pawang hujan. Di kolom postingan akun MotoGP sosok Rara si pawang hujan kembali diangkat. Disandingkan dengan foto Fabio Quartararo, salah satu pembalap yang membuat guyonan meniru aksi si pawang.
Masih serial
Sayangnya, kolom komentar masih ada orang-orang yang merasa agamanya paling benar, merendahkan si pawang dan menuding tindakan itu bertentangan dengan agamanya.
Mengukur makanan favorit di dapur orang lain, dengan selera di dapur kita. Mengukur celana dalam orang lain, dengan ukuran celana dalam kita. Kebiasaan membandingkan diri dan orang lain secara negatif dan salah kaprah, pada dasarnya adalah penyakit yang lahir dari kedengkian.
Bukankah seharusnya kita berlomba dalam kebaikan? Mengapa begitu rendah kita memandang iman orang lain. Atau apakah kita risau kalau kemudian keberhasilan orang membuat seolah agama kita tidak terlihat benar?
Masyarakat luar Indonesia wajar bertanya-tanya dan mungkin merendahkan. Walaupun sebaliknya, mereka menganggap ini sebagai bagian penampilan menghibur saja.
Lha mereka banyak yang tak lagi percaya pada sesuatu yang tak bisa dinalar, termasuk pada agama. Jadi normal saja mereka merasa tak biasa. Tapi kalau dari dalam negeri, tentu kita patut waspada, karena orang dengan gejala merendahkan keyakinan orang lain, berpotensi membawa kita pada evolusi perpecahan.
Orang-orang yang merendahkan Tuhan dengan mengganggap-Nya hanya milik satu golongan saja, menggelikan. Mereka lupa, Tuhan terlalu besar untuk diberi kotak pada satu agama dan keyakinan saja. Tuhan terlalu luar biasa untuk dianggap tidak bisa berada di mana pun, atau menjadi apapun yang dia mau. Termasuk merestui para pawang hujan dengan segala olah spiritualnya.
Apa yang membuatnya beda dengan banyak keyakinan dari Timur Tengah yang memiliki tradisi doa meminta hujan. Bentang alam dan iklim yang berbeda, menghasilkan tradisi doa yang berbeda. Mereka yang alamnya kering punya kebiasaan meminta hujan, masyarakat yang alamnya tropis ya sebaliknya punya kebiasaan doa by request. Kalau musim hujan, minta agar cerah. Kalau musim kering mau menanam, ya pesan hujan dong.
Kalau percaya Tuhan hanya satu dan tidak ada yang terjadi tanpa seizin Tuhan, lalu kenapa masih harus merendahkan keyakinan lain.
Alih-alih mencari kesamaan, sebagaimana Gereja Katolik lakukan setelah tahun 60-an untuk membangun peradaban yang lebih kolaboratif ketimbang kompetitif, masih banyak kita yang gemar mencari perbedaan. Sebelum era konsili Vatikan II, bagi gereja Katolik itu, yang diselamatkan dan punya kavling surga itu ya hanya umat Katolik.
Setelah era itu, barangkali pemahaman akan tafsir keselematan mengalami fase pencerahan. Gereja sadar, mereka tak bisa mengurung Tuhan sebatas apa yang mereka pahami. Maka paradigmanya jadi bergeser sedikit, bahwa dari Gereja Katolik keselamatan datang, tapi mungkin saja Tuhan berkenan kalau ada yang diselamatkan dari luar komunitas ini. Tetap yakin pada golongan sendiri, tapi percaya Tuhan mungkin saja hadir di antara umat lainnya.
Begitulah, perbedaan itu pun sudah jadi hakikat dari penciptaan. Tuhan yang masih diyakini banyak agama, tentu percaya prinsip ini.
Lalu dari mana datangnya kebencian yang merendahkan tradisi keagamaan orang lain itu? Tentu saja datang dari kekeliruan pribadi dan naluri dasar yang buruk dari mereka yang mengaku memeluk suatu agama.
Peluk bantal saja kalau berat memeluk agama. Baik untuk kesehatan badan dan pikiran. Rahayu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H