Jadi dalam konteks salah menyalahkan, ijinkan saya berterima kasih pada Sonya Sembiring untuk keberaniannya marah meski terkesan arogan dan juga memang salah. Juga ijinkan saya menyampaikan salut pada Polwan yang dengan sabar mengingatkan mereka bahkan sebelum Sonya menyebut soal nama jenderal yang menjadi kerabatnya.
Ini adalah buah dari kesalahan sistemik dan biasnya etika kita berlalu lintas selama sekian dekade. Selama ini penegakan hukum yang terkesan tebang pilih membuat orang yang merasa berkuasa bisa bebas menentukan hukum bagi dirinya sendiri dan orang lain. Atau praktik gelap lainnya yang selama ini membuat citra aparat penegak hukum menjadi turun di mata masyarakat.
Kembali soal pertanyaan etis, maka baiklah kita juga secara etis melihat bagaimana sikap sebagian kita netizen yang merendahkan Sonya tanpa melihat esensi lebih dalam dari peristiwa tersebut. Padahal netizen yang mencemooh Sonya juga belum tentu punya beking dan orang yang ditandai di Mabes POLRI atau BNN. Rasanya sama saja bukan?
Meletakkan Kembali Kesalahan Pada Salahnya
[caption caption="Ilustrasi tertib lalu lintas (Foto: Daradaeng.com)"]
Lebih etis lagi bicara soal Sonya mesti dalam kerangka tertib lalu lintas dan praktik konvoi pasca Ujian Nasional. Sehingga sentimen anti feodal yang dipicu oleh perilaku memuakkan oknum elit kita tidak menjadi justifikasi untuk bully nasional di sosial media bagi seorang Sonya. Kesalahan Sonya, lepas dari kata-kata emosional dan klaim anak Jenderalnya, mesti diletakkan kembali pada konteks salahnya yang mendasar sehingga ia berurusan dengan Polisi Lalu Lintas.
Sonya perlu diajar, bukan dihajar. Lebih dari itu kita perlu juga belajar dari kesalahan Sonya dengan mulai tertib berlalu lintas bagi pengendara. Tertib dan adil juga menjalankan tugas bagi aparat penegak hukum di lapangan. Sebab sejatinya, setiap kita ini ditandai dari perbuatan kita. Dan perbuatan kita kelak bukan tidak mungkin ditandai dengan cara yang sama seperti Sonya ditandai oleh media dan sosial media.
Jadi baik-baiklah merawat perilaku kita dalam berlalu lintas dan memaknai kelulusan. Sehingga mereka yang menjalani ujian nasional tidak hanya lulus ujian tertulis di sekolah, tetapi juga lulus dalam uji perilaku di jalanan. Pun kita komentator sosial media, lulus juga dalam melakukan penilaian secara adil.
Perilaku hidup tertib berlalu lintas perlu menjadi sebuah gerakan dari balik momentum tanda menandai ini. Tertib serta berkreasi lebih positif dalam merayakan kelulusan juga tak kalah penting agar diinisiasi oleh sekolah-sekolah. Bayangkan ini soal masa depan bangsa yang diisi oleh generasi muda dari sekolah. Ini bukan perkara menyalurkan hasrat menghina dan juga menyudutkan pelajar kita yang hari-hari ini karena sinetron asal tayang jadi serba sulit memahami etika.
Semoga Sonya belajar dari kejadian ini sebagaimana kita pun harus belajar. Juga rekan-rekan wartawan, semoga tidak menggorengnya diluar bumbu utama. Gorenglah beritanya demi memberikan nilai edukasi bagi para pelajar kita. Bukan semata menggoreng sensasinya untuk mendidik masyarakat untuk terbiasa menyalahkan orang lain untuk perilaku yang sebenarnya juga tak jarang dilakukan sendiri.Â
Mari dengan kejadian ini kikis kebiasaan beking-beking mengatasnamakan pejabat publik. Sebab hari-hari ini, meski belum sepenuhnya memenuhi harapan, toh penegakan hukum mulai terlihat membaik. Seperti yang dibuktikan oleh Badan Narkotika Nasional dimana Bapak Arman Depari kini berkarya. Pelanggar hukum dari kalangan aparat pun kini sudah marak terlihat sebagai fakta bahwa pada akhirnya siapapun akan berhadapan dengan hukum bila melakukan kesalahan. Seperti kata pak Arman Depari sendiri yang diaku oleh Sonya sebagai orang tuanya, setiap kesalahan ditindak dalam koridor hukum tanpa pandang bulu.