Mohon tunggu...
Semino Gelumbur
Semino Gelumbur Mohon Tunggu... Dosen - Tutor ESL dan Pragmatik

Pemerhati wacana ideologis dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jejak Jiwa Bik Rimang Ciptaan Budi Darma (2)

28 April 2020   07:51 Diperbarui: 28 April 2020   09:44 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Semino Gelumbur

PENDULUM JIWA

Kepekaan rasa serta kepatuhan Bik Rimang bisa dikata tak bisa diragukan, sementara Jemprot, suaminya, sangat egois. Sikap nurut harus bertemu dengan sikap sak mau maunya. Adakah keseimbangan?

Bik Rimang adalah wanita yang patuh dan perkasa. Kepatuhan dan keperkasaannya mampu membawanya pada hidup jujur, tak tergoda untuk mengambil yang bukan haknya. Pak Jasman telah mengujinya. Pendek kata, Bik Rimang wanita baik.

Sebaliknya, Jemprot hanya mengumbar kesenangan, menggelembungkan ego, dan mengacuhkan rasa hormat. Masyarakat sekitar tak suka dia. Ketika Bik Rimang hendak dipinang Jemprot, 'Hati Bik Khodriyah terguncang'. Dia tidak rela. Pendek kata, Jemprot manusia bejat.

Jemprot leluasa melampiaskan kelakuan buruknya. Pikiran, perasaan inferior Bik Rimang di-bully habis habisan. Puncaknya, sensitivitas harga diri dalam perspektif etika dan moral dilecehkan dengan cara super tabu atau super ugal-ugalan, disertai kekersan fisik yang tak kalah menyiksa.

Kesadaran Bik Rimang hilang, bawah sadar Bik Rimang secara total menguasai jiwanya. Tekanan keras Jemprot terhadap jiwa Bik Rimang tembus kedalam jiwa keduanya, bawah sadarnya. Bawah sadar bereaksi secara mandiri diluar kontrol kesadaran Bik Rimang. Tanpa sadar, seperti saat sakit masa kecil, Bik Rimang menari mengikuti alunan naluri mengambil celurit. Tebas kepala Jemprot. Mati.

***

Ada aksi, ada reaksi. Dorongan keras pada pendulum jiwa, momentum pedulum jiwa menguat siap 'swing back' dengan keras menabrak pendorongnya. Pada momen seperti itu, jiwa manusia selalu dalam resah atau sakit.

Beretika diperlukan tidak hanya antar pribadi, tetapi beretika juga berlaku pada diri sendiri (Nur Cholis Majid dalam Sujiwo Tejo).

Keos jiwa terjadi. Kesadaran akan kembali saat equilibrium kesadaran manusia dan bawah sadar manusia kembali (Jung).

***

Pesan moralnya, manusia tidak bisa lepas dari beban laku buruknya.

Surabaya, 27/4/2020
Semino

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun