Oleh Semino Gelumbur
PENDULUM JIWA
Kepekaan rasa serta kepatuhan Bik Rimang bisa dikata tak bisa diragukan, sementara Jemprot, suaminya, sangat egois. Sikap nurut harus bertemu dengan sikap sak mau maunya. Adakah keseimbangan?
Bik Rimang adalah wanita yang patuh dan perkasa. Kepatuhan dan keperkasaannya mampu membawanya pada hidup jujur, tak tergoda untuk mengambil yang bukan haknya. Pak Jasman telah mengujinya. Pendek kata, Bik Rimang wanita baik.
Sebaliknya, Jemprot hanya mengumbar kesenangan, menggelembungkan ego, dan mengacuhkan rasa hormat. Masyarakat sekitar tak suka dia. Ketika Bik Rimang hendak dipinang Jemprot, 'Hati Bik Khodriyah terguncang'. Dia tidak rela. Pendek kata, Jemprot manusia bejat.
Jemprot leluasa melampiaskan kelakuan buruknya. Pikiran, perasaan inferior Bik Rimang di-bully habis habisan. Puncaknya, sensitivitas harga diri dalam perspektif etika dan moral dilecehkan dengan cara super tabu atau super ugal-ugalan, disertai kekersan fisik yang tak kalah menyiksa.
Kesadaran Bik Rimang hilang, bawah sadar Bik Rimang secara total menguasai jiwanya. Tekanan keras Jemprot terhadap jiwa Bik Rimang tembus kedalam jiwa keduanya, bawah sadarnya. Bawah sadar bereaksi secara mandiri diluar kontrol kesadaran Bik Rimang. Tanpa sadar, seperti saat sakit masa kecil, Bik Rimang menari mengikuti alunan naluri mengambil celurit. Tebas kepala Jemprot. Mati.
***
Ada aksi, ada reaksi. Dorongan keras pada pendulum jiwa, momentum pedulum jiwa menguat siap 'swing back' dengan keras menabrak pendorongnya. Pada momen seperti itu, jiwa manusia selalu dalam resah atau sakit.
Beretika diperlukan tidak hanya antar pribadi, tetapi beretika juga berlaku pada diri sendiri (Nur Cholis Majid dalam Sujiwo Tejo).
Keos jiwa terjadi. Kesadaran akan kembali saat equilibrium kesadaran manusia dan bawah sadar manusia kembali (Jung).