Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cok Ko Tandai Diri Sendiri Dulu Kawan: Belajar dari Sonya Depari

7 April 2016   19:32 Diperbarui: 7 April 2016   23:16 3070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber Gambar: KOMPAS.COM/SONYA SUSWANTI"][/caption]Ada yang lagi bikin heboh. Orang awak pula iya kan. Kini giliran seorang gadis cantik, Sonya Ekarina Sembiring, menjadi viral di sosial media republik ini. Gegernya pemberitaan gadis ini tentu tidak serta merta karena ia berani menghadapi dengan keras para Polisi yang bertugas. Tetapi lebih dari itu karena bawa Jenderal pula dia.

Pengakuan yang dibuat dalam gertakan adalah mendaku sebagai anak seorang Jenderal Polisi, Arman Depari. Ini sebenarnya kata-kata yang memantik kehebohan. Meski kemudian dalam hitungan hari sosok Arman Depari memberi klarifikasi bahwa dirinya tidak punya anak perempuan, toh semua tidak serta merta usai.

Sosial media masih hangat dengan Sonya dengan kata-kata kerasnya yang khas Medan, Kutandai. Kutandai dalam bahasa keseharian medan selain artinya mengenali, dalam konteks siswi SMU ini tentu adalah sikap mengingat wajah polwan yang menertibkannya. Tentu saja seorang gadis yang kabarnya juga jadi model di Medan itu tidak akan punya nyali sejauh itu untuk mengaku sebagai anak seorang Jenderal.

Sonya yang manis lagi cantik tapi tak kalah emosional itu, tentu sudah punya frame berpikir untuk menghindari masalah dari para petugas keamanan yang menertibkan kendaraan mereka. Itu tentu tidak semudah itu saja dibentuk kalau dia tidak benar-benar anak seorang Jenderal. Meski harus diakui ada juga yang bernyali demi menipu atau mengintimidasi, toh dalam konteks Sonya ini hanya usaha menyelamatkan diri dari sorotan kamera wartawan yang menyertai aksi penertiban. Jangankan Sonya, gadis-gadis badung lainnya di Kota Medan mungkin punya nyali yang sama besar, karena kita tahu ini Medan bung!

Hanya dalam konteks Sonya, perlu diketahui bahwa pengakuannya sebagai anak Jenderal bukanlah kebohongan. Bila menelusuri lebih jauh, Arman Depari merupakan adik dari ayah Sonya. Dimana dalam tradisi Karo, saudara laki-laki dari pihak ayah atau bahkan teman semarga, akan disebut bapak. Sehingga dalam konteks ini, sebagai adik dari ayahnya, Sonya wajar menyebut diri sebagai anak Jenderal Arman Depari. Sebab secara adat istiadat dan tradisi Karo, memang demikianlah adanya. Sonya adalah puteri Bapak Jenderal Arman Depari, dari pihak saudara laki-lakinya.

Klarifikasi Bapak Arman Depari yang menyebut bahwa dia menegaskan dirinya hanya punya anak (kandung) laki-laki sebenarnya lebih menegaskan posisi. Posisinya yang memang tidak bisa sertamerta disangkutpautkan dengan perilaku puteri/keponakannya tersebut. Lalu posisinya sebagai pejabat sebuah lembaga publik yang tidak berurusan dengan urusan personal kerabatnya.

Mempertanyakan Etika Sonya?

Saat ini Sonya yang kebetulan mendapatkan merga Depari dari ayahnya, satu submarga dari Sembiring Empat Bersaudara,  menjadi bulan-bulanan publik di sosial media. Sebuah konsekuensi dan sanksi sosial dari perilaku Sonya yang dipandang tidak etis. Tidak sopan dan terkesan arogan karena membawa-bawa nama Jenderal.

Tanpa bermaksud membela Sonya yang memang secara etika bermasalah, kita baiknya melihat perilaku Sonya ini sebagai refleksi pada kebiasaan kita. Termasuk kebiasaan aparat kita di lapangan. Sebab merujuk pada konteks amarah Sonya yang membawa serta nama kerabat jenderalnya, gadis ini mempertanyakan sikap polisi yang hanya menindak mereka diantara sekian banyak pelaku pelanggaran lalu lintas lain.

Di sini serba dilematis. Sebab bila kita mau jujur, adakalanya kita juga mendapatkan situasi apes demikian. Seperti saya yang pernah hendak marah karena memilih mengikuti jalan terang daripada jalan kecil yang gelap. Akibat pilihan itu, saya ditilang karena menurut aparat penegak hukum saya masuk jalur mobil. Padahal dalam pikiran saya, jalur selamat dan amanlah yang saya pilih ditengah minimnya penerangan dan rambu-rambu lalu lintas.

Belum lagi kejadian-kejadian penertiban lain yang berjalan lebih tertib dari aturan normal namun tak mengenakkan bagi pengguna kendaraan. Hal ini yang pernah membuat saya berhenti mengemudi karena membiarkan SIM ditilang dan tak diambil nyaris setahun. Alasannya sederhana, untuk ditilang saja banyak ceramah panjang lebar soal prosedur melelahkan yang harus dilewati. Semua pembaca yang kerap berurusan dengan polisi lalu lintas paham akan soal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun