Mohon tunggu...
Selvi Anggrainy
Selvi Anggrainy Mohon Tunggu... Produser -

#IAMUNITED | a Writer who loves to Read and Watch | journalist as in passion| in love with Photography and Travelling | Chocoholic | Coffee and Tea Addict | Food Lover | great Thinker :) http://selvianggrainy.tumblr.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selayang Pandang Masyarakat Baduy, Eksistensi di Tengah Arus Modernitas

3 April 2016   17:38 Diperbarui: 4 April 2016   15:31 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Berasama Ayah Mursyid, sang tokoh muda adat Baduy Dalam"][/caption] 

~

“Apalah arti sebuah nama?”, ujar sastrawan terbesar asal Inggris pada jamannya, William Shakespeare. Sekarang bayangkan anda berdiri tanpa identitas yang (belum) diakui.

~

Ayah Mursyid, begitu dia dipanggil dengan nama anak laki-lakinya. Begitu pula kebiasaan masyarakat Baduy, yang kerap menyebut nama seseorang setelah statusnya, dengan nama anak-anak mereka. Perbincangan dengan Ayah Mursyid siang itu membuka mata penulis, tentang mereka yang tak pernah mendapat banyak mata dari sekeliling. Tentang mereka yang terhimpit aturan-aturan resmi pemerintah, lantaran bukan itu yang mereka percayai. Tentang mereka yang bertahan dalam sebuah tatanan hukum adat, di tengah arus modernitas yang terjadi, dan terus berkembang. Kalau penulis tanyakan kepada rekan penulis siapa sih ayah Mursyid itu, dengan ringan rekan seperjalanan penulis menjawab “PR (public relations)nya Baduy lah”. Ketertarikan akan segala sesuatu memang bisa datang dari mana saja, termasuk mengikuti perbincangan atau wawancara rekan jurnalis penulis dengan ayah Mursyid. Ayah Mursyid yang katanya termasuk agak susah ditemui, membuat keingintahuan penulis bertambah, well sedikit banyak merasa bangga bisa bertemu dengan beliau yang memiliki kharisma yang tidak bisa terungkap melalui sekedar kata yang tertuang.

Seberapa banyak kita mengenal kebudayaan lokal yang ada di sekitar lokal? Masyarakat Baduy hanya merupakan salah satunya. Baduy diketahui sebagai nama gunung dan nama sungai, di kawasan Kanekes, pada akhirnya menjadi sebuah sebutan yang lebih akrab di telinga. Warga Baduy sendiri mengaku sebenarnya adalah “Urang Kanekes” (orang Kanekes), dan lebih suka disebut seperti itu, namun biarlah kali kita tak berpolemik antara penyebutan Baduy atau Kanekes. Perlu ahli bahasa atau bahkan sejarah apabila ingin dibahas lebih lanjut. Masyarakat Baduy sendiri yang merupakan kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda, yang secara geografis terletak di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Jumlah penduduk Baduy sendiri berdasarkan sensus tahun 2014, mencapai 11.620 orang, hampir 1400 diantaranya merupakan penduduk Baduy dalam. Jumlah yang cukup banyak, dan tak pernah menyangka bahwa masyarakat Baduy yang katanya terkenal ‘menutup diri’ itu, bisa mencapai jumlah belasan ribu. Aahh, itu hanya karena jarangnya masyarakat kota melihat warga Baduy berkeliaran, dan bahkan tidak sedikit yang tidak mau datang dan berkunjung melihat keadaan tetangga di Banten itu.

Ayah Mursyid yang masih tampak gagah dan penuh wibawa (penuh pesona kalau kata rekan penulis yang mewawancarai beliau), bercerita masyarakat Baduy bermatapencaharian dengan berladang maupun bertani, mulai dari padi, talas, mentimun, duren, pete, dan sebagainya. Ooh iya, sebagai seorang yang tidak menggemari buah Duren sama sekali, akhirnya penulis memutuskan untuk menikmati buah Durian hasil ladang warga Baduy. Kenapa? Mengapa? Kok bisa pada akhirnya?, semua pertanyaan terlontar oleh orang-orang yang mengenal penulis saat itu. “Supaya bisa merasakan buah durian di musim durian saat berada di baduy dalam”, jawaban singkat penulis atas mata-mata yang memandang heran, jawaban itu juga terinspirasi kakak-kakak rekan seperjalanan penulis. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan dengan menjual kerajinan anyaman, atau mengumpulkan madu hutan. Baduy dalam menjual hasil kerajinan mereka dengan berjalan kaki ke kota, untuk harga yang tidak mahal. 15 - 100 ribu rupiah untuk tas anyaman, atau sebotol madu hutan yang dijual dengan kisaran harga yang sama. Murah bukan?

 

[caption caption="salah satu perkampungan Baduy Luar"]

[/caption]

 

Kehidupan mereka bukan tanpa masalah berarti, mereka juga bukan tidak pernah mengkhawatirkan eksistensi mereka sebagai penduduk yang menempati tanah adat. Ayah mursyid mengungkapkan keinginanannya untuk memajukan warga Baduy, memajukan yang sesuai dengan tatanan adat oleh lembaga adat mereka. Di kawasan Baduy dalam terdapat 3 kampung yakni Cibeo, Cikesik, Cikertawarna, dan jumlah kampung itu tidak boleh bertambah meski jumlah penduduk Baduy bertambah. Meski demikian penambahan rumah di ketiga kampung kawasan Baduy dalam itu masih diijinkan. Tidak ada sistem kepemilikan tanah, pembagian blok hanya berdasarkan kampung saja, dan terkait penambahan jumlah rumah harus musyawarah dengan tetua kampung. Penambahan rumah juga tidak boleh dilakukan sembarangan, nantinya puun (pimpinan adat) akan menentukan tanggal, hari, yang dinilai sesuai dengan adat. Sementara itu untuk kawasan Baduy luar pertumbuhan penduduk terjadi lebih cepat, dan tidak ada lembaga adat yang membatasi jumlah kampung. Pertambahan penduduk Baduy luar juga lebih cepat, lantaran banyak warga Baduy dalam yang memutuskan tinggal di kawasan Baduy luar, mulai dari karena alasan menikah atau menginginkan sedikit kebebasan seperti yang tidak didapatkan sebelumnya.

Dengan sedikit banyaknya “keistimewaan” yang dimiliki oleh warga Baduy luar, memang tidak jarang warga Baduy dalam ingin berhijrah. Namun Ayah Mursyid mengaku, tidak ada kekhawatiran akan terus berkurangnya penduduk di Baduy dalam, meski hingga saat ini belum ada lembaga adat yang mengatur hal terkait secara khusus. Menjalankan tata aturan Baduy dalam memang lebih berat, apabila sudah tidak sanggup, mereka memutuskan untuk keluar dari 3 kampung di Baduy dalam. Lembaga adat diketahui memang mencegah adanya warga Baduy dalam ke luar, adat menghimbau warga untuk memenuhi aturan adat. Apabila ada warga yang keluar, di situ hukum adat ditegakkan. Pada dasarnya lembaga adat menjalankan aturan sebatas tatanan hukum adat, dan setiap warga Baduy sudah seharusnya menghormati, menjalani, dan mematuhi. Lebih lanjut ungkap Ayah Mursyid, beliau juga tidak khawatir ada warga yang akhirnya memutuskan keluar dari Baduy, lagi-lagi lantaran ada aturan yang mengatur. Lembaga adat Baduy dalam dan luar memang berbeda, ciri dan kebiasaan mereka juga berbeda, bisa dilihat dari sejumlah tata cara hidup, penggunaan berbagai macam fasilitas, dan sebagainya, namun masih satu kesatuan.

Lembaga adat bagi masyarakat Baduy ini, seperti pemerintah yang mengatur jalannya suatu kehidupan bermasyarakat di suatu daerah. Tatanan Hukum Adat menjadi suatu yang dijunjung oleh masyarakat Baduy, mereka tidak menolak apabila ada perubahan. Lembaga adat akan mempertimbangkan sejauh mana perubahan yang masih mungkin dilakukan, atau aturan mana yang dipertegas. Perubahan yang terjadi juga sudah ada seperti akses ke kawasan Baduy yang dahulu terbilang lebih susah, dan sudah jadi kawasan wisata. Sebagai desa wisata, Baduy juga jangan disamakan dengan tempat wisata lainnya. Mengingat aada pengaturan, tata cara yang harus dihormati, dan yang terpenting menghargai lingkungan. Perubahan sekali lagi harus sesuai dengan tatanan hukum adat, disesuaikan mana yang diterima atau tidak. Hal itu ditegaskan kembali oleh Ayah Mursyid, mengingat tidak sekali atau dua kali pemerintah membujuk warga Baduy terkait perubahan, namun mereka menegaskan kalau apa yang ditawarkan pemerintah seperti fasilitas listrik, pendidikan formal, atau penggunaan alat transportasi, memang tidak sesuai dengan tatanan hukum adat. Tapi bukan berarti mereka menolak mentah-mentah kemajuan jaman, berbincang dengan warga Baduy lainnya, penulis mengetahui bahwa mereka (warga Baduy dalam) juga pernah menikmati menonton TV, menggunakan HP, menikmati aliran listrik sebagaimana mestinya.

 

[caption caption="tiba di Kampung Gajeboh, setelah menempuh perjalanan dari Baduy Dalam"]

[/caption]

 

Perubahan apalagi yang seharusnya ada sehingga bisa memajukan warga Baduy? Pendidikan itu pasti. Pemerintah sudah tak terhitung menawarkan pendidikan formal kepada warga atau anak-anak Baduy. Bagi masyarakat yang terbentuk dengan tatanan hukum adat, belajar (istilah yang digunakan mereka menggantikan kata sekolah) saja sudah cukup, sekolah puun (belajar kepada pimpinan adat atau adat) istilahnya, sudah merupakan hal yang sama dengan sekolah. Menyesuaikan dengan aturan-aturan adat yang berlaku, anak-anak Baduy tetap belajar dari lingkungan. Mereka tak terbentur oleh jadwal dan jenjang SD, SMP, SMA, dan seterusnya. Proses belajar sesuai dengan aturan adat. Tatanan hukum adat, yang masih menjadi pegangan bagi seluruh masyarakat Baduy, namun berarti. Bahkan mereka tak perlu menempuh pendidikan formal untuk mengetahui bahwa tak ada gunanya mereka bertikai antar sesama, bahwa apabila ada pertikaian, diselesaikan dalam waktu 1 – 2 jam saja, karena itu tidak berguna. Setidaknya itu pelajaran yang lagi-lagi penulis dapat dari Pak Ralim, warga Baduy dalam lainnya.

Hidup dan berkembang mengikuti tatanan hukum adat, bukan tanpa masalah. Mereka mengungkapkan keinginan mereka, kepada siapa lagi kalau bukan pemerintah. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat tentunya. Penulis kembali dibawa oleh Ayah Mursyid tokoh muda adat Baduy, ke dalam sebuah impiannya untuk memajukan masyarakat Baduy. Dalam perayaan 17 Agustus tahun lalu, ternyata Ayah Mursyid bersama sejumlah warga Baduy lainnya sempat mengikuti upacara di Istana Negara. Bersama rombongan Ayah Mursyid mengucapkan selamat atas “agustusan”, dan berharap bisa bertemu dan bersilahturahmi langsung dengan presiden Jokowi. Namun impian ayah Mursyid belum bisa terwujud kali itu. Padahal sejumlah hal ingin diungkapkan Ayah Mursyid langsung kepada presiden, semua terkait dengan kebutuhan, seperti identitas, peningkatan taraf hidup masyarakat, dan pemberdayaan lahan.

Lahan kawasan tinggal masyarakat Baduy kini menjadi permasalahan pelik, mereka hanya memiliki 5136 hektar yang 3500 hektar diantaranya merupakan hutan lindung. Dengan jumlah itu praktis hanya sekitar 30 persen lahan yang bisa dibudidayakan oleh masyarakat Baduy. Kebutuhan lahan memang menjadi mendesak bagi warga Baduy lantaran setiap mereka yang sudah berkeluarga wajib memiliki rumah. Dulu 1 hektar bisa untuk 1 orang, namun semakin banyaknya jumlah penduduk hal itu sudah semakin tidak memungkinkan. Padahal pemberdayaan lahan dengan bercocok tanam, digunakan warga Baduy untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hidup, bekerja, dan bergantung pada alam. Mereka berharap pemerintah mau mengembangkan lahan untuk masyarakat Baduy, dan warga bisa bercocok tanam. Sederhana, sesederhana apa yang mereka lakukan untuk alam dan menjaga alam. Terkait pengembangan lahan, warga luar Baduy sudah pernah ada yang menawarkan, tapi semua itu tetap kembali lagi ke pemerintah dengan segala pertimbangan yang penulis belum tahu. Mereka masih menunggu kebijakan pemerintah.

Permintaan atau mungkin lebih tepat apabila penulis katakan keinginan masyarakat Baduy tidak hanya itu saja, salah satu yang mereka ingin perjuangkan sampai sekarang adalah diakuinya agama mereka yakni Sunda Wiwitan, dan bisa masuk ke dalam kolom KTP. Sebagian dari masyarakat Baduy sudah memiliki KTP, namun tidak memaksa siapapun yang belum memiliki KTP untuk segera punya. Kekecewaan mereka terkait kosongnya kolom agama di KTP, ini merupakan sebuah ketidakadilan, mengingat beragama adalah hak paling dasar. Kalau memang tidak diperbolehkan penulisan Sunda Wiwitan dalam kolom agama, bagi masyarakat Baduy yang memiliki KTP, lebih baik dihapuskan saja kolom agama itu. Adil bagi masyarakat Baduy ya seperti itu. Sebagian masyarakat Baduy yang memiliki KTP, merasa senang dan bagi mereka itu sebuah pegangan dan tanda bahwa mereka diakui, mereka merasa dianggap ‘jelas’.  Sederhana, sesederhana ingin diakui oleh pemerintah apa yang mereka anut dan percayai itu. Bepergian membawa KTP membuat masyarakat Baduy diakui, tapi tetap saja seperti ada sesuatu yang hilang.

Bagi penulis masyarakat Baduy itu istimewa, seperti keistimewaan lainnya yang banyak dimiliki mereka.  Seperti keistimewaan hak pilih atau hak coblos pemimpin daerah yang mereka sandang, dengan atau tanpa KTP.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun