Mohon tunggu...
Semuel Leunufna
Semuel Leunufna Mohon Tunggu... Dosen - You Will Never Win if You Never Begin

Dosen Universitas Pattimura Ambon

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Bencana Alam, Perubahan Iklim, Ketahanan Pangan dan Peringatan Dini

1 November 2021   10:00 Diperbarui: 1 November 2021   10:05 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Tahun 2014 disambut masyarakat Indonesia, tidak hanya dengan bunyi terompet, petasan, meriam bambu, roket yang meledak diudara memancarkan kembang api berwarna-warni dengan formasi yang indah memukau, tetapi juga dengan bunyi-bunyian lainnya yang mengetarkan hati, membawa bencana, penderitaan dan kerugian material maupun non-material yang tidak sedikit jumlahnya.  Satu diantaranya, letusan gunung berapi yang menyemburkan debu vulkanik hingga ratusan mil jauhnya, menutupi lahan dan tanaman pertanian serta sejumlah wilayah penting lainnya termasuk situs Candi Borobudur di Jawa Tengah yang tidak hanya  penting sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia tetapi juga sebagai objek wisata yang menghidupi sebagian penduduk sekitar.  Lava maupun lahar (panas maupun dingin) yang mengalir dari puncak menyapu bersih setiap materi yang dilandanya, hidup maupun tak hidup, memporak-porandakan aliran sungai, tanah, gunung, bukit, lembah,  lahan pertanian, pedesaan beserta  perumahan penduduk.

Bunyi-bunyian lainnya adalah guruh, sambaran kilat atau lompatan listrik dari awan ke awan ataupun awan ke bumi diikuti angin kencang dan hujan deras berkepanjangan yang berlanjut pada luapan air serta bencana banjir yang menenggelamkan dan menghancurkan rumah-rumah, jalan, jembatan, memaksa penduduk desa maupun kota meningggalkan kediamannya untuk periode waktu yang tidak tentu.

Dapat diduga bahwa sejumlah besar penduduk, terpaksa membatalkan, merobah, memodifikasi atau merevisi resolusi hidupnya ataupun harus menghadapi kerja ekstra keras bila tetap ingin merealisasikan rencana pencapaian pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa yang telah dicanangkan pada akhir tahun 2013 lalu. 

Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga pertengahan bulan February sejak memasuki tahun 2014, telah terjadi sejumlah  282  bencana yang menelan korban 197 jiwa meninggal dunia, 64 luka-luka, serta 1,6 juta pengungsi. Beberapa bencana besar termasuk letusan gunung Sinabung di Sumatera Utara, banjir bandang di Menado, Sulawesi Utara, banjir pantai Utara Jawa (pantura), banjir Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarata, menyebabkan kerugian total sebesar 13, 87 triliun rupiah (Albasit, 2014).

Bencana letusan gunung Kelud di Jawa Timur merupakan salah satu bencana besar terakhir (14 Februari, 2014). Dalam wawancara Prime Time News Metro TV, Mentri Pertanian RI, Dr. Suswono, mengemukakan bahwa bencana gunung Kelud tidak berdampak besar pada komuditas tanaman pangan khususnya padi, namun berpengaruh pada tanaman hortikultura termasuk cabe, tomat, apel dan lainnya. Taksasi kerugian bencana gunung Kelud belum dapat dilakukan karena sebagian lahan yang dianggap rusak oleh tutupan debu vulkanik, mungkin masih dapat dikembalikan, misalnya dengan cara pembersihan. Upaya utama yang sedang dilakukan adalah penyelamatan ternak berupa evakuasi dari wilayah terdampak besar serta pemberian pakan pada wilayah dimana tidak diperlukan evakuasi. Pengamat penanggulangan bencana yang ikut dalam wawancara, menekankan dua hal urgen untuk dilakukan pemerintah; pemasokan bahan pangan serta stabilitas harga.

Jelas bahwa ketahanan pangan (food security) menjadi tema yang dipercakapkan atau menjadi kerisauan kedua nara sumber dan tentu juga masyarakat Indonesia, khusunya pada wilayah terdampak bencana.  Ketahanan pangan merefleksikan ketersediaan pangan yang cukup secara rutin untuk memenuhi kebutuhan keluarga dari berbagai sumber pangan termasuk tumbuhan, ikan, hewan ternak dan sumber lainnya. Beberapa persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam menjamin ketahanan pangan termasuk produktifitas pertanian yang menjamin ketersediaan pangan, akses pangan yang mudah termasuk distribusi yang baik,  terpenuhinya unsur kesehatan yakni tidak tercemar materi fisik, kimia, biologis yang merusak kesehatan, terpenuhinya standard ke-halal-an bagi anggota masyarakat yang mensyaratkannya, serta harga yang terjangkau. Bencana yang memporak-porandakan infra-struktur suatu wilayah termasuk lahan-lahan pertanian, sarana- prasarana jalan, jembatan, pusat-pusat perbelanjan, pasar dan sebagainya, menghilangkan sumber mata pencaharian penduduk, tentu akan berdampak besar pada ketahanan pangan wilayah dimaksud.

Mengapa Bisa Terjadi?

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apa yang menjadi penyebab atau asal-muasal bencana diatas? Rasanya tidak cukup hanya dengan mengatakan “Tuhan mulai bosan dengan tingkah kita”! atau “alam mulai enggan bersahabat dengan kita”!, menirukan Pak Ebiet G. Ade. Jawaban yang, bila mungkin, sifatnya lebih ilmiah dari pertanyaan ini, kemudian mungkin akan memberi masukan bagaimana melakukan tindakan preventif, pre-emptif maupun kuratif terhadap bencana dimaksud.

Bila bencana gunung berapi dapat dikatakan merupakan suatu bencana yang harus diterima dengan pasrah, artinya tak ada yang dapat dilakukan manusia untuk mencegah terjadinya (nothing we can do about it) atau bencana dimana belum terjelaskan kontribusi manusia didalamnya karena merupakan suatu konsekuensi dari letak geografis Indonesia pada lintasan deretan gunung berapi, maka bencana banjir dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk ekstrim dari pengaruh pergeseran iklim yang bila ditelusuri kembali, berpangkal diantaranya pada penggundulan/pengrusakan hutan dan biodiversitas, termasuk pengubahan ke sistim pertanian monokultur yang adalah aktivitas manusia.

Tindakan preventif untuk bencana banjir jelas dapat dilakukan dengan sederhana, pada wilayah-wilayah yang belum terlambat dilakukan, menghentikan aktivitas manusia tadi. Menanami kembali hutan serta wilayah yang tidak bervegetasi lainnya dapat digolongkan suatu tindakan preventif lain atau dapat juga digolongkan tindakan kuratif. Tindakan menyemprotkan materi kimia tertentu, garam dapur (NaCl) misalnya, menggunakan pesawat terbang pada awan yang berpeluang hujan, memaksakan jatuhnya hujan secara menyebar dan tidak terkonsentrasi pada wilayah rawan banjir, merupakan bentuk lainnya. Namun dalam penerapannya di wilayah Jakarta beberapa waktu lalu oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) nampaknya belum berhasil. 

Tindakan kuratif untuk kedua bentuk bencana, banjir dan letusan gunung berapi, secara resmi merupakan tanggungjawab pemerintah melalui BNPB; melakukan kalkulasi kerugian, memberikan bantuan, mengorganisir/mengkoordinasikan pemberian bantuan, mencegah bencana lanjutan termasuk terganggunya ketahanan pangan dst. (tentu disini tidak diupayakan untuk menjelaskan tupoksi BNPB). Tindakan pre-emptif merupakan suatu upaya yang tergolong baru dalam pengembangan dan penerapannya (khususnya untuk bencana ketahanan pangan), dilakukan dengan mengumpulkan data berbagai parameter yang berkaitan dengan bencana ketahanan pangan/kelaparan, memberikan peringatan dini (early warning) agar tindakan-tindakan awal dapat dilakukan mendahului terjadinya bencana dan dengan demikian mengurangi intensitas bencana serta kerugian akibat bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun