Mohon tunggu...
Selvi Dwi Septiarini
Selvi Dwi Septiarini Mohon Tunggu... Freelancer - -

Menulis bukan hanya pekerjaan, melainkan kesempatan untuk mengasah cara berfikir dan menuangkannya ke dalam sebuah artiel yang relevan dan mudah dipahami publik. Setiap artikel adalah refleksi dedikasi saya untuk menyajikan informasi dengan cara yang informatif dan menarik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Agus Buntung dan Tantangan Hukum Kekerasan Seksual di Indonesia

26 Desember 2024   22:28 Diperbarui: 26 Desember 2024   22:36 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial kembali diguncang oleh kasus pelecehan yang melibatkan penyandang disabilitas. Seorang pemuda bernama I Wayan Agus Suartama, atau yang lebih dikenal sebagai Agus Buntung, menjadi sorotan bukan karena perjuangannya sebagai penyandang disabilitas, melainkan karena serangkaian tindakan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. 

Lelaki muda asal Mataram, Nusa Tenggara Barat ini menjadi tersangka atas kasus pelecehan seksual terhadap 15 wanita, termasuk anak di bawah umur. Kasus ini menjadi gambaran ironis dari paradoks antara disabilitas fisik dan kebrutalan moralitas.

Meski  tanpa kedua tangan ternyata tidak menghentikan Agus Buntung untuk menjerat korban-korbannya melalui tipu daya dan manipulasi. Modus yang digunakan dengan membawa korban ke sebuah homestay, bahkan pelaku melibatkan penggunaan “mantra khusus” untuk mengendalikan kehendak korban. Hanya dalam kurun waktu satu minggu, Agus dilaporkan mampu membawa hingga lima wanita ke lokasi yang sama.

Kini polisi telah menggelar rekonstruksi dengan memperagakan 49 adegan yang menggambarkan dugaan tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Agus terhadap korban. Namun, pertanyaannya apakah keadilan hukum akan benar-benar memihak korban? Apakah hukuman yang diberikan kepada pelaku seperti Agus sudah mampu menciptakan efek jera?

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat, mengingat kasus pelecehan seksual sepanjang 2024 mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut data Komnas Perempuan, jumlah korban kekerasan seksual pada perempuan meningkat dari 15.621 kasus pada 2023 menjadi 34.682 kasus pada 2024. Hal ini tentunya menjadi cermin buram dari kegagalan sistemik dalam melindungi masyarakat.

Jika ditelaah lebih mendalam, kasus Agus Buntung hanyalah satu dari sekian banyak tragedi yang mengungkap kelemahan pengawasan dan kurangnya efektivitas penegakan hukum di Indonesia. Dalam konteks ini, diskusi tentang hukuman yang pantas bagi pelaku menjadi isu krusial yang tidak dapat diabaikan. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang disahkan pada 2022, sejatinya dirancang sebagai landasan hukum yang kuat. Sebagai contoh, Pasal 6 UU TPKS Nomor 12 menetapkan ancaman pidana bagi pelaku pelecehan seksual fisik dengan hukuman penjara hingga 4–12 tahun. Namun, implementasinya masih menyisakan banyak pertanyaan.  

Apakah ancaman pidana tersebut sudah sebanding dengan trauma mendalam yang harus ditanggung oleh korban, bahkan mungkin sepanjang hidupnya? Wacana penerapan hukuman tambahan, seperti pengawasan seumur hidup atau kebiri kimia, patut dipertimbangkan sebagai langkah preventif untuk melindungi masyarakat, khususnya perempuan dari ancaman serupa di masa mendatang. Terlebih, kasus kekerasan seksual yang berpotensi merusak masa depan perempuan menunjukkan peningkatan tajam pada tahun 2024 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sehingga penanganan yang lebih tegas dan efektif menjadi kebutuhan mendesak yang harus diprioritaskan.

Kasus ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam penanganan kasus kekerasan seksual, mengingat kekerasan seksual tidak mengenal fisik, usia, maupun status sosial. Pemerintah dan masyarakat memiliki tanggung jawab kolektif untuk mencegah tragedi serupa pada tahun-tahun selanjutnya. Hukuman yang berat dan tepat sasaran adalah langkah awal, tetapi membangun kesadaran kolektif, memperkuat hukum, dan memberikan perlindungan terhadap korban adalah perjuangan yang harus senantiasa kita digelorakan bersama-sama. 

Hanya dengan tindakan nyata dan kesadaran kolektif, harapan untuk menciptakan dunia yang bebas dari kekerasan seksual bisa terwujud. Kasus Agus Buntung hanyalah sebagian kecil dari realitas yang jauh lebih mengerikan. Bahkan di luar sana mungkin masih banyak korban yang menunggu keberanian kita untuk bertindak. Oleh karena itu, mari bersama-sama mengambil peran, karena perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang kita lakukan hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun