Florence, gadis yang memaki secara vulgar dan kasar masyarakat Jogja di sosial media sedang jadi sorotan dan mendadak populer. Kemarahannya yang merasa tidak diakomodir untuk mendapatkan akses cepat di antrian SPBU menjadi bumbu menarik ditengah kelangkaan BBM.
Jujur, melihat peristiwa ini saya jadi miris. Tapi apa hendak dikata, efek lingkungan dan model pendidikan yang tidak mencerdaskan ini memang sudah makin jamak terjadi di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta yang disebut Florence di akun pathnya. Hari-hari ini pelajar dari asal kota yang disebut oleh Florence ini (Jakarta Bandung) banyak juga yang mengalami persoalan.
Saya tidak menyebut seluruh masyarakat Jakarta, nanti bisa runyam berujung seperti Florence, Tapi faktanya problem pendidikan karakter seperti di kota Jakarta ini mulai membentuk fenomena tersendiri yang bertentangan dengan lazimnya pemahaman kita pada keadaban publik dan tradisi masyarakat. Sebagai contoh di lingkungan pendidikan kita di Jakarta dan kota-kota urban besar lainnya, kerap terjadi kasus tawuran, kekerasan, penggunaan narkoba, dll.
Saya yang kelamaan tinggal di Jogja misalnya. Kerap jengkel menyaksikan para pelajar hingga profesional muda terpelajar yang bersikap egois di ruang publik. Cara mendeteksinya paling mudah, naik ke Busway dan temukan sendiri bagaimana banyak orang tua yang dibiarkan bersusahpayah berdiri sementara yang masih segar pura-pura lelap atau cuek sama sekali.
Kejadian demikian pun sempat populer setelah Dinda yang merasa lebih pantas duduk ketimbang ibu muda yang tengah hamil saat mereka kebetulan bersama dalam satu rangkaian KRL. Kejadian itu pun bermula dari kicauannya di Path.
Lantas, benarkah mereka pantas dibully? Barangkali jawabnya pantas. Tapi bila kita bertanya, apakah yang lebih pantas dari sekadar melakukan tindakan yang sama bodohnya dengan yang kita kecam? Tentu jawabannya ada dan itu merupakan bagian mendasarnya. Pendidikan kita.
Mengapa pendidikan, sebab rangkaian kejadian seperti yang dilakukan Florence, Dinda dan yang lainnya ke belakang justeru menarik dipertanyakan. Bagaimana bisa pendidikan kita gagal menyelami perspektif psikis insan muda yang diproses didalamnya? Bagaimana bisa mereka mampu mengenyam pendidikan ke perguruan tinggi tapi tidak selama menempuh pendidikan yang panjang, tak tersisa sedikit pun empati mereka terhadap sesama?
Saya yakin, Florence merupakan salah satu dari mata rantai kegagalan pendidikan kita dalam melahirkan insan yang cerdas dan berkarakter. Dalam hal ini tentu saja pendidikan tidak hanya dilihat dari perspektif lembaga dan proses pembelajarannya, tetapi juga melibatkan peran pendampingan pendidik maupun pendidik utama yakni keluarga.Masih banyak Florence lain yang bisa saja ada di sekitar kita atau mungkin saja Florence adalah gambaran lain dari diri kita sendiri yang merasa lebih berharga daripada orang lain.
Khusus dalam konteks ini saya menemukan tautan Flickr miliknya https://www.flickr.com/photos/immatura/.
Saya mencoba menerawang kepribadiannya lewat koleksi gambar di tautan ini. Saya tampak yakin bahwa gadis ini sejatinya butuh support klinis lebih dari yang kita pikirkan. Selain mengusut dan membina yang bersangkutan, UGM mestinya memberi pendampingan psikis baginya. UGM sangat punya kapasitas terhadap hal ini.
Semoga kisah tidak simpatik yang berulang seperti Florence ini dijadikan momentum pembongkaran ulang terhadap problem pendidikan kita termasuk otokritik terhadap nilai-nilai utama dalam keluarga. Kita marah dan kecewa pada sikapnya tapi kita akan lebih kecewa lagi kelak ketika mengetahui masih banyak ternyata Florence lain yang tidak terdeteksi di sosial media namun lebih membahayakan lingkungan sosial.
Mudah menghina orang lain seperti yang dilakukan Florence dan seperti balasan kita terhadapnya. Tapi tidak mudah mencari momentum perbaikan.