Rakyat cerdas seyogyanya tidak akan menelan mentah mentah atau take it for granted narasi pilpres yang terlontar dari masing masing kubu pengusung capres dan cawapres tahun 2019.Â
Ada prioritas utama yang harus jadi pertimbangan. Prioritas satu, Indonesia yang sudah satu itu harus dijaga. Siapapun yang berani mencoba menggoda atau mengotakatik untuk memancing persoalan yang akan memecah belah bangsa dengan membangkitkan pesimisme harus segera kita lempar jauh dari wacana kebangsaan.Â
Prioritas kedua, rakyat tidak terbelenggu oleh rasa takut yang timbul karena wacana yang secara sengaja atau manipulatif diproduksi oleh masing masing kubu, dan sebaliknya rakyat bersikap kritis atau sangat teliti menilai untuk mendapatkan pemimpin yang memihak rakyat dengan ciri keberagaman yang tidak untuk dibeda-bedakan dan memiliki visi kerakyatan dan kemakmuran Indonesia yang berbudaya. Minimal kedua prioritas itu dipenuhi.
Koherensi Global Wacana
Berbicara bingkai narasi politik artinya berbicara soal strategi koherensi global wacana (topik wacana yang mengarahkan atau bingkai yang membatasi). Koherensi global wacana atau topik wacana politik tidak pernah netral (Fiske, 1994) atau sangat bias kepentingan kelompok (van Dijk, 2000). Fungsi koherensi global mem-frame pikiran publik agar mau menerima atau secara kognitif mau mengakomodasi, dan mau memberikan 'anggukan' terhadap kehendak pencipta bingkai narasi.Â
Calon presiden tidak akan melewatkan strategi ini untuk mempengaruhi publik. Secara umum selalu diawali bahwa negara bermasalah atau menghadapi ancaman kehancuran atau rakyat menderita. Kemudian mengidentifikasikan penyebab masalah dengan menuduh atau fakta atau manipulasi. Dan yang paling penting impian atau harapan baik di masa datang.Â
Ini seperti peta argumen: Kita punya tujuan (impian atau harapan), lalu hambatannya apa (di sini ilmu 'maido' atau saling mendiskreditkan dan menyalahkan diadu), dan akhirnya evaluative judgement atau keputusan siapa yang akan kita pahlawan-kan. Perlu dicatat, narasi bisa positif atau negatif, yang penting menang bagi kontestan. Ini standar.
Contoh, apa yang dilakukan Donald Trump? Bingkai global wacana politiknya  negara berantankan atau "in a mess". Rakyat terancam oleh immigran yang wacananya berulang-ulang dilontarkan ke publik dengan pilihan kata negatif 'criminal alien'. Bahkan, Trump menggunakan metafor "Trojan horse" atau kita sebut 'Kuda Troja' atau musuh yang menyusup yang akan menghancurkan Amerika.Â
Ditambah dengan wacana teroris yang menyebut mereka "radical islamic terrorist. Dan mengidentifikasikan penyebabnya. Tentu, dia menunjuk rival politik-nya, Obama, terutama Hillary Clinton.Â
Media juga didiskreditkan agar publik tidak percaya karena dia tahu pasti Media yang syarat etika akan memberitakan Trump miring karena sikapnya yang mengabaikan etika. Impian besarpun didengungkan "Make America Great Again.". Narasi negatif dibangun untuk menang. Praktek rasis terang terangan. Praktek seksis terang terangan dengan pilihan kata  "the devil',dan "bitch" (iblis sundel).Dia menang. Setelah Trump memegang kekuasaan, kontroversi dan konflik tetap berjalan. Ini yang tidak diharapkan rakyat.
Narasi Prabowo dan Jokowi