Beberapa waktu kebelakang ada sebuah wacana dalam dunia pendidikan yang kerap menjadi trending topik di masyarakat. Wacana tersebut menghiasi berbagai media di tanah air juga di perbincangkan di berbagai tempat, sekolah, kantor, bahkan sempat menjadi kekhawatiran bagi para ibu-ibu rumah tangga. Saya tidak tau apakah masih belum terlambat saya menyampaikan opini saya sekarang tentang wacana ini, mungkin juga sudah ketinggalan masanya, tapi ya mbuh lah.
Wacana yang dikemukakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yaitu berkaitan dengan Full Day School yang jika di terjemahkan satu per-kata menjadi full=penuh, Day=Hari, School=Sekolah. Jadilah wacana ini mengarah pada ancang-ancang untuk membuat peraturan bahwa anak-anak akan berada di sekolah dan belajar selama sehari penuh, dari Senin hingga Jum’at. Sudah tentu wacana ini menuai banyak sekali tanggapan kontra masyarakat, ‘anak-anak akan kehilangan waktu bermainnya/ anak-anak akan kurang bersosialisasi/anak-anak tidak punya waktu bersama orang tua dan keluarganya di rumah/ anak-anak akan berat menghadapi pelajaran terus-terusan’, hingga yang lebih ekstrem ada yang menyatakan‘anak-anak akan tertekan dan mungkin menjadi stress karena terus menerus dipaksa belajar’. Wow it was amazing!
Nah disisi lainnya, tidak sedikit pula yang memberikan tanggapan pro terhadap wacana ini, ‘Hal ini bagus terutama untuk anak-anak di Jakarta yang notabene ayah dan ibunya bekerja full day/ Hal ini akan membuat anak-anak menjadi lebih berkosentrasi dalam belajar/ anak-anak jadi mendapat waktu belajar lebih panjang dan masih banyak lagi.’
Berbicara mengenai full day school, beberapa masyarakat (termasuk saya personal) sudah tak asing lagi dengan hal ini, istilah –full day school- nya mungkin memang baru, namun untuk pelaksanaannya hal ini tentu sudah dilakukan oleh banyak sekolah atau lembaga pendidikan di Indonesia. Di pesantren misalnya, bayangkan saja anak-anak menghabiskan waktu mereka di sekolah hingga bertahun-tahun dan hanya pulang ke rumah masing-masing saat libur sekolah (biasanya per-enam bulan). Kemudian ada pula sekarang Sekolah Islam Terpadu (sekolah IT) yang juga mengadopsi sistem pesantren walau tidak sepenuhnya. Let see? Anak-anak yang belajar di pesantren dan juga sekolah IT ternyata tidak sedikit yang menuai prestasi, semakin tahun semakin bertambah pula siswa/i nya, bahkan di beberapa pesatren, calon siswa/i harus melewati serangkaian test yang amat jauh dari kata mudah untuk kemudian bisa bergabung dalam rangakaian belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa waktu belajar seharian penuh yang harus dilakukan oleh anak-anak seperti gagasan full day school ini tidak seburuk yang dikhawatirkan, banyak pula anak-anak yang mungkin memang perlu untuk ‘didisiplinkan belajar’ agar bisa mencapai prestasi yang lebih tinggi.
Nah selain pesantren atau sekolah IT, adapula sekolah negeri yang sudah menerapkan sistem ini sejak bertahun-tahun yang lalu. Di kota tempat saya berasal misalnya, tepatnya di Sekolah Menengah Atas (SMA) tempat saya pernah menuntut ilmu hinggal lulus, sistem ini sudah diterapkan semenjak kami mendapat ‘gelar’ RSBI (masih ingat istilah ini kan? Meskipun sekarang sudah dicabut) di tahun 2010/2011, sekolah ini sama dengan SMA Negeri seperti pada umumnya bukan tipe sekolah IT atau pesantren, namun waktu belajarnya dimulai sejak pukul 7.30 pagi hingga pukul 17.15 sore.
Sebelumnya izinkan saya mendeskripsikannya. Sekolah ini lumayan luas, bahkan punya lapangan sepak bola di samping kanan gedung, juga punya lapangan basket dan upacara bendera (terpisah) yang dikelilingi oleh ruangan-ruangan kelas-kelas dan kantor guru, selain itu di halaman depan sekolah juga ada taman kecil yang hijau dan dilengkapi dengan lapangan parkir yang bisa muat hingga 200-300 motor. Jam belajar di sekolah ini berlangsung sejak pukul 8 setelah apel pagi hingga pukul 17.15 sore hari, para siswa/i diberikan hak waktu istirahat tiga kali yang bertepatan dengan waktu ibadah shalat bagi muslim, saat waktu dhuha jam 10.00 (30 menit), saat shalat dzuhur (60 menit), dan saat shalat ashar (30 menit). Di sekolah ini, bukan hanya guru yang mengejar siswa/i untuk membantunya belajar, namun siswa/i harus juga cerdas mengejar dan beradaptasi dengan pola mengajar masing-masing guru, dan kecerdasan otak harus juga diimbangi dengan kecerdasan dalam bersikap, karena dalam laporan belajar setiap semester budi pekerti setiap siswa/i juga ada nilai (angka) nya dan mempengaruhi kenaikan kelas. Selain itu dalam mengikuti setiap mata pelajaran siswa/i diwajibkan paling minimal membawa dua buku panduan, satu dipinjamkan oleh sekolah dan satu lagi dicari sendiri (tidak harus beli, boleh pinjam, fotocopy, dll), juga 3 (tiga) buku tulis -1 buku catatan, 1 buku latihan soal, 1 buku pr-, semua itu dilakukan agar para siswa/i bisa mengikuti pelajaran dengan siap dan lebih mudah.
Jam belajar full day berlangsung hingga hari kamis, sedangkan hari jum’at waktu belajar hanya sampai pukul 11.30, dilanjutkan pada pukul 14.00 untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler sekolah yaitu ROHIS (Rohani Islam Sekolah) hingga pukul 17.00 sore hari. Sementara pada hari sabtu, waktu belajar sampai pukul 13.00 siang, dilanjutkan pada pukul 14.00 untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler PRAMUKA hingga pukul 17.00 sore.
Dengan jam belajar yang padat jangan berpikir para siswa/i jadi berkurang waktu untuk bermain dan bersosialisasi, bahkan sebenarnya para siswa/i (termasuk saya pada masanya) sangat terbantu menjadi lebih disiplin dan lebih luwes bergaul dengan sesama teman dan orang yang lebih tua (guru), kami pada saat itu terbiasa berhadapan dengan teman-teman di sekolah yang berbeda latar belakang selama kurang lebih 8 jam dalam sehari. Selain itu kebiasaan membawa dan membaca dua atau lebih buku panduan pelajaran membuat para siswa/i juga lebih termotivasi dalam belajar dan juga "dipaksa" tau lebih banyak dan kritis terhadap teori dalam buku pelajaran karena tentu saja karena ada buku pembandingnya, selain itu para siswa/i juga siap untuk berdiskusi dalam setiap pembahasan, hal tersebut sangat mendukung pola pikir, wawasan, dan pola komunikasi siswa/i.
Beberapa waktu yang lalu saat saya pulang ke daerah asal, saya berpapasan dengan beberapa anak-anak usia SMP yang sedang nongkrong santai di sebuah warung sambil merokok. Saat itu memang sudah pukul 1 (satu) siang, jam pulang sekolah, saya dekati mereka dan mencoba mulai bertanya,
“Hei kalian ga pulang ke rumah?”
“Memang kenapa? Lagian di rumah sepi, ibu dan bapak masih di kantor” seorang anak lelaki menanggapi pertanyaan saya,
“Iya. Lagian kalau pulang tidak akan boleh main lagi kan!” salah satu yang lain menimpali ketus.
Saya hanya bisa menanggapi dengan senyum.
Tentu hal ini terjadi salah satunya karena lingkungan di sekitar mereka, jika saja lingkungannya lebih bersahabat dan ada yang mengarahkan mereka agar waktu kosongnya dihabiskan untuk melakukan hal yang lebih bermanfaat.
Dulu sebelum -full day school- diwacanakan rata-rata orang tua menganjurkan anak-anak untuk mengisi waktu luang mereka selepas sekolah dengan les tambahan dan mengaji di masjid kampung atau yang lebih keren TPA, maka jika sekarang pemerintah ingin memfasilitasi dan membakukan pola yang sebenarnya sudah terbentuk di masyarakat sejak lama, maka sebenarnya tidak salah bukan? Harapan kita semua akan lebih mudah diawasi, pola pikir nya diarahkan, dan di-disiplin-kan.
Tentunya hal ini tidak akan terwujud jika hanya sebatas wacana pemerintah, harus ada persiapan yang matang untuk implementasi wacana tersebut, pola belajar yang menyenangkan pada masing-masing tingkatan sekolah juga harus dirumuskan, selain itu dukungan para pelaksana yaitu guru-guru di sekolah dan tentunya para orang tua siswa/i di rumah pun juga sangat dibutuhkan demi tercapainya tujuan untuk memperbaiki sistem pendidikan para generasi bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H