Di zaman serba instant ini segalanya menjadi mudah untuk kita dapatkan, tak pelak semua karena proses digitalisasi segala kebutuhan mulai dari aktivitas belajar, makan, jasa angkutan hingga belanja barang-barang kehidupan sehari-hari. Segala kemudahan ini membuat kita seakan terlena dengan mudahnya mendapatkan apa yang kita inginkan.Â
Berbagai kemudahan yang mendorong kita untuk semakin bersikap konsumerisme, melupakan sisi-sisi manusia kita. Kita terperangkap pada bingkai kehidupan sempurna dan tanpa kelemahan. Terpikirkan oleh kita untuk memiliki kehidupan orang lain yang kerap berujung pada pembualan kita tentang hidup, namun nyatanya masih bacot kosong dan jauh dari kenyataan.
Pada kenyataannya di lingkungan kita sendiri, tak jarang kita menemukan ketimpangan social dan kesenjangan social. Kesenjangan ini sangat mudah kita jumpai dalam dunia kita termasuk dalam bidang pendidikan.Â
Banyak hal yang dapat menjadi faktor penyebab terjadinya kesenjangan ini, salah satunya ialah letak geografis suatu wilayah, kurangnya tenaga pendidik yang memadai, tidak adanya fasilitas sekolah yang mencukupi, serta hal-hal teknis lainnya.
Setiap Minggu sore, aku datang berkunjung dan berbagi semangat belajar bersama mereka. Aku menjadi kakak pengajar untuk Kelas Cilik, kelas pertama yang ku tangani. Aku belum pernah mengajar di tingkat Sekolah Dasar sebelumnya, tetapi aku sudah meniatkan diri dan bermodalkan keyakinan kuat, aku berusaha mengajak mereka bermain dan belajar.
Dari sinilah aku belajar tersenyum dari dalam hatiku, mereka mengisi kosongnya relung jiwaku. Seorang anak bernama Icha, sangat senang mengikuti kelasku. Dia tersenyum dan mengenggam tanganku, disaat itupun aku tersadar bahwa Icha tak seperti anak-anak lainnya.Â
Fisiknya tak sesempurna kawannya yang lain, namun dia tetap bersekolah dan bersemangat untuk belajar. Anak-anak disekitarnya juga tetap memberikan dukungan, dan inilah yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak; teman, orangtua, saudara adalah orang terdekat yang harus menjadi lingkungan aman bagi tumbuh kembang anak.
Seringkali aku mendapat pertanyaan seputar kegiatan kerelawaan yang aku lakukan, "Apa benar kami mengajar tanpa imbalan ?" ku jawab dengan mantap, "Ya, tentu saja". Tidak semua orang akan menyukai pekerjaan tanpa bayaran ini, oleh karena itulah aku sangat bangga kepada para pengajar. Mereka adalah inspirasi sesungguhnya.Â
Setiap pengajar yang datang ke tempat ini setidaknya memerlukan kendaraan pribadi atau harus bergoncengan dengan teman lainnya. Kami saling bergantung satu sama lain menuju ke lokasi pengajaran.Â
Aku sendiri cukup beruntug karena punya kendaraan pribadi, satu hal yang selalu kusyukuri. Sebelum berangkat, kami akan saling berkomunikasi agar dapat sampai di tempat pengajaran dengan tepat waktu dan tepat ajar.
Mendung dan cuaca sering tak  berkawan, kadang kala ada rasa jenuh dalam diriku, kadang aku sangat lelah. Tetapi membayangkan mereka datang ke sekolah tanpa pengajar yang mereka akan temui, membuat hatiku cukup resah.Â
Pada akhirnya langkah tetap kutegaskan, datang terlalu cepat tak masalah, datang terlambat bisa membuat hati mereka cukup cemas Satu hal yang selalu dipersiapkan ketika ingin menjadi relawan pengajar ialah, niat dari dalam hati.
Anak-anak sangat peka dengan perasaan para pengajarnya. Mereka tau kalau pengajar sedang tidak dalam kondisi mood yang menyenangkan. Kami akan mengajak mereka bermain bersama terlebih dahulu, desain pembelajaran yang kami bangun juga merupakan desain pembelajaran belajar dan bermain.Â
Anak-anak juga sangat sering melakukan hal-hal di luar dugaan kami, kami harus tau mengendalikan diri kami agar tidak langsung memarahi anak, malah terkadang kami bermain bersama dan kami akan menganggap hal itu biasa saja.Â
Anak-anak ini punya karakter yang berbeda-beda, tidak semua anak dapat diberi nasehat dalam suatu waktu, ada yang hiperaktif, ada yang diam, dan lain sebagainya. Â Seringkali mereka saling berebut perhatian dengan kami. Satu pengajar dengan lima anak biasanya akan kewalahan, kami tidak akan pernah cukup untuk satu kelas.
"Beberapa anak mampu berkembang dan bermain dengan akrab bersama kami. Beberapa ada yang bersikap acuh, beberapa lagi hiperaktif. Beberapa tumbuh di lingkungan supportif, beberapa ada yang harus memaksa mereka bekerja lebih dini. Beberapa hanya bermain dan belajar, beberapa juga harus bermain belajar dan bekerja. Beberapa bisa bersekolah lebih tinggi, beberapa harus sekuat tenaga untuk bisa bersekolah".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H