Mohon tunggu...
Lyfe Pilihan

SITI, Lebih Buas dari Beruang The Revenant

8 Februari 2016   20:49 Diperbarui: 10 Februari 2016   12:45 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Siti, terpaksa menjadi buas karena tuntutan situasi dan rangkaian masalah yang dihadapinya. Foto: The Jakarta Post"][/caption]

Pekan ini saya menyempatkan diri nonton dua film di bioskop, satu garapan Hollywood, The Revenant, satunya lagi produksi asli ibu pertiwi, SITI, pemenang anugerah sinema terbaik FFI 2015.

Entah kebetulan atau tidak, bertahan hidup menjadi benang merah yang mengikat dua film tersebut. 

Ketika memelototi The Revenant, adegan yang paling menyita perhatian tentu adalah saat Hugh Glass (Leonardo Di Caprio) diantarkan seekor beruang menuju gerbang kematian. 

Di mata si beruang, Glass ibarat mainan. Glass begitu mudahnya diombang-ambing, dicabik-cabik, dan diremukkan tulang belulangnya.

“On est tous des sauvages.” atau bila diartikan “Kita semua adalah mahluk buas.” 

Kalimat tersebut muncul dalam salah satu skena di The Revenant, tepatnya tertera pada papan di mana orang Pawnee (Indian) tergantung mati. 

Ya. Ternyata kita adalah mahluk buas. Glass memang nyaris mati diserang beruang. Tapi ia “hanya” sekarat dan berada di ambang gerbang kematian. Sebaliknya, si beruang yang terlihat buas dan dominan justru benar-benar diantarkan Glass menuju alam baka.

Glass yang sekarat dan sudah dikubur hidup-hidup oleh koleganya, John Fitzgerald, secara ajaib mampu terus bertahan dari hawa dingin menusuk tulang. Pada akhirnya, Glass bahkan menuntaskan misi balas dendam kepada Fitzgerald, yang telah mengambil nyawa anaknya. 

[caption caption="Hugh Glass, kala menerima serangan mematikan dari seekor beruang. Foto: thewrap.com"]

[/caption]

Dalam proses menuju balas dendam itu, Glass sempat menyantap jeroan mentah hewan untuk mengenyangkan perut kosongnya dan bersembunyi di perut kuda demi menghindar dari teror badai salju tak bersahabat. 

Lalu siapa yang lebih buas sekarang Glass atau si beruang? 

Menurut saya Glass atau si beruang itu kalah buas dari Siti. Kok Bisa? Memang tak ada darah muncrat atau suara tulang remuk di film SITI. 

Akan tetapi, seseorang harus cukup “buas” agar bisa tetap hidup dari serangkaian badai yang menyerang Siti (Sekar Sari). Analogi badai begitu pas karena latar tempat film Siti adalah di Pantai Selatan Yogyakarta. 

“Laut yang menghidupi, laut pula yang mengambil hidup,” ujar Ibu Siti dalam salah satu adegan.   

Laut memberikan jingking dan undur-undur agar kemudian bisa diolah menjadi peyek oleh Siti dan ibunya. Laut pula yang memungkinkan Bagus, suami Siti, memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. 

Namun, samudera punya kuasa. Siti terlilit hutang lima juta. Nominal itu adalah uang yang digunakan Bagus untuk membeli kapal. 

Kapal urung menjadi mesin uang karena tak kunjung diapungkan menuju samudera. Bagus sakit parah, lumpuh, akibat kecelakaan waktu melaut. Alih-alih melaut lagi, membuka mulut untuk menerima suapan Siti pun butuh tenaga ekstra dari Bagus.

Bagus masih bisa membuka mulut untuk mendaratkan suapan nasi ke lambungnya. Hanya, ia enggan membuka mulut supaya dirinya bisa bercengkerama dengan sang istri.

Kenapa? Pekerjaan Siti sebagai “biduan” di sebuah rumah karaoke adalah kenyataan yang membuat Bagus terdiam seribu bahasa. Karena SMA tidak tamat, bekerja sebagai pemandu karaoke adalah gawean yang paling masuk akal di mata Siti, ketimbang PNS atau merantau ke luar negeri sebagai TKW.

Siang menjual peyek jingking, malamnya Siti bermetamorfosis menjadi “biduan” seksi yang siap memuaskan pelanggan setia rumah karaoke tempatnya bekerja, termasuk Mas Gatot.

Mas Gatot adalah polisi yang naksir berat kepada Siti. Ia bahkan berani mengajak Siti menikah dan meminjamkan sejumlah uang, agar Siti bisa segera melunasi hutang Bagus.

Badai Siti bukan cuma soal beban hutang, peyek jingking yang tak terlalu laku, suami lumpuh, atau asmara terlarang dengan Mas Gatot. Ia masih harus melalui serangkaian dialog ringan tapi memicu kekalutan dengan sang buah hati, Bagas.

Bagas bercita-cita jadi Pilot, tapi nilai matematika-nya cuma lima. Siti menuntut agar Bagas memperbaiki nilainya. Ironis, karena pekerjaan sebagai pemandu karaoke membuat Siti tak pernah punya waktu untuk menemani Bagas belajar hitung-hitungan.

[caption caption="Siti, kerap terlibat dalam dialog jenaka dengan sang buah hati, Bagas. Foto: muvila.com"]

[/caption]

Serangkaian masalah itu menurut saya sudah sama atau malah lebih mematikan ketimbang seekor beruang plus badai salju yang dihadapi Glass di The Revenant.

“Asuuuuuuuu (anjing)” umpatan itu lugas ditujukan Siti kepada Bagus. Hati Siti sebagai wanita tercabik-cabik persis seperti Glass kala diserang beruang.

Pada bagian akhir cerita, Bagus yang biasanya membisu tiba-tiba bisa berkata: “lunga a, lunga a..,” (pergilah, pergilah..), sebagai respons atas permintaan Siti yang ingin pergi dan menikah lagi dengan Mas Gatot.

Siti pun pergi menuju laut. Karena laut yang memberi hidup, laut pula yang mengambil hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun