Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Money

CT, Politik Ekonomi Identitas dan Faktanya

23 April 2017   17:06 Diperbarui: 24 April 2017   02:00 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kongres Ekonomi Umat 2017 beberapa waktu lalu menarik ditelisik. Sebagai sebuah ajang umat Islam berkontribusi dalam pembangunan bangsa, masyarakat khususnya umat Islam itu sendiri di sektor ekonomi. Tentu saja meski bukan seorang Muslim, saya sangat mengapresiasi ajang ini yang mestinya mendorong gerakan ekonomi umat Islam yang pada akhirnya akan berdampak pada kita sebagai sebuah bangsa. 

Pembangunan ekonomi umat Islam tentu saja kita doakan menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya memenuhi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan mesti didukung. Sama halnya gerakan koperasi berbasis keagamaan yang sudah lebih dulu ada baik dilingkungan umat Islam, Kristen dan pemeluk agama lain. Semua bermuara pada upaya membumikan agama dalam praksis keekonomian yang konkrit. Bukan sebatas pelabelan semata yang pada praktiknya kembali hanya menguntungkan pemodal.

Selain gagasan positif dari Kongres yang patut didukung semua pihak tersebut, ada satu hal yang menggelitik dan lebih menarik. Kehadiran Chairul Tanjung atau yang akrab disapa CT di Kongres itu. Melalui jaringan bisnis medianya Detik.com, diberitakan tentang pandangan CT yang diberi judul CT: Dari 50 Orang Kaya RI, Hanya 8 yang Muslim. Sebab pernyataannya atau ulasan reporter yang memberitakan pernyataannya, bertendensi menguatkan kembali isu ekonomi identitas pasca pilkada lalu yang gencar menggaungkan politik identitas. Lebih dari itu bisa menimbulkan tafsir yang sektarian bila tak dipahami dalam konteks yang semestinya yakni mendorong kebangkitan ekonomi umat. 

Mengingat CT memilih meletakkan identitas muslim dan non muslim dalam pernyataannya soal 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes dan lalu membaginya lagi dengan 42 non muslim dan 8 muslim. Perlu dipahami agar pernyataannya tidak menjurus pada dikotomi dan pelabelan agama yang memecah cara berpikir masyarakat luas. Sebab pasca Pilkada DKI Jakarta, kita semua tentu jengah dengan politik identitas yang telah menggerogoti ke-Indonesia-an serta semangat Pancasila bangsa ini.

Memberikan label pada pribadi pengusaha-pengusaha yang mendominasi kekayaan di republik ini silahkan saja. Namun dalam konteks kebangsaan dan dalam dinamika publik terkini, seorang CT mestinya jeli memberi pernyataan terbuka. Apalagi pada dasarnya bagaimana seseorang disebut beragama itu tak bisa dideskripsikan dan tak memiliki tolok ukur yang dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Sehingga apakah agama penguasaha berelasi dengan kekayaannya, atau caranya mendapatkan kekayaan masih bisa diperdebatkan. 

Bangsa ini lelah dengan politik identitas yang semakin hari disajikan dengan vulgar di media, tapi pada dasarnya siapapun yang berpikir kritis akan melihat. Bahwa bukan agama atau suku mana yang selalu termarginalisasi dan terpinggirkan di setiap sektor kehidupan bangsa  ini. Melainkan mereka dari golongan ekonomi kecil yang selalu jadi tumbal dari ketidakadilan praktik ekonomi yang berlangsung saat ini. Sebuah praktik yang sama sekali jauh dari cita-cita pendiri bangsa sebagaimana tertuang pada sila kelima Pancasila.

Bahwa ada 50 orang kaya di Indonesia yang menikmati kekayaan negeri ini diatas peluh keringat ratusan juta rakyat lainnya, itulah faktanya. Dan mereka ini bisa dikatakan tak bakal pernah peduli pada agama dalam praktik bisnisnya, melainkan peduli pada penumpukan kapital dan berpura-pura peduli hanya dengan bakti sosial. Fakta, di daerah mayoritas Islam siapa yang sejahtera? Di daerah mayoritas Kristen dan Katolik seperti NTT dan Papua siapa yang kaya?

Pelabelan penguasaan harta Indonesia oleh non muslim cenderung merupakan pembodohan dan pernyataan yang menyesatkan. Sebab faktanya pemilik kekayaan di republik ini tak pernah benar-benar peduli pada umat dan agama. Sebatas simbol sosial lewat bantuan keagamaan. Praktiknya coba dilihat. Bila pemilik harta Indonesia adalah orang non muslim, mengapa masih banyak non muslim kere melarat. Coba telusuri di google, berapa banyak masyarakat Kristen kere di NTT, Papua dan daerah lainnya. Berapa banyak gizi buruk dan tingkat Indeks Pembangunan Manusia disana.

Ini mengingatkan saya pada kisah seorang kawan SMA dulu di Aceh Tenggara yang kini menjadi Imam Katolik dan bertugas di pedalaman Kalimantan Timur. Sebelum penugasannya kami berdiskusi dan ia bercerita daerah misinya masih jauh tertinggal. Tak ada listrik dan sinyal ponsel untuk bisa mengakses berita di jaringan bisnis CT saja rasanya sulit. Problem sosial di daerah misinya itu dalam pendampingan masyarakat adat Dayak adalah soal perebutan lahan. Umat Katolik yang dilayaninya disana bukanlah orang kaya dan hanya memiliki tanah hutan yang selama ini mereka anggap sebagai alam hidup pemberian Tuhan atas mereka. 

Situasi berbeda ketika investasi tambang dan perkebunan sawit masuk disana. Janji investasi membawa kesejahteraan nyatanya penuh dengan problematika. Selain mereka harus bertahan dengan lahan yang terbatas karena hutan telah diserahi pada investo, mereka juga berhadapan dengan tergerusnya kebudayaan mereka ditengah konversi pekerjaan yang terjadi. Belum lagi persoalan potensi konflik diantara umat yang sewaktu-waktu bisa terjadi terkait dengan pilihan bentuk kesejahteraan pasca masuknya investasi. Pertanyaannya apakah investor yang masuk kesana peduli pada agama masyarakat di sekitar lokasi investasi mereka? Apakah umat dan masyarakat disana peduli pada agama investor yang datang?

Jadi dalam benak saya. Kalau benar 50 orang kaya ini beragama dan menjalankan praktik agama sehingga pantas disebut Muslim dan Non-Muslim sebagaimana analogi CT. Maka kalau dia Kristen setidaknya 10% dari kekayaannya akan diserahkan bagi komunitasnya sebagai persepuluhan. Ini akan membantu setidaknya kesejahteraan jutaan sesamanya Kristen. Kalau dia seorang Muslim, maka melalui zakat dan kewajiban agama lainnya saja, akan tertolong juga jutaan umat Islam lainnya. Faktanya, apakah mereka ini menjalankan agamanya?

Sebagai bentuk uji kebenaran dari pengkotakan yang dibuat CT dengan menyatakan muslim dan non muslim, bagaimana kalau negara menyita seluruh aset 50 orang terkaya ini. Atau atas nama agama mereka, hartanya diserahkan 90% saja ke negara. Lalu didistribusikan untuk kaum miskin di bawah. Sehingga dengan demikian, persoalan kemiskinan umat baik muslim maupun non muslim bisa teratasi.

 Saya yakin CT tak akan mau dan menyebutnya penzaliman. Lalu menuding pernyataan dan tantangan model ini sebagai komunisme. 

Maka dalam hal ini semoga kita sekalian para pembaca, bijaksana mencerna informasi yang berkaitan dengan identitas agama. Mengkritisinya agar tidak menimbulkan tafsir yang merugikan kohesi sosial kita. Kita mendorong dan mendukung setiap unsur keagamaan terlibat dalam pembangunan ekonomi bangsa. Melakukan perbanding juga tidak salah sejauh tak salah arah. Sebab pada akhirnya kebangkitan tiap umat beragama selama dalam semangat Pancasila adalah memang kewajiban yang dipenuhi oleh setiap pemerintahan. Sebagaimana selama ini terjadi di lapangan, umat muslim dan non muslim pada dasarnya berjuang dengan gigih pada tataran bawah dan kadang tanpa dukungan pemerintah. Apalagi dukungan pengusaha yang katanya mendominasi perekonomian dan kekayaan nasional. 

Akan menarik bila CT juga bicara soal agama para legislator yang mengeluarkan Undang-Undang dan eksekutif di birokrasi. Mengingatkan agar mereka, apapun agamanya jangan korupsi dan bermain-main dengan kebijakan, khususnya kebijakan ekonomi. Sebab dari mereka inilah sepenuhnya ruang tarung dan kompetisi antar sesama pemilik modal diciptakan adil atau tidak.

Silahkan bangkit sendiri-sendiri dalam komunitasnya atau bersama dengan komunitas lainnya, sejauh tidak mendiskreditkan satu sama lain. Apalagi mencoba mengaburkan fakta bahwa yang miskin apapun agamanya tetap sulit mendapatkan akses bertumbuh secara ekonomi. Sementara mereka yang saban tahun muncul dalam daftar Forbes tetap menikmati kekayaannya tanpa terusik dengan lambannya bangsa ini melaku karena sibuk dengan urusan perbedaan yang mestinya selesai saat pendiri bangsa ini menyepakati NKRI dan Pancasila sebagai panduan hidup berbangsa, termasuk berekonomi. 

(PANCASILA: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia/: apapun agamanya, jenis kelaminnya, berapapun istrinya, apapun sukunya, berapa pun mantannya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun