Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karo Adalah Karo (Seri 1)

8 September 2014   19:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:18 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah anda mengetahui tentang KARO atau pernah mendengar tentang apa itu KARO?

Pertanyaan ini merupakan sebuah awal mula dialog saya sebagai Kalak Karo (Orang Karo) perantauan dengan publik yang bukan merupakan bagian dari masyarakat Karo, namun masih saudara serumah dalam rumah besar Pancasila.

Pertanyaan ini penting bagi mereka yang menyebut diri pecinta kebudayaan atau mereka yang merasa kebudayaannya lebih dominan dihadapan samudera luas kebudayaan nusantara yang begitu kaya keragaman. Bagian dari refleksi kebudayaan kita menuju satu gagasan besar tentang Indonesia. Sebab selama satu pihak yang menyatakan diri sebagai pemilik kebudayaan lokal namun tidak mengenali dan melihat peranan kebudayaan lokal lain dalam membentuk akar kebangsaan kita, maka ke-Indonesia-an kita masih pantas dipertanyakan.

Bermula dari kritik saya pada beberapa pihak yang menyeret Kasus Penghinaan Florence terhadap Yogyakarta beberapa waktu lalu. Selama ini saya menjadikan Yogyakarta sebagai referensi bila bicara soal kebudayaan. Bukan karena budaya Jawa yang ada disana, melainkan kebudayaan nusantara yang tumbuh bersama di kota tersebut, meski pada satu titik kadang menimbulkan gesekan kecil. Gesekan yang wajar dalam pembentukan identitas kebudayaan Indonesia.

Kritik saya pada saat itu terhadap sikap reaktif beberapa kawan yang begitu menggebu-gebu memperkarakan Flo ke ranah hukum dan menyeret-nyeret identitas warga Medan. Membandingkan kebudayaan Kota Yogyakarta yang dinilai lebih adiluhung dan lain sebagainya.

Kalau Pernah ke Sinabung, mestinya tahu MEJUAH-JUAH!

Dalam salah satu diskursus yang berlangsung di media sosial, saya menyampaikan kritik terhadap berlebihannya sikap pihak tersebut pada Florence sampai melupakan esensi utama situasi negara saat itu, krisis BBM. Tidak ada masalah berarti dalam diskusi sebab pada dasarnya mereka sebagai bagian dari masyarakat Yogyakarta pun memang pantas marah saat itu.

Meski saya memahami kemarahan itu, saya tetap tidak merasa sikap tersebut mencerminkan keistimewaan Yogyakarta yang memang unik ketika merespon sebuah isu. Satu sisi juga saya menangkap kesan ada pertumbuhan sikap arogansi kebudayaan ketika menyebut relevansi peran Yogyakarta dalam menjaga eksistensi Indonesia.

Si kawan dalam diskusi tersebut menyebut punya saudari kenalan di Tanah Karo ketika mengetahui diriku bermarga Sembiring. Dirinya menyebut pernah ke Sinabung sebagai relawan dan saya memang tahu hal itu karena saya add pertemanan dengannya karena alasan itu. Alasan yang dimulai pada sikap arogan Mbah Surono terhadap warga Karo saat itu.

Pada titik ini diskusi makin berlangsung baik karena mulai coba saling mengenal, lalu yang bersangkutan pun menyapa Bang padaku dan kubalas menyapa Mbak. Makin bagus.

Hanya kemudian ketika diskusi berujung pada satu benang merah tentang bagaimana agar kita sebagai mahluk berbudaya terus merawat ke-Indonesia-an, saya kaget dia menutup salam dengan HORAS! Maka dengan tenang saya merespon dan menyebut bahwa mestinya, kalau bicara kebudayaan lokal Indonesia apalagi pernah ke daerah kebudayaan itu berada kita bisa mengenalnya. Saya akhirnya menjelaskan bahwa sapaan atau salam khas dalam masyarakat Karo itu adalah Mejuah-Juah. Kurang lebih bermakna Salam Sejahtera.

Ya, tentu ini menimbulkan kesan lucu sekaligus miris. Lucu bahwa kita kadang menganggap mengetahui soal Indonesia dan mengagungkan kebudayaan sendiri tetapi menafikkan pengetahuan kita tentang kebudayaan lain. Mirisnya adalah bahwa keterbatasan pengetahuan orang tentang Karo selain karena memang mereka tidak mencari tahu, juga lebih banyak karena anggota masyarakat Karo sendiri kurang maksimal dalam mengenalkan.

Maka diskusi tentang kebudayaan itu akhirnya juga membuat saya menyadari masih sangat kurangnya perhatian Pemerintah Daerah di Tanah Karo dalam memelihara, mengelola dan mempromosikan kebudayaannya ditengah keragaman kebudayaan lain dalam masyarakat Indonesia. Gerakan kebudayaan Karo masih berjalan secara parsial walaupun saya bersyukur dalam setahun terakhir sudah cukup intens beberapa media mengulas sisi lain kebudayaan Karo.

Selain kesadaran dan kritik atas Pemerintah Daerah, saya pribadi pun melakukan otokritik atas kurang massifnya promo kebudayaan lewat jalur personal, apalagi tanpa strategi yang cukup fenomenal. Ketika strategi komunal belum begitu maksimal dan yang personal pun masih belum optimal, saya berpikir untuk mulai menapaki pencarian akan akar identitas kebudayaan KARO itu sendiri.

Maka agar pencarian saya tidak menepi dalam kesendirian yang kosong, kembali saya bertanya pada publik yang barangkali bisa memberi gambaran dan makna bagi saya dalam mendeskripsikan identitas pribadi saya, identitas kebudayaan Karo yang juga pembentuk Kebudayaan Indonesia.

Apakah anda mengetahui tentang KARO atau pernah mendengar tentang apa itu KARO?

Jakarta, 08 September 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun