Mohon tunggu...
Mursid aza
Mursid aza Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berbusana Jangan Asal

22 Januari 2016   14:22 Diperbarui: 22 Januari 2016   14:31 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbusana, harus rapi kah?

Berbusana merupakan salah satu nikmat sangat besar yang Allah berikan kepada para hambanya, Islam mengajarkan agar seorang muslim berpakain dengan pakaian islami dengan tuntunan yang telah Allah dan Rasul-Nya ajarkan.

Ulama terkemuka, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, menegaskan, Islam meletakkan kesucian (kebersihan) dalam posisi yang tinggi. Sehingga tidak akan diterima ibadah shalat seseorang sebelum pakaian, badan dan tempat shalatnya dalam kondisi bersih.

Jadi, sambung Syekh al-Qaradhawi, pakaian bukan semata sebagai sarana penutup aurat, akan tetapi sangat penting untuk merawat kebersihan dan kesehatan tubuh. ”Sekaligus menjadi penanda kepribadian seseorang,” ujarnya dalam buku Halal dan Haram dalam Islam.
Bahkan, sejumlah hadis lain menunjukkan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam tak sekadar menjaga pakaiannya tetap bersih, tetapi menambahkann pula dengan wewangian. Maka, tak heran jika selalu tercium aroma harum dari pakaian dan tubuh beliau.

Imam Bukhari menyebutkan dalam al-Tarikh al-Kabir, diriwayatkan dari Jabir, bahwa Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam tidak pernah melewati suatu tempat kecuali seseorang yang mengikuti beliau akan mengetahui bahwa beliau berada di sana dari bau (aroma) beliau yang melekat.
Oleh karenanya, umat sebaiknya memeriksakan penampilan diri sebelum bepergian atau menemui orang lain. Ia hendaknya membuat dirinya terlihat menarik dan bersih, dengan sikap yang sederhana, karena Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam membuat diri beliau enak dilihat di hadapan para sahabat juga keluarganya.

”Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
(QS: al A’raf [7] : 31).

Atas petunjuk inilah, Imam Abu Hanifah RA selalu merawat pakaian dengan baik dan memastikan beliau merasa bersih dan segar. Beliau juga menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa.

Pernah suatu waktu, Imam Abu Hanifah melihat seorang lelaki yang menghadiri majelis kajiannya dengan berpakaian lusuh dan kotor. Lalu beliau menyuruhnya menyingkir ke sisi lain dan memberinya uang seribu Dirham untuk membeli pakaian yang bersih.

Muslim sejati memahami bahwa Islam menganjurkan untuk berpakaian bersih setiap waktu, terlebih ketika shalat. Tetapi diingatkan dalam sebuah hadis, Islam pun merupakan agama yang memberi peringatan atas sikap berlebihan dalam hal itu, dan mengatakan kepadanya untuk menghindari perbudakan oleh penampilannya.

Untuk memahami kembali fungsi-fungsi busana, dapat diperjelas lagi ilustrasi berikut:

1. Berbusana Sebagai Penutup Aurat.
Aurat dalam al-Qur’an disebut sau’at yang terambil dari kata sa’a, yasu’u yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan aurat yang terambil dari kata ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat termasuk aurat.

2. Berbusana sebagai Perhiasan
Perhiasan merupakan sesuatu yang dipakai untuk memperelok (memperindah). Tentunya pemakaiannya sendiri harus lebih dahulu menganggap bahwa perhiasan tersebut indah, kendati orang lain tidak menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah. Al-Qur’an tidak menjelaskan apalagi merinci apa yang disebut perhiasan, atau sesuatu yang “elok”. Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan kebebasan dan keserasian. Kebebasan haruslah disertai tanggung jawab, karena keindahan harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab. Tentu saja pendapat tersebut dapat diterima atau ditolak sekalipun keindahan merupakan dambaan manusia. Namun harus diingat pula bahwa keindahan sangat relatif, tergantung dari sudut pandang masing masing.

Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa al-Qur’ân tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok. Wahyu kedua yang dinilai oleh ulama sebagai ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. sebagai Rasul antara lain menuntunnya agar menjaga dan terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (Q.S. al-Mudatsir (74): 4). Memang salah satu unsur multak keindahan adalah kerbersihan. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam senang memakai pakaian putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim Jazirah Arab yang panas, melainkan juga karena warna putih segera menampakkan kotoran, sehinga pemakaiannya akan segera terdorong untuk mengenakan pakaian lain yang bersih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun