[caption id="attachment_192157" align="aligncenter" width="300" caption="Buku Menulis dengan Telinga Karya Adian Saputra"][/caption]
“Filosofi buat seorang penulis yang hendak menjaga mutu karyanya ialah tulisan terbaik itu tulisan terakhir.. setiap menulis hendaknya diniatkan menjadi karya adiluhung sepanjang karier kepenulisan kita.” (Menulis dengan telinga, Adian Saputra).
Adian Saputra atau biasa disapa Bang Adian (33 tahun) ini adalah salah seorang kompasianer asal Lampung sekaligus Jurnalis di Lampung. Ketika saya hanya bisa menulis diary, beliau acapkali muncul sebagai penulis opini di Lampung Post dan media lainnya. Kami saling akrab semenjak saya masuk kompasiana setahun yang lalu, padahal dari dulu saya sudah sangat familiar dengan namanya karena apapun jenis acara kepenulisan yang saya ikuti di Lampung pasti salah satu pematerinya adalah Bang Adian.
Sering kali mendengar curriculum vitae-nya, membuat saya tahu ternyata beliau juga termasuk senior di Pers Mahasiswa (Persma Unila), namun beliau dari Fakultas Ekonomi sementara saya dari Fisip. Maklum saja jika beliau tak mengenal saya, selain karena jauh tingkatannya, bang Adian memang dari awal menisbatkan diri di Persma sementara saya diminta menahkodai BEM. Sudah ya lintas fakultas, lintas pula ruang aktivitas.
Menjumpai tulisan-tulisannya di kompasiana membuat saya seperti duduk menyimak saat diberi pelatihan olehnya beberapa tahun silam. Asyik, lucu dan fresh gayanya saat memberi pelatihan ternyata bisa saya nikmati lewat tulisan yang ia lempar ke kompasiana. Maka saya tak mau ketinggalan menyimak dan berkomentar di lapaknya, malahan kalau saya belum berkomentar sering kali diingatkan beliau untuk berkomentar. Itung-itung saya dapat kursus kepenulisan gratis.
Sampai suatu ketika, saya diberi kehormatan untuk memberikan endorse pada naskah buku yang beliau emailkan. Menulis dengan Telinga itulah judul buku pertamanya yang diterbitkan sendiri (self publishing). Terdiri dari berbagai artikelnya di Kompasiana yang membongkar dapur kepenulisan tanpa harus bergumul dengan teori rumit ala barat seperti di bangku kuliah. Dengan bahasa yang lebih membumi, tak terasa kita sudah pindah ke sub judul lain saat membacanya.
Perlahan tapi pasti bahkan secara runut semua masalah teknis tentang menulis didedah. Mulai dari mempertanyakan bakat, menghilangkan ketergantunga pada mood, memasarkan tulisan sampai mempersiapkan tulisan terakhir semua tertuang dalam buku seharga 30 ribu rupiah ini.
Ada beberapa tulisan dalam buku ini yang dulu pernah disampaikannya, yakni tentang bakat menulis. Beliau pun mencontohkan Abdurrahman Faiz putra dari Helvi Tiana Rosa yang memang mempunyai bakat menulis dari kedua orang tuanya sehingga dalam usia 6 tahun bisa menjuarai lomba menulis untuk Presiden Megawati, namun bagi kita yang bukan seorang anak dari Helvi Tiana Rosa tentu juga bisa menulis, asal punya minat. Minat menjadi jembatan antara ketiadaan talenta dan visi menjadi penulis. Lebih baik mengasah minat daripada hanya menunggu bakat tanpa bukti otentik naskah yang dihasilkan.
Ketika kita mengasah minat, sedang asyik-asyiknya menulis naskah dengan topik tertentu tiba-tiba muncul topik lainnya, sehingga tulisan dan pikiran kita menjadi bersayap tidak berkedalaman. Lalu bagaimana? Bang Adian memberikan tips jika menemui masalah tersebut sebaiknya tulis ide baru tersebut dibagian bawah, bisa kita tandai atau tulis di halaman baru. Dengan demikian, tulisan rampung ide ditampung.
Saya senang sekali diberi 2 buah buku ini oleh Bang Adian saat kami Kopdar pada Jumat (29/6) di Lampung, karena buku setebal 138 halaman ini dilengkapi dengan daftar hari besar untuk memanfaatkan momentum ketika mengirim opini, alamat media tempat kita memasarkan tulisan beserta besaran honor yang diperoleh jika dimuat, tentu saja suplemen seperti itu sangat membantu kita saat mengirimkan tulisan tanpa harus searching di google. Namun sayang sekali, dicetakan pertama ini tidak ada kata pengantar dari mbak Linda Christanty seperti yang disebutkan oleh penulis dalam pengantarnya.
Terlepas dari itu, buku ini sangat recommended terutama bagi kita yang kerap mengalami masalah teknis dalam menulis dan mood-mood-an. Percayalah, selesai membaca buku ini, energy untuk menulis kembali terisi penuh! Persis seperti ponsel yang siap bekerja lagi setelah baterai diisi ulang. Begitulah pengakuan Admin Kompasiana Mas Iskandar Zulkarnain yang juga turut menuliskan endorse untuk buku ini.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H