Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surga Kecil opa Nani, Rote Gerbang Selatan Indonesia

25 Januari 2016   17:06 Diperbarui: 23 Mei 2016   08:57 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sayangnya, Nobe tidak berhasil menangkap ayam. Mungkin karena ramai, ayam-ayam tetap terjaga sehingga ketika hendak ditangkap semua pada terbang. Opa meminta Lita mengambil saja butir telur untuk merebusnya sebagai lauk makan malam. Kami tidak beruntung. Tempat telur yang ditunjuk Opa pun rupanya baru dierami induknya hari itu. Seekor induk hendak disembelih untuk kami, tetapi ibu saya protes. Menurutnya, itu seperti membunuh seorang wanita yang sedang mengandung. Saya sepakat. Opa Nani hanya merasa perlu memeriahkan kehadiran kami dengan menyembelih sesuatu. Saya menenangkannya dan mengatakan, biarlah besok pagi saja. Malam itu kami bisa makan dengan sambal tomat dan pare. Saya sudah lama merindukan kesederhanaan menu khas desa macam itu.

Seuk, payung tradisional buatan Opa Nani (dok.pribadi)
Seuk, payung tradisional buatan Opa Nani (dok.pribadi)
Setelah makan, kami saling bertukar cerita. Kemudian Opa menganjurkan kami sebaiknya tidur supaya bisa bangun pukul 00.00.  Dipan dalam huma hanya 3. Di luar terdapat 2 dipan. Saya dan Nobe memutuskan untuk tidur di luar. Saya memilih dipan yang posisinya lebih terbuka. Dengan demikian, dalam posisi terlentang saya menatap langsung ke langit luas. Atau dalam posisi miring menatap semarak kelam dedaunan di sepanjang garis lengkung puncak perbukitan, seperti tertanam di balik lanskap berwarna perak kebiruan. Sebuah pemandangan yang sudah jarang saya nikmati. Eksotik! Di atas lanskap tak terbatas ini entah berapa jumlah bintang berhamburan, memancarkan beragam cahaya. Dari dataran rendah terkepung bukit berarak hutan, suasana sunyi dan tanpa penerangan, bahkan juga tak terlihat cahaya dari perumahan penduduk lantaran jarak dan lintasan bukit, kerlap kerlip sinar benda-benda semesta itu terasa sangat terang. Langit lebih dekat dan rendah. Seakan bumi dan langit berteman intim.

Sekitar pukul 21.00 bulan mencuat di punggung bukit. Warna perak keemasan memancah. Ah, indahnya. Terasa seperti sudah tengah malam. Jangkrik dan  katak sawah bersahut-sahutan, membuat malam tahun baru terdengar semarak. Sekali-kali burung malam, yang saya ingat sebutan lokalnya korbaok, memperdengarkan ciutannya. Kooorbaok, korbaok, korbaok, keook..keok..keok, demikian berulang-ulang dan sahut-sahutan seekor dengan lainnya. Mereka awet merawat eksistensi, mengunduh file kenangan kekanakkan yang nyaris deleted dari album kenangan hidup. Sebuah dunia dengan pesona ketenangan, dimana determinasi alam begitu dominan tanpa distorsi teknologi signal, internet, radio, bahkan listrik. Kontradiksi kehidupan kota di peradaban supermodern ini!

Opa Nani dan teman setia yang selalu mengunjunginya (Dokpri)
Opa Nani dan teman setia yang selalu mengunjunginya (Dokpri)
`

Saya tertidur. Mungkin terkulai oleh daya hipnotis semesta. Lainnya lebih dahulu ngorok pulas. Harusnya jam 00.00 bangun untuk doa syukur bersama menyambut Tahun Baru 2016. Sebuah kebiasaan masyarakat di kampung yang terawat apik. Kebanyakan penduduk sejak sore hari sudah berada di Gereja, menyongsong tahun baru dengan berbagai acara kerohanian, hingga mencapai puncaknya di doa syukur pukul 00.00. 

Untungnya, hampir jam 01.00 dini hari, kami kedatangan tamu. Tepatnya, tamu opa Nani. Suami istri. Mereka membawa daging rebus dan kue. Opa membangunkan kami semua untuk doa syukur, sekaligus makan bersama. Bagi opa, makanan itu untuk perayaan tahun baru, jadi harus dihabiskan juga sebagai syukur tahun baru. Kami bersalaman, berciuman, saling mengucapkan selamat dan menyampaikan harapan dan doa. Opa memimpin doa untuk kami semua. Sangat khusuk dengan bahasa Rote yang halus. Terasa seperti suasana meditasi. Lalu kami makan bersama. Kelak, setelah kembali ke Kupang barulah saya diingatkan oleh Betji, kakak sulung saya, bahwa tanggal 1 Januari adalah hari Ulang Tahun Opa Nani. Ah, sayang sekali, mama pun melupakannya.  Meski demikian, saya beryukur karena telah merayakan bersama opa Nani, mama dan anak cucu to'o Lius (saudara lelaki mama).

