Lalu siapa yang lebih buas sekarang Glass atau si beruang?
Menurut saya Glass atau si beruang itu kalah buas dari Siti. Kok Bisa? Memang tak ada darah muncrat atau suara tulang remuk di film SITI.
Akan tetapi, seseorang harus cukup “buas” agar bisa tetap hidup dari serangkaian badai yang menyerang Siti (Sekar Sari). Analogi badai begitu pas karena latar tempat film Siti adalah di Pantai Selatan Yogyakarta.
“Laut yang menghidupi, laut pula yang mengambil hidup,” ujar Ibu Siti dalam salah satu adegan.
Laut memberikan jingking dan undur-undur agar kemudian bisa diolah menjadi peyek oleh Siti dan ibunya. Laut pula yang memungkinkan Bagus, suami Siti, memiliki mata pencaharian sebagai nelayan.
Namun, samudera punya kuasa. Siti terlilit hutang lima juta. Nominal itu adalah uang yang digunakan Bagus untuk membeli kapal.
Kapal urung menjadi mesin uang karena tak kunjung diapungkan menuju samudera. Bagus sakit parah, lumpuh, akibat kecelakaan waktu melaut. Alih-alih melaut lagi, membuka mulut untuk menerima suapan Siti pun butuh tenaga ekstra dari Bagus.
Bagus masih bisa membuka mulut untuk mendaratkan suapan nasi ke lambungnya. Hanya, ia enggan membuka mulut supaya dirinya bisa bercengkerama dengan sang istri.
Kenapa? Pekerjaan Siti sebagai “biduan” di sebuah rumah karaoke adalah kenyataan yang membuat Bagus terdiam seribu bahasa. Karena SMA tidak tamat, bekerja sebagai pemandu karaoke adalah gawean yang paling masuk akal di mata Siti, ketimbang PNS atau merantau ke luar negeri sebagai TKW.
Siang menjual peyek jingking, malamnya Siti bermetamorfosis menjadi “biduan” seksi yang siap memuaskan pelanggan setia rumah karaoke tempatnya bekerja, termasuk Mas Gatot.
Mas Gatot adalah polisi yang naksir berat kepada Siti. Ia bahkan berani mengajak Siti menikah dan meminjamkan sejumlah uang, agar Siti bisa segera melunasi hutang Bagus.