Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mary Jane: Hukum Mati versus Hukum Yang Mati

28 April 2015   12:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:36 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_380567" align="aligncenter" width="366" caption="Kita boleh berdebat tentang hukuman mati hingga menemukan kesadaran tertinggi. Pada sisi lain, mari kita berbicara soal hukum kehidupan. Jangan lupakan survivor Sinabung di Tanah Karo"][/caption]

Sekitar 2000 tahun lalu seorang tokoh diserahkan publik pada kematian dengan alasan demi keselamatan seluruh bangsa, lebih baik 1 orang diserahkan pada kematian. Meski berbeda konteks tokoh, peristiwa ribuan tahun lalu memiliki kesamaan konteks hukum yang tidak adil dan barbar. Kesamaan publik yang mudah dihasut serta suka menghasut dalam pergunjingan soal kematian.

Hari-hari ini banyak yang sudah paham betapa lemahnya supremasi hukum di republik ini. Banyak pula yang merupakan pengikut tumbal rezim yang kisahnya berasal dari milenium silam. Tetapi masih menjadikan kehidupan seperti timbangan komoditas yang diperbandingkan. Dengan mudah menyebut angka 9 orang demi puluhan nyawa yang katanya setiap hari melayang. Betapa mudahnya kita menghargai sebuah kehidupan.

Sejatinya ini soal pilihan. Tak sepenuhnya kehidupan menyajikan tontonan dan tuntunan peristiwa yang sempurna. Demikian pun harus dihormati cara pandang setiap orang dalam menyikapi hukuman mati. Sama seperti kita tak bisa melarang orang tak berpendidikan baik secara nyaman mengkonsumsi narkoba. Tapi membayangkan orang membawa narkoba bukan karena pilihannya, pantaskah kita sandingkan dengan orang yang secara sadar menyerahkan nyawanya pada candu narkoba? Saya coba memberi cara perbandingan dengan cara yang sama entengnya seperti pandangan yang membandingkan 9 nyawa dengan 50 nyawa.

Secara pribadi, bahkan seandainya 9 orang yang divonis mati itu semuanya adalah gembong narkoba. Saya tetap menolak hukuman mati karena itulah prinsip dan keyakinan saya pribadi soal hak kreasi dari Sang Pencipta. Itu dasar fundamental soal bagaimana saya tidak mau mengambil hak hidup yang paten-nya bukan milik saya. Apalagi ... coba bayangkan bila ternyata ada diantara 9 orang itu, sementara ini diduga Mary Jane, hanyalah kurir miskin yang tidak paham soal narkoba itu.

Bukan satu dua kali kita membaca kisah tentang oknum penegak hukum yang mempermainkan kasus. Bukan pertama kali saya mengetahui soal modus ganja yang sengaja ditaruh dibagasi saat pemeriksaan terjadi dan membuat pengendara langsung panik kebingungan saat dulu ada di Aceh. Sudah bukan mitos lagi vonis mati pernah diberikan dan puluhan tahun kemudian vonis itu diketahui keliru. Tetapi bayangkan vonis mati yang keliru, bagaimana mempertanggungjawabkannya.

Framing Media Demi Kebijakan Hukuman Mati

Saya melihat sebuah framing media yang dipakai untuk menjustifikasi mengerikannya Narkoba. Ini terjadi ketika Budiman si tervonis mati kasus narkoba melakukan kejahatannya lagi dari balik sel. Tampak ada kesan berita ini diangkat saat pro kontra hukuman mati Narkoba sedang terjadi. Framing-nya jelas, agar masyarakat percaya bahwa hanya dengan mencabut nyawanya, maka gembong narkoba akan berhenti.

Tapi tunggu dulu!!! Mari coba pikir. Ada dua hal menarik dari blow up media massa soal penangkapan Budiman si gembong narkoba. Pertama, kesan framing yang menguatkan langkah hukuman mati pemerintahjusteru menjadi lemah dengan berita tersebut.

Pertama, bahwa hukuman mati tak efektif memberi dampak pembinaan dan pertobatan pada si tervonis. Hal ini terbukti dengan senyum eksis Budiman saat di tangkap dan menjadi headline beberapa media.

Kedua, poin menarik lain ada pada sosok Budiman sendiri yang justeru kok belum dieksekusi. Bila benar framingnya hendak mendapat dukungan publik, bukankah harusnya yang ditangkap di sel itu justeru harusnya Andrew Chan atau Mary Jane?

Dari framing itu sayang masyarakat tidak melihat satu simpulan besarnya, bahwa bahkan hukum kita tidak memberikan jaminan efek karena masih ada oknum aparat hukum yang tidak taat hukum. Masih banyak penegak hukum yang berkolaborasi dengan bandar narkoba bahkan hingga di sel mereka. Lantas bagaimana peredaran narkoba bisa diselesaikan dengan hukuman mati bila sebenarnya integritas dan nurani oknum penegak hukum yang sudah lebih dulu mati. Bahkan bukan tidak mungkin menyebut bahwa hukum itu sendiri mati. Suatu tesis yang sulit dibantahkan bahwa hukum kita saja masih bermasalah dengan aparatusnya.

