Semesta akan terhenti kala kita tak tahu jalan pulang, katamu pada suatu pagi. Aku tak tahu makna dari perkataanmu itu, keningku hanya berkerut, dan kamu tak menggubrisnya. Kamu selalu saja membuat pernyataan filosofis saat kita sedang berdua. Menurutku, hanya Tuhan dan kamu yang tahu apa maknanya.
Pulang?
Bukankah kita sudah punya rumah kecil di kampungmu, mengapa kamu tak tahu jalan pulang?
Hatiku bertanya sendiri.
Kamu tetap saja tak mendengar bisikan dan tanya di dalam hatiku. Kamu hanya asyik dengan pergulatanmu sendiri. Pikiranmu sendiri.
“Kamu tahu jalan pulang, An?” Tanyamu membuyarkan lamunanku. Ditambah lagi, mata tajammu menusuk masuk ke dalam mataku, bukan hanya mataku tapi sampai di relung terdalam hatiku. Seandainya matamu punya telinga, mungkin, kamu akan mendengar ocehannya. Atau mungkin, hatiku belum tamat SD, hingga tak mampu menulis dan matamu tak mampu membacanya.
“Tentu saja, kan rumah kita sudah ada di dekat rumah ibumu, Bas.”
“Begitu yah?”
Kamu memainkan rambutmu dengan telunjuk, memelintir dan memainkannya semaumu. Sampai akhirnya mulutmu terbuka lagi, “Di sana sudah tak ada yang memikirkan kita,”desahan napasmu terdengar jelas di telingaku, “bukankah jalan pulang adalah jalan menuju tempat di mana ada orang yang senantiasa memikirkan kita, An?”
Pulang adalah tempat di mana ada orang yang senantiasa memikirkan kita.