Semua peralatan yang digunakan opa Nani masih asli warisan budaya. Semua buatan tangannya sendiri. Piring terbuat dari anyaman daun lontar, disebut luák. Ini biasanya wadah nasi untuk makan. Lokak adalah wadah untuk daging. Setiap orang biasanya mendapatkan luak dan lokak, nasi dan lauk. Lalu, mangkok terbuat tempurung kelapa menjadi wadah makanan berkuah. Biasanya, kalau makan nasi dengan lauk berkuah, misalnya kuah ayam (Opa hanya makan daging yang direbus atau dipanggang) langsung di tempurung kelapa itu. Air minum tidak direbus. Diambil dengan haik (wadah) kecil, yang juga terbuat dari daun lontar, dari ember (sayang tidak ada lagi nggusi yang biasanya terbuat dari tanah liat, dulu merupakan tempat menyimpan air atau gula cair) langsung di minum. 

Saya lihat juga sebuah seuk tergantung di dekat perapian. Seuk adalah “payung” pelindung dari hujan, bahkan juga angin bila sedang dalam perjalanan. Demikian pula, ti’ilanga (topi lelaki Rote yang terbuat dari daun lontar) milik opa Nani bentuknya unik tanpa dedeok (“antene”), sebagaimana ti’ilanga umumnya. Kabar baiknya, hampir semua diberikan opa Nani kepada saya sebagai oleh-oleh: “piring” 2 buah, mangkok tempurung ½ lusin, sendok ½ lusin, dan terakhir seuk 1 unit.  Saya ingin menggunakannya di rumah di Salatiga. Seuk sebagai pengganti payung, mangkok tempurng/batok kelapa untuk makanan berkuah, sekaligus dengan sendoknya, dan sebagainya. Rasanya ditengah-tengah kondisi miskinnya karya dan produksi domestik khas Indonesia, menggunakan kembali produk budaya memberi kebanggaan nasional.  Kita telah terlalu jauh melangkah, mengidolakan produk luar negeri dan mengabaikan karya khas dan unik bangsa sendiri.   

Setelah makan, saya mengingatkan opa akan masah kecil dimana selalu ada agenda cerita menjelang tidur. Sebuah tradisi khas yang mengajarkan kearifan dan bersifat edukatif, namun sudah mulai punah. Lantaran sangat lama tidak melakoninya lagi, opa Nani sudah banyak melupakan. Ia berusaha mengingat. Tepatnya, kami semua berusaha saling mengingatkan. Akhirnya kebiasaan indah masa kanak-kanak itu bisa kami hadirkan,  apalagi karena ibu saya juga ikut berpartisipasi. Sesuatu yang telah lama saya pendam-rindukan.

Selfie di istana Opa Nani (Dokpri)
Selfie di istana Opa Nani (Dokpri)
Terdapat tiga jenis tuturan penghantar tidur. Ketiganya dalam bahasa lokal disebut tutuik(cerita), neneuk (teka-teki pendek) dan kekek (teka-teki panjang atau semacam problem solving). Kebiasaan bertukar tutuik, neneuk, dan kekek merupakan ritual menjelang tidur. Biasanya dilakukan dengan cara bertukar, tutur bergiliran, atau penuturan hanya oleh seorang yang dituakan, misalnya opa, oma, ayah atau ibu. Penutur bisa menyampaikan salahsatu, salahdua atau salahtiga dari ketiga tipe itu. Itu bisa menjadi semacam asah otak sebelum tidur, tetapi juga ajaran hikmat yang tersisipkan dalam setiap kisah. Bila yang disampaikan adalah neneuk atau kekek, siatuasi akan menjadi ramai. Karena ada yang bersifat jebakan tak teduga, pemicu nalar, dan sejenisnya. Lalu tutuik akan membuat semua menyimak dengan khusuk dan hikmat, sampai tertidur lelap dalam kepuasan, kepenuhan dan kebahagiaan. Dalam penyampaian narasi tutuik bisa saja ada yang ikut berpartisipasi meluruskan atau menambahkan, bila ia kebetulan pernah mendengar atau mengetahui cerita tersebut.  

Kebanyakan tutuik dari opa Nani adalah tentang Abuna’bas (Abunawas/ Abu Nawas dalam dialek lokal). Entah bagaimana sejarahnya, kisah Abunawas begitu popular di Rote. Neneuk (teka-teki) umumnya bersumber dari Alkitab, tetapi juga ada yang tidak. Misalnya “A, P, K, dimanakah D?” Atau, “bersisik bukannya ikan, berpayung bukannya raja, apakah itu?” Berbeda lagi dengan Kekek, yang menurut saya agak unik dan rumit, tetapi lebih menantang pikiran. Malam itu Opa Nani menyampaikan sebuah kekek sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun