[caption caption="photo : seleb.co.id"][/caption]“Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah, setiap kita dapat satu peranan yang harus kita mainkan, ada peran wajar dan ada peran berpura-pura, mengapa kita bersandiwara”
Sebait lagu yang cukup terkenal yang dinyanyikan oleh Akhmad Albar pentolan grup band Godbless yang tenar pada tahun 80 an, kiranya tidak terlalu jauh dari apa yang terjadi didunia nyata saat ini. Apalagi sudah melibatkan dunia politik.
Teman Ahok boleh saja berbahagia saat ini, menyusul pernyataan Ahok akan maju melalui jalur Independen sesuai keinginan Teman Ahok dengan mengandalkan kekuatan mereka. Pernyataan itu didapat setelah rombongan Teman Ahok menyambangi kediaman Ahok di bilangan Pantai Mutiara. Dalam pertemuan itu Teman Ahok mendesak Ahok untuk segera menetapkan calon wakil gubernur yang akan diinput kedalam formulir dukungan, sehingga warga Jakarta sudah memberikan dukungan kepada 1 pasang calon sesuai amanat UU Pilkada.
Muncullah nama Heru Budi Hartono PNS Eselon II.a atau Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama yang saat ini menjabat sebagai Kepala BPKAD DKI Jakarta untuk digadang sebagai calon wakil gubernur yang saat itu juga dihadirkan untuk dimintai keseriusannya. Alhasil jadilah malam itu keputusan Ahok-Heru resmi maju berpasangan dengan menggunakan kendaraan Independen yang telah dipersiapkan Teman Ahok.
Tapi jangan lupa bahwa Ahok itu adalah politikus handal, rekam jejaknya menjadi saksi. Ia mulai mencuat kepermukaan bersamaan dengan kiprahnya di Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang berhasil mendudukkannya di kursi DPRD Belitung Timur dan kemudian bersama-sama dengan PNBK berhasil mengantarkan Ahok menduduki kursi Bupati di kabupaten yang sama setahun kemudian. Baru setahun menduduki jabatan Bupati, petualanganpun berlanjut, Ahok maju lagi memperebutkan kursi Gubernur Bangka Belitung dan kalah, nganggurlah Ahok dari jabatan politis. Tahun 2009 karena PPIB gagal lolos Parliamentary Treshold maka Ahok loncat ke Partai Golkar dan berhasil berangkat ke Senayan menjadi legislator.
Ganjong ganjing DKI Jakarta 2012 sebetulnya bukan menjadi fokus Ahok untuk kembali di berpetualang sebagai Kepala Daerah, Ia sejatinya membidik Bangka Belitung kembali atau Sumatera Utara, namun kendala yang dihadapi cukup besar hingga gagal ke Sumatera Utara karena tidak kebagian kendaraan, sedangkan ke Babel masih terjadi tarik ulur kepentingan di partai calon pengusung hingga terjadilah insiden ‘durian runtuh” Ia dipinang oleh Gerindra untuk dipasangkan dengan Jokowi di DKI Jakarta dengan konsekuensi harus meninggalkan Partai Golkar menuju Partai Gerindra.
Benarkah Ahok akan serius dengan keyakinan penuh menggunakan jalur Independen dalam mengamankan kursi DKI 1 yang sudah Ia raih saat ini, tentunya perlu pengujian terlebih dahulu.
Barangkali ada baiknya simak kembali tulisan saya pada artikel sebelumnya di Kompasiana bertajuk Partai di Ujung Cinta, Teman Ahok di Ujung Tanduk dan Ahok Takut Independen, Teman Ahok Jadi Pisau Bermata Dua namun dalam tulisan kali ini ada baiknya kita tinjau dari sisi yang lain.
- Belum ada sejarahnya calon Independen memenangkan PILKADA di daerah dengan populasi pemilih diatas 500 ribu mata pilih.
- Rekam jejak Ahok selama ini belum pernah maju melalui jalur Independen dalam karir politiknya memperebutkan kursi Kepala Daerah, yang mengisyaratkan bahwa Ahok riskan untuk maju di jalur Independen.
- Proses munculnya nama Heru Budi Hartono sebagai calon wakil gubernur, kesannya sangat terburu-buru. Seorang PNS karir dengan raihan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (eselon II) dan 1 langkah lagi dapat menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (Eselon I) dengan masa kerja yang masih 10 tahun lagi baru memasuki masa pensiun, apalagi UU No 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara memungkinkan untuk seorang PNS dengan kualifikasi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) terbuka untuk mengikuti seleksi mengisi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) lintas Instansi serta berpeluang menduduki Jabatan Kepala Lembaga Pemerintahan Nonkementrian apalagi Heru adalah orang dekat Presiden Jokowi, dan saat ini terpaksa harus mengundurkan diri dengan melepas peluang karir PNS nya yang lebih tinggi hanya untuk maju sebagai Wakil Gubernur yang hampir setara dengan jabatan dia saat ini tanpa harus berjibaku, apalagi dengan mengandalkan Teman Ahok yang mengusungnya dan berpasangan dengan calon yang memiliki resistensi ganda dimata pemilih. Peluangnya pun saat ini hanya 50 : 50. Apakah Heru saat memutuskan bersedia menjadi calon wagub, sudah berkonsultasi dengan keluarga dan orang tuanya itupun masih tanda tanya.
Tiga poin diatas dan rekam jejak karir politik Ahok tentunya dapat dijadikan bahan untuk mengukur seberapa seriusnya Ahok ingin maju melalui jalur Independen menuruti keinginan Relawan Teman Ahok dengan resiko besar. Proses pengambilan keputusan oleh Ahok dan Heru pada pertemuan antara mereka dengan Teman Ahok terindikasi tidak dilakukan secara matang dan terencana, semua terkesan terburu-buru hingga riskan untuk berubah pada detik-detik terakhir.
Ahok tentunya sudah memperhitungkan kekuatan Teman Ahok, jika untuk sekedar mengumpulkan KTP dukungan sampai dengan 3 juta pun masih bisa dipercaya untuk berhasil mendapatkannya, tapi untuk mengantarkan Ahok mempertahankan kursi DKI 1, Teman Ahok masih terlalu prematur.
Kelengkapan untuk mengawal sebuah kontestasi sekelas PILKADA Daerah luar Jawa pun membutuhkan perangkat yang tidak kecil apalagi PILKADA sekelas DKI Jakarta dengan mata pilih tak kurang dari 7 juta yang terdiri dari kurang lebih 10 ribu TPS. Bukan perkara mudah bagi Teman Ahok untuk mengatur semua itu, Ahok tidak mungkin untuk dilibatkan hal-hal teknis karena Ia sudah disibukkan oleh hal-hal yang bersifat strategis dan prinsipil. Kapan melakukan rekruitmen petugas pemenangan dari tingkat kordinator sampai dengan pelaksana lapangan, bagaimana pola pelatihan, jika diserahkan ke pihak profesional bagaimana mengamankan potensi penyusupan dari lawan politik ataupun loyalitas ganda dari petugas lapangan, sementara saat ini mereka masih disibukkan dengan pengumpulan KTP dukungan dan input data. Semua proses itu hanya dapat dilakukan secara sempurna oleh partai politik mapan dengan basis massa yang kuat.