[caption caption=""Papan pengumuman" memasuki kawasan Baduy"][/caption]Mereka yang melakukan perjalanan hanya dengan langkah kaki, menempuh ratusan kilometer, entah untuk berapa hari lamanya. Akhirnya apa yang saya idamkan atau saya tahu inginkan dari dulu, yakni mengunjungi perkampungan Baduy, tercapai sudah.
~
Panas terik langsung menyambut kedatangan saya bersama rombongan trip kali ini di stasiun Rangkas Bitung, Banten. Awal dari perjalanan kami menuju perkampungan urang Kanekes, atau yang lebih dikenal sebagai warga Baduy. Menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam dengan kereta ke Stasiun Rangkas Bitung, sekitar 3 jam perjalanan masih kembali harus kami tempuh dengan menggunakan mobil sewaan ke titik awal perjalan kami di Cijahe (luar baduy).
Disambut ramah oleh warga Baduy Dalam yang memang sudah menunggu kedatangan rombongan, kami bersiap trekking dengan rute masuk Cijahe yakni luar Baduy – Baduy Luar – Baduy dalam. “Paling sekitar 60 menit kita sudah sampai tujuan akhir (perkampungan Baduy Dalam)”, ujar ketua rombongan saat saya bertanya berapa lama perjalanan akan ditempuh.
Setelah beristirahat sejenak (sholat, makan siang, dsb), kami mengawali langka-langkah kaki ini dengan riang gembira. Berdoa bersama, briefing tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama perjalanan, selama berada di kawasan Baduy luar atau Baduy dalam, dicermati dengan baik oleh setiap peserta kunjungan wisata yang sekitar 20 orang.
Oh iya karena sejak awal saya sudah tahu akan ditemani oleh warga Baduy Dalam, maka mereka juga menawarkan jasa untuk membawa barang-barang wisatawan yang akan berkunjung. Ini merupakan salah satu cara mereka untuk mendapatkan tambahan penghasilan, 50 ribu untuk perjalanan pulang – pergi.
Jumlah yang tidak banyak, apalagi kalau harus dibandingkan dengan sekali jajan di mall dengan mengendong bawaan di rute yang terkadang tidak ramah bagi pengunjung. “Bapak mau bawa tas saya, berapa tarifnya?”, tanya saya kepada Pak Yaldi warga Baduy dalam yang belum kebagian ‘jatah’ membawakan tas pengunjung. Dengan ramah dan tersenyum Pak Yaldi menjawab “Serelanya aja neng, bapak bawa ya tas-nya”. Pak Yaldi tidak lagi muda, guratan dan lipatan sudah tampak di wajahnya, sebagian rambut mulai dihiasi selembar atau 2 lembar yang berwarna putih. Ada juga Darwan, warga baduy dalam yang berusia 5 tahun (kalau saya tidak salah), dengan kulit putih bersih, yang juga membawakan tas salah satu rombongan kami.
[caption caption="warga Baduy dalam berfoto bersama pengunjung"]
Menempuh perjalanan selama kisaran waktu seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, dengan rute yang cukup merepotkan bagi mereka yang baru pertama kali berkunjung, seperti berbatu, berlumpur, melewati jembatan gantung, melewati sungai dengan air yang lagi tidak tinggi, akhirnya kami tiba di kawasan Baduy dalam. Melewati kawasan Baduy luar terlebih dahulu, kami masih bisa menggunakan alat elektronik seperti handphone, kamera.
Namun, setibanya di perbatasan antara Baduy luar dan Baduy dalam, kami sudah diingatkan untuk mematikan semua alat elektronik yang dimiliki tanpa terkecuali. “Hal itu sudah sesuai dengan tatanan adat yang berlaku, yang selama ini dijunjung oleh masyarakat Baduy dalam”, jawaban yang diberikan saat pertanyaan mengapa terlontar atas hal terkait. Di kawasan Baduy dalam juga tidak boleh menggunakan bahan kimia saat mandi, menggosok gigi, buang air, mencuci baju dan peralatan lain. Sebuah bentuk kearifan lokal tatanan masyarakat yang masih dipertahankan sampai sekarang, dan pendatang atau wisatawan diharapkan menghormati hal itu.
Kang Asmin atau yang sekarang lebih dikenal dengan panggilan Ayah Rayti, pimpinan rombongan dari warga asli Baduy Dalam, dengan ramah menyambut kami. Kesan suram, mistis, kuno, primitif, dsb seperti yang saya pernah dengar tentang Baduy, sama sekali tidak dirasakan. Mereka murah senyum, tidak ada kesan negatif yang ditimbulkan seperi cerita yang beredar di luaran sana. “Katanya sih mistis, katanya sih seram”, yang teman-teman saya bilang saat mereka tahu saya akan menghabiskan waktu sepanjang minggu bersama Baduy dalam.