Tetapi, barangkali disitu pula saya harus mengakui. Sisi melodramatik publik kita serta kebiasaan lupa sejarah atau tidak baca sejarah, lebih mudah digerakkan menjadi spektrum yang mendorong opini publik. Ketika kemudian Jokowi menyebut angka 50 nyawa setiap hari melayang, secara otomatis sistem panel kesadaran kritis kita langsung hilang. Kita langsung menghadapkan 50:1 untuk mengukur benefit. Seakan kita sedang belanja murah untuk mengambil keputusan. Tak mau lelah mencari tahu lebih jauh kualitas keputusan kita. Sing penting mudah dan murah. Tak peduli biarpun akhirnya jadi murahan.

Manusia Pancasila (Katanya)

Kemanusiaan yang adil dan beradab. Demikian satu poin penting dari dasar negara ini yang konon katanya menjadi sumber hukum kita dibangun. Kita sudah paham bahwa hal itu menjadi bagian dari Pancasila, tetapi apakah sudah semua kita memahami maknanya bagi cara bangsa ini bertindak. Saya yakini sejarah kita membuktikan sebaliknya.

Bahkan ketika Soekarno, pendiri bangsa dan Presiden Pertama republik ini dijadikan tahanan politik oleh karena gejolak politik dan campur tangan intelijen asing, kita bisa melihatnya. Kita bisa melihat bagaimana kemanusiaan itu tampaknya beradab dengan memberikan tahanan rumah pada Soekarno. Tetapi benarkah itu beradab bila keadilan tidak diberikan? Selama menjelang kematiannya, seorang Soekarno ditahan dan dijaga ketat bahkan dari lingkaran keluarga dan rakyatnya. Ketika kondisi kesehatannya menurun, bahkan tidak ada dokter yang tepat diberikan padanya untuk mengobati sakitnya.

Saya mencoba membuka lembaran sejarah antara wilayah iman yang saya yakini. Satu sisi membuka lembaran sejarah pada wilayah ideologi yang saya pegang dari pendiri bangsa ini. Dari keduanya saya melihat persoalan hukum kadang berada pada cara pandang masyarakat yang minor. Bahkan ketika Soekarno dengan berat hati mengeksekusi para sahabatnya sendiri yang berbeda mazhab soal ideologi, sejatinya itu bukan karena si tokoh itu semata. Tetapi karena Soekarno tahu rakyat yang belum lagi terdidik dan pengaruh tokoh yang tidak tepat akan meruntuhkan bangunan perjuangan bangsa.

Tetapi membayangkan eksekusi setelah nyaris 70 tahun merdeka. Membayangkan dorongan eksekusi mati berasal dari orang-orang yang konon terdidik membuat bulu kuduk saya bergidik.Bila pendidikan tidak mampu mengajarkan bahwa cara terbaik mengatasi narkoba adalah membendungnya dari garda depan, bukan dari belakang. Lantas apa gunanya pendidikan? Atau mungkin 70 tahun belum cukup membumikan Pancasila menjadi watak dan cara pandang kita menuju sisi adil dan beradab sebagai manusia Indonesia?

Ini Konstitusional, Bung!!

Meski saya mencoba dengan semampu saya menolak praktik hukuman mati, secara khusus pada yang diragukan perannya sebagai gembong Narkoba sepertiMary Jane. Saya cukup menghormati pula pihak yang kontra dan berdalih bahwa hukuman mati juga diatur oleh konstitusi.

Saya tidak akan membantah bahwa vonis mati secara jelas diatur dalam praktik hukum kita, meski sumbernya menyebut dasar filosofis yang jelas soal kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka disinilah saya mengajak kita bersepakat. Baik kalau soal beradab atau tidaknya hukum mati, meski saya tolak secara pribadi tetap saya hargai sebagai sebuah praktik konstitusi.

Tetapi bolehkah kemudian kita bersama bertanya pada masing-masing kasus dan peran dari 9 manusia yang akan diserahkan pada eksekutor. Benarkah mereka sudah diberi keadilan sesuai semangat Pancasila itu sendiri? Dalam hal ini saya merujuk pada Mary Jane yang hanya paham bahasa Tagalog tetapi bermasalah secara hukum di teritorial Indonesia.

Lalu apakah guna grasi dan pengampunan dalam sistem hukum kita? Bagaimana kita berharap warga negara kita di luar negeri yang terancam hukuman mati akan mendapat pengampunan. Kalau bahkan penjahat yang bertobat di negeri ini pun tidak diberi ampun lewat grasi. Sementara yang sudah mendapatkan grasi malah melakukan kejahatannya kembali. Sebagian lain seperti Budiman, sudah dijatuhi hukuman mati malah masih bisa lakukan transaksi lagi. Mari pikirkan kembali sisi adilnya. Adilkah kesalahan hanya pada pelaku, bagaimana dengan pihak aparat korup dan big bos dibalik para pelaku itu?

Jangan sampai hukum kehilangan tujuan penegakan keadilannya. Jangan sampai hukum kita gagal mendeteksi ketimpangan di sisi vonis hukuman mati. Bila di kemudian hari, bahkan setelah Mary Jane benar sudah dieksekusi. Kita mengetahui bahwa vonis itu keliru diberikan kepadanya. Berkenan kah para pendukung vonis mati menanggungkan darahnya yang tertumpah sebagai bagian dari tanggungjawab moral anda yang mendukung kematiannya? Itu bila kita mau berlaku adil dengan memilih sikap yang pro hukum mati. Kabar terbaru, pihak yang pertama kali merekrut Mary Jane sebagai tenaga kerja pun sudah menyerahkan diri pada aparat kepolisian Filipina (Sila cek). Ini hanya beberapa jam menjelang Mary Jane "dibunuh" oleh negara yang mengaku ber-Pancasila.

Bila akhirnya menurut supremasi hukum yang dijadikan dalil oleh Jokowi, pengadilan di Filipina memutuskan Maria Kristina Sergio selaku perekrut bersalah apa kiranya yang akan terjadi. Bila ternyata benar, Mary Jane si wanita kere yang punya 2 anak itu bukan bandar narkoba berdasar pengakuan si perekrut. Bukankah hukum kita yang cenderung mati ini akan tampak menjadi zombie?

Maka atas nama pribadi pada korban-korban hukuman mati yang kasusnya direkayasa. Pada jiwa-jiwa TKI yang melayang di tangan algojo hanya karena terpaksa melakukan pembelaan diri sehingga dicap pembunuh. Saya mendoakan keadilan bagi anda di akhirat.

Atas nama pribadi pula, bagi pelaku kejahatan narkoba dari Indonesia yang ditangkap di Filipina namun diperlakukan layaknya manusia. Atas sikap menghargai kehidupan mereka dan tidak mencabut nyawa anak bangsa kami yang durhaka atas nama kejahatan narkoba. Saya sampaikan rasa hormat saya pada konstitusi Filipina dalam menyikapi hukuman mati. Doa saya, semoga tidak ada tekanan publik mengalir deras untuk melakukan revisi undang-undang yang akhirnya membuka ruang dibuka kembali hukuman mati.

Semoga setiap negara semakin jeli mencari cara terbaik mengatasi dan meminimalisir kejahatan narkoba. Sebab fakta membuktikan bahkan pada data kota-kota yang menerapkan hukuman mati di Amerika, indeks kejahatan yang dalam hal ini bentuknya pembunuhan, justeru lebih tinggi terjadi (cek). Berbeda dengan kota yang justeru yang tidak menerapkan hukuman mati dimana tingkat kejahatan pembunuhannya lebih rendah (cek juga). Bahkan tak sebatas kota, fakta efektifitas hukuman mati sebagai kebijakan hukum negara atau sebagai alat penangkal kejahatan hingga hari ini disebut belum terbukti. Jadi, Bisakah akal sehat kita mencerna data ini? Rasanya sulit bagi pendukung praktik hukuman mati.

Lalu kalau hukuman mati tidak terbukti memberi efek jera, lantas untuk apa hukuman mati harus dipelihara. Untuk menyalurkan emosi dan kemarahan publik? Atau sebagai sebuah alat pertaruhan politik di panggung domestik dan internasional?

Jokowi mengutip secara tegas angka 50 orang mati setiap hari karena Narkoba. Lantas mengapa tidak mengutip pula data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang menyebut setiap jam 46 orang meninggal karena rokok. Setiap jam 46 dibandingkan 50 per hari. (Sila cek) Padahal jelas pemerintah mengakui di bungkusan bahwa Rokok Membunuhmu.

Jadi, kalau mau pakai logika cerdas ala Jokowi, mestinya aparat pemerintah yang menyetujui pembunuhan melalui rokok serta seluruh pihak yang mengedarkan rokok baik perusahaan maupun pekerjanya, turut divonis mati. Sebab oleh kerjasama diantara mereka, rokok setiap jamnya membunuh 46 jiwa dan ini secara vulgar pula diakui di kemasan rokok. Sehingga jelas ada alat bukti yang mudahan cukup menyeret "pembunuh" legal ke tiang eksekusi juga. Tetapi sayangnya seorang teman baru menyindir saya soal ketidakmampuan saya membedakan legal dan tidak legal. Jadi mesin pembunuh pun kalau dalam regulasi dipandang legal, akan berbeda posisi pula dengan mesin pembunuh yang ilegal.

Maka dalam itikad saya pribadi. Sampai akhirnya Sang Pencipta mencabut hak hidup saya sendiri, maka sampai saat itu saya tetap memilih untuk menolak hukuman mati. Apalagi untuk praktik di negeri yang hukumnya sudah mati. Negeri yang hukumnya tak lagi hidup untuk mencapai tujuan membangun keadilan.

”Law and order exist for the purpose of establishing justice and when they fail in this purpose they become the dangerously structured dams that block the flow of social progress”

- Martin Luther King, Jr.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun