikmati. Sejenak saya merasa tersedot dalam terowongan waktu, terlempar ke 30-an tahun lalu ketika masih sebagai kanak-kanak di musim panen berlarian di persawahan mencari tikus sawah, tekukur, atau udang dan belut di malam hari. Sebuah surga yang pernah akrab dalam kehidupan ku.

Sayangnya, Nobe tidak berhasil menangkap ayam. Mungkin karena ramai, ayam-ayam tetap terjaga sehingga ketika hendak ditangkap semua pada terbang. Opa meminta Lita mengambil saja butir telur untuk merebusnya sebagai lauk makan malam. Kami tidak beruntung. Tempat telur yang ditunjuk Opa pun rupanya baru dierami induknya hari itu. Seekor induk hendak disembelih untuk kami, tetapi ibu saya protes. Menurutnya, itu seperti membunuh seorang wanita yang sedang mengandung. Saya sepakat. Opa Nani hanya merasa perlu memeriahkan kehadiran kami dengan menyembelih sesuatu. Saya menenangkannya dan mengatakan, biarlah besok pagi saja. Malam itu kami bisa makan dengan sambal tomat dan pare. Saya sudah lama merindukan kesederhanaan menu khas desa macam itu.

Seuk, payung tradisional buatan Opa Nani (dok.pribadi)
Seuk, payung tradisional buatan Opa Nani (dok.pribadi)
Setelah makan, kami saling bertukar cerita. Kemudian Opa menganjurkan kami sebaiknya tidur supaya bisa bangun pukul 00.00.  Dipan dalam huma hanya 3. Di luar terdapat 2 dipan. Saya dan Nobe memutuskan untuk tidur di luar. Saya memilih dipan yang posisinya lebih terbuka. Dengan demikian, dalam posisi terlentang saya menatap langsung ke langit luas. Atau dalam posisi miring menatap semarak kelam dedaunan di sepanjang garis lengkung puncak perbukitan, seperti tertanam di balik lanskap berwarna perak kebiruan. Sebuah pemandangan yang sudah jarang saya nikmati. Eksotik! Di atas lanskap tak terbatas ini entah berapa jumlah bintang berhamburan, memancarkan beragam cahaya. Dari dataran rendah terkepung bukit berarak hutan, suasana sunyi dan tanpa penerangan, bahkan juga tak terlihat cahaya dari perumahan penduduk lantaran jarak dan lintasan bukit, kerlap kerlip sinar benda-benda semesta itu terasa sangat terang. Langit lebih dekat dan rendah. Seakan bumi dan langit berteman intim.

Sekitar pukul 21.00 bulan mencuat di punggung bukit. Warna perak keemasan memancah. Ah, indahnya. Terasa seperti sudah tengah malam. Jangkrik dan  katak sawah bersahut-sahutan, membuat malam tahun baru terdengar semarak. Sekali-kali burung malam, yang saya ingat sebutan lokalnya korbaok, memperdengarkan ciutannya. Kooorbaok, korbaok, korbaok, keook..keok..keok, demikian berulang-ulang dan sahut-sahutan seekor dengan lainnya. Mereka awet merawat eksistensi, mengunduh file kenangan kekanakkan yang nyaris deleted dari album kenangan hidup. Sebuah dunia dengan pesona ketenangan, dimana determinasi alam begitu dominan tanpa distorsi teknologi signal, internet, radio, bahkan listrik. Kontradiksi kehidupan kota di peradaban supermodern ini!

Opa Nani dan teman setia yang selalu mengunjunginya (Dokpri)
Opa Nani dan teman setia yang selalu mengunjunginya (Dokpri)
`

Saya tertidur. Mungkin terkulai oleh daya hipnotis semesta. Lainnya lebih dahulu ngorok pulas. Harusnya jam 00.00 bangun untuk doa syukur bersama menyambut Tahun Baru 2016. Sebuah kebiasaan masyarakat di kampung yang terawat apik. Kebanyakan penduduk sejak sore hari sudah berada di Gereja, menyongsong tahun baru dengan berbagai acara kerohanian, hingga mencapai puncaknya di doa syukur pukul 00.00. 

Untungnya, hampir jam 01.00 dini hari, kami kedatangan tamu. Tepatnya, tamu opa Nani. Suami istri. Mereka membawa daging rebus dan kue. Opa membangunkan kami semua untuk doa syukur, sekaligus makan bersama. Bagi opa, makanan itu untuk perayaan tahun baru, jadi harus dihabiskan juga sebagai syukur tahun baru. Kami bersalaman, berciuman, saling mengucapkan selamat dan menyampaikan harapan dan doa. Opa memimpin doa untuk kami semua. Sangat khusuk dengan bahasa Rote yang halus. Terasa seperti suasana meditasi. Lalu kami makan bersama. Kelak, setelah kembali ke Kupang barulah saya diingatkan oleh Betji, kakak sulung saya, bahwa tanggal 1 Januari adalah hari Ulang Tahun Opa Nani. Ah, sayang sekali, mama pun melupakannya.  Meski demikian, saya beryukur karena telah merayakan bersama opa Nani, mama dan anak cucu to'o Lius (saudara lelaki mama).

Semua peralatan yang digunakan opa Nani masih asli warisan budaya. Semua buatan tangannya sendiri. Piring terbuat dari anyaman daun lontar, disebut luák. Ini biasanya wadah nasi untuk makan. Lokak adalah wadah untuk daging. Setiap orang biasanya mendapatkan luak dan lokak, nasi dan lauk. Lalu, mangkok terbuat tempurung kelapa menjadi wadah makanan berkuah. Biasanya, kalau makan nasi dengan lauk berkuah, misalnya kuah ayam (Opa hanya makan daging yang direbus atau dipanggang) langsung di tempurung kelapa itu. Air minum tidak direbus. Diambil dengan haik (wadah) kecil, yang juga terbuat dari daun lontar, dari ember (sayang tidak ada lagi nggusi yang biasanya terbuat dari tanah liat, dulu merupakan tempat menyimpan air atau gula cair) langsung di minum. 

Saya lihat juga sebuah seuk tergantung di dekat perapian. Seuk adalah “payung” pelindung dari hujan, bahkan juga angin bila sedang dalam perjalanan. Demikian pula, ti’ilanga (topi lelaki Rote yang terbuat dari daun lontar) milik opa Nani bentuknya unik tanpa dedeok (“antene”), sebagaimana ti’ilanga umumnya. Kabar baiknya, hampir semua diberikan opa Nani kepada saya sebagai oleh-oleh: “piring” 2 buah, mangkok tempurung ½ lusin, sendok ½ lusin, dan terakhir seuk 1 unit.  Saya ingin menggunakannya di rumah di Salatiga. Seuk sebagai pengganti payung, mangkok tempurng/batok kelapa untuk makanan berkuah, sekaligus dengan sendoknya, dan sebagainya. Rasanya ditengah-tengah kondisi miskinnya karya dan produksi domestik khas Indonesia, menggunakan kembali produk budaya memberi kebanggaan nasional.  Kita telah terlalu jauh melangkah, mengidolakan produk luar negeri dan mengabaikan karya khas dan unik bangsa sendiri.   

Setelah makan, saya mengingatkan opa akan masah kecil dimana selalu ada agenda cerita menjelang tidur. Sebuah tradisi khas yang mengajarkan kearifan dan bersifat edukatif, namun sudah mulai punah. Lantaran sangat lama tidak melakoninya lagi, opa Nani sudah banyak melupakan. Ia berusaha mengingat. Tepatnya, kami semua berusaha saling mengingatkan. Akhirnya kebiasaan indah masa kanak-kanak itu bisa kami hadirkan,  apalagi karena ibu saya juga ikut berpartisipasi. Sesuatu yang telah lama saya pendam-rindukan.

Selfie di istana Opa Nani (Dokpri)
Selfie di istana Opa Nani (Dokpri)
Terdapat tiga jenis tuturan penghantar tidur. Ketiganya dalam bahasa lokal disebut tutuik(cerita), neneuk (teka-teki pendek) dan kekek (teka-teki panjang atau semacam problem solving). Kebiasaan bertukar tutuik, neneuk, dan kekek merupakan ritual menjelang tidur. Biasanya dilakukan dengan cara bertukar, tutur bergiliran, atau penuturan hanya oleh seorang yang dituakan, misalnya opa, oma, ayah atau ibu. Penutur bisa menyampaikan salahsatu, salahdua atau salahtiga dari ketiga tipe itu. Itu bisa menjadi semacam asah otak sebelum tidur, tetapi juga ajaran hikmat yang tersisipkan dalam setiap kisah. Bila yang disampaikan adalah neneuk atau kekek, siatuasi akan menjadi ramai. Karena ada yang bersifat jebakan tak teduga, pemicu nalar, dan sejenisnya. Lalu tutuik akan membuat semua menyimak dengan khusuk dan hikmat, sampai tertidur lelap dalam kepuasan, kepenuhan dan kebahagiaan. Dalam penyampaian narasi tutuik bisa saja ada yang ikut berpartisipasi meluruskan atau menambahkan, bila ia kebetulan pernah mendengar atau mengetahui cerita tersebut.  

Kebanyakan tutuik dari opa Nani adalah tentang Abuna’bas (Abunawas/ Abu Nawas dalam dialek lokal). Entah bagaimana sejarahnya, kisah Abunawas begitu popular di Rote. Neneuk (teka-teki) umumnya bersumber dari Alkitab, tetapi juga ada yang tidak. Misalnya “A, P, K, dimanakah D?” Atau, “bersisik bukannya ikan, berpayung bukannya raja, apakah itu?” Berbeda lagi dengan Kekek, yang menurut saya agak unik dan rumit, tetapi lebih menantang pikiran. Malam itu Opa Nani menyampaikan sebuah kekek sebagai berikut:

“Seorang pria hendak menyeberang dengan sampan kecil. Ia membawa seekor domba, seekor anjing, dan beberapa ikat daun sirih. Karena kecilnya sampan, dia hanya boleh menyeberangkan satu-per satu dari propertinya itu. Bagaimana caranya, supaya ia bisa membawa semuanya selamat sampai seberang? Bila ia duluan membawa daun sirih dan meninggalkan anjing dan domba, sudah pasti domba akan dimakan anjing. Bila duluan membawa anjing, sudah pasti domba akan memakan daun sirih. Bila duluan membawa domba, lalu membawa anjing juga tidak mungkin karena ketika kembali menjemput daun sirih, anjing akan langsung melahap domba.”

Nah, maukah Anda mencoba membuka “katup kekek” dari opa Nani ini? Silahkan, diper-monggo, anggap saja itu oleh-oleh dan salam persahabatan Opa Nani dari taman Firdaus, lembah ha’doeanak, Soloe, TalaE Rote, gerbang selatan Indonesia. Betapa rindunya pulang kampung lagi!

20160513-200908-1-57403d392223bdf506cd618e.jpg
20160513-200908-1-57403d392223bdf506cd618e.jpg
NB: 13 Mei 2016 Opa Nani telah dipanggil pulang oleh Penciptanya. Selamat jalan Opa Yohanis Letik, keteladanan dan kearifan mu akan kekal diingat oleh kami, anak, cucu dan cicit mu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun