Mohon tunggu...
Selviana Willhelmina Kue
Selviana Willhelmina Kue Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya sangat suka membaca atau mendengarkan argumen seseorang, terutama dalam bidang pendidikan dan sosial. Argumen tersebut membuat saya bisa melihat dunia lebih luas lagi. Semoga tulisan yang saya rangkai ini dapat memberikan makna di setiap katanya. Mohon maaf jika terdapat kekurangan ataupun kesalahan dalam penulisan. Jika ada saran maupun kritik terhadap penulisan, saya akan menerimanya dengan senang hati untuk membuat karya ini menjadi lebih baik lagi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relevansi Psikologi Pendidikan terhadap Perkembangan Peserta Didik

18 Desember 2022   21:39 Diperbarui: 18 Desember 2022   21:41 1350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dasarnya, belajar merupakan hak dan kewajiban setiap manusia sepanjang hidupnya (long life education), tidak mengenal usia baik itu anak-anak, remaja, dan orang tua, semuanya memiliki kesempatan yang sama. Proses pendidikan berlangsung selama seumur hidup karena dalam setiap tahapan manusia pasti akan memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan sebuah pembelajaran, baik itu di lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. Negara Indonesia bahkan menjamin setiap individu untuk dapat belajar atau memperoleh pendidikan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bab XIII, Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.” Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk meningkatkan potensi dan kualitas yang diperlukan dirinya serta masyarakat. Secara sederhananya, pendidikan merupakan sebuah proses pendewasaan atau memanusiakan manusia (humanisasi).

Sejak kecil, seseorang sudah diberikan pendidikan di dalam lingkungan keluarganya dengan bentuk yang beragam berupa pembelajaran sederhana dari orang tua. Pembelajaran yang diberikan tersebut mungkin juga tidak disengaja, misalnya ketika proses anak merekam bahasa dari kata “ayah” serta “ibu” ataupun ketika orang tua mengulang-ulang nama panggilan anaknya hingga akhirnya anak balita tersebut mengenali namanya sendiri. Menurut The Conversation (2016), semenjak masih di dalam kandungan seorang bayi bahkan sudah dapat mulai belajar bahasa. Selain itu, bayi yang berumur 11 bulan juga mempunyai sebuah kemampuan otak untuk dapat belajar dua bahasa sekaligus. Kemampuan serta kemauan belajar setiap orang sudah ada sejak kecil, namun tingkatan setiap anak berbeda. Perbedaan tersebut adalah salah satu contoh dari keberagaman karakteristik peserta didik yang ditemui ketika seorang pendidik mengajar di sekolah.

Setiap peserta didik tersebut lahir dari keluarga yang memberikan dampak psikologis yang kuat terhadap perkembangannya (inner child). Hal tersebut disebabkan karena pola pendidikan yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak. Dalam ilmu psikologi, terdapat tiga pola pendidikan, yaitu otoriter, permisif, dan demokratis. Pola pendidikan otoriter selalu menempatkan orang tua dan guru  sebagai seorang manajer yang perintahnya mau tidak mau harus diikuti. Sebaliknya, terdapat pola pendidikan permisif yang membiarkan kepercayaan sepenuhnya terhadap anak. Terakhir, pola pendidikan demokratis yang cenderung untuk dapat berdiskusi atau berdialog antara anak dengan orang tua. Ketiga pola pendidikan tersebut benar untuk diterapkan kepada anak tergantung bagaimana situasi dan kondisinya.

Namun, apa yang menjadi akar dari permasalahan dalam dunia pendidikan saat ini? Salah satu akar dari permasalahan tersebut yaitu tidak sedikit orang tua serta guru menjadikan anak atau peserta didik sebagai objek untuk bagaimana dapat menjadi sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Hal tersebut adalah sebuah kesalahan besar yang banyak dialami dalam perkembangan peserta didik, tanpa melihat dari sisi terdalam psikologisnya. Bahkan, kehidupan peserta didik saat ini sebenarnya merupakan hasil buah dari konstruksi atau bangunan kehidupan di masa lalu. Sebagai contoh, di dalam suatu kelas terdapat seorang peserta didik yang pemalu dan tidak percaya diri. Perilaku tersebut dapat dilatarbelakangi oleh pengalaman masa lalu yang dialami olehnya, begitupun sebaliknya dengan sosok peserta didik yang pemberani, dapat menginspirasi, dan sebagainya. Adanya sebuah perbedaan karakteristik peserta didik tersebut membuat guru tidak dapat mengajar dengan pendekatan yang sama kepada setiap peserta didik. Seorang guru pun harus dapat menyesuaikan pendekatan mengajar dan mendidiknya agar setiap peserta didik dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar secara optimal.

Permasalahan-permasalahan dalam bidang pendidikan tersebut tidak akan terlepas dari pengaruh ilmu psikologi di dalamnya. Hal tersebut disebabkan karena psikologi memiliki peran penting dalam mengkaji perilaku dan mental peserta didik sebagai subjek dalam pendidikan. Asrori (2020) menyatakan bahwa psikologi pendidikan akan memengaruhi perkembangan derajat pengetahuan bagi peserta didik, sehingga setiap peserta didik dapat mengembangkan diri secara maksimal ditunjang dengan lingkungan yang mendukung dalam setiap proses pembelajaran. Oleh karena itu, keberadaannya sebagai disiplin ilmu penopang, perlu mendapatkan perhatian dari seluruh pihak yang turut terlibat aktif dalam proses pelaksanaan pendidikan tersebut. Hal itulah yang menjadi pokok dari ilmu psikologi sendiri untuk menjawab setiap permasalahan pendidikan, ditinjau dalam sudut pandang mental dan perilaku peserta didik.

Psikologi dalam dunia pendidikan sendiri memberikan sebuah pemahaman kepada setiap individu agar dapat menyelamatkan jiwa peserta didik, terutama jiwa yang paling penting, yaitu dirinya sendiri. Pada kenyataannya, kemampuan dan pemahaman antara peserta didik satu dengan lainnya berbeda, sehingga orang tua ataupun pendidik tidak dapat memaksakan kehendak setiap peserta didik dengan apa yang mereka inginkan. Pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan oleh orang tua bahkan pendidik sekalipun dapat menghambat perkembangan psikologis peserta didik menjadi pribadi yang mempunyai jati diri. Sosok guru sebagai pendidik dibutuhkan untuk dapat mendampingi para peserta didik agar mereka mampu mengenal sifat dan karakternya selama proses pendewasaan berlangsung. Seorang guru juga perlu memahami kapasitas dan kondisi masing-masing peserta didiknya supaya dapat menyusun rencana pembelajaran yang sesuai untuk diterapkan dalam proses kegiatan belajar mengajar.

Sejatinya, sistem pendidikan di Indonesia saat ini sangat memerlukan pemahaman tentang psikologi agar mempunyai sebuah pondasi dalam proses pelaksanaannya. Akan tetapi, menurut laporan penelitian yang dilakukan oleh Sokip (2019), terdapat perbedaan yang cukup signifikan di antara penddik yang belum pernah mempelajari psikologi pendidikan dan yang sudah. Seorang pendidik yang belum memahami psikologi pendidikan tersebut akan cenderung mengajar menggunakan metode pengajaran tradisional yang didapatkannya dahulu. Hal tersebut memiliki dampak terhadap cara seorang pendidik dalam menangani keberagaman karakter peserta didik yang akan sangat terbatas. Psikologi pendidikan ini perlu diperhatikan guna mewujudkan proses kegiatan belajar mengajar yang tidak terbatas dengan satu metode ataupun teknik, melainkan sangat terbuka untuk adanya penyesuaian terhadap suatu kebutuhan dan situasi. Pendidik harus dapat mencari cara atau metode belajar apa yang tepat untuk dapat diterapkan agar peserta didik juga merasa nyaman dan semangat dalam proses kegiatan belajar mengajar. Pendidik juga harus mengkaji bagaimana pelaksanaan dalam ruang lingkup pendidikan dapat berorientasi pada perkembangan setiap anak, sehingga kegiatan belajar mengajar yang berlandaskan psikologi pendidikan tersebut dalam setiap proses belajarnya lebih mengedepankan mental peserta didik yang akan mendapat pembinaan untuk menjadi manusia seutuhnya, yakni manusia yang lahir dan batinnya seimbang antara pengetahuan dengan sikapnya, kemudian diimplementasikan dalam sebuah keterampilan (Yuliawati, 2008).

Keberhasilan dalam dunia pendidikan dapat ditandai dengan terjadinya proses belajar, dimana semula peserta didik tidak tahu menjadi tahu akan suatu hal. Dalam perkembangan peserta didik, seorang pendidik menyadari bahwa setiap peserta didik perlu mengalami perpindahan dari tahap intermental ke intramental, yaitu dari tahap dibimbing orang lain menuju mandiri. Oleh karena itu, seorang pendidik perlu mewujudkan suasana pembelajaran yang kondusif supaya peserta didik dapat sampai pada tahap tersebut. Bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan memberikan Pekerjaan Rumah (PR) yang dapat membantu peserta didik dalam mengulang-ulang materi yang didapatkan di sekolah secara aktif sampai memahaminya dengan optimal. Jenisnya pun harus diperhatikan oleh pendidik, misalnya menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang memacu peserta didik untuk menuangkan ide secara imajinatif serta kreatif. Kemudian, peserta didik dapat diberikan kesempatan untuk menuangkan idenya di depan kelas.

Abraham Maslow dalam Sumantri (2019) mengemukakan bahwa dalam landasan psikologi, aktualisasi diri menjadi bagian terunggul dari manusia sebagai motivasi belajar dalam melaksanakan proses pembelajaran, begitu pun menjalani kehidupan sehari-hari. Hal tersebut memberikan pengetahuan terhadap dasar-dasar psikologi peserta didik, baik itu berkaitan dengan pemahaman maupun perkembangan psikologi. Jika seorang pendidik mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, pendidik akan dapat memahami bagaimana peran dirinya dalam meningkatkan sebuah kualitas pendidikan, tanpa melupakan perkembangan psikologis peserta didiknya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Sukmadinata (2019) yang menyatakan bahwa seorang pendidik adalah tokoh yang sentral dan utama yang perannya tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan sebagai fasilitator yang menyediakan suasana belajar menyenangkan sekaligus mampu memahami eksistensi serta potensi peserta didik dalam proses pembelajaran. Di sanalah akhir tujuan pendidikan, yakni melakukan  suatu proses humanisasi atau memanusiakan manusia yang berujung pada proses pembebasan.

Tidak hanya itu, dalam dunia pendidikan nasional setiap pelaksanaannya pula harus selalu terikat dengan nilai dan etika yang didasarkan pada budaya luhur bangsa Indonesia sendiri agar memberikan makna dan manfaat bagi kehidupan umat manusia, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan dalam segala aspek kehidupan itu sendiri. Dalam proses pembelajaran, peran pemerintah sebagai perancang kurikulum serta guru sebagai pelaksana diharapkan untuk selalu mengedepankan adab dan moral agar peserta didik mampu menerima dan menghargai individu lain, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, dan sebagainya. Pendidikan tersebut yang nantinya akan membentuk karakter peserta didik. Jika ada yang ingin menghancurkan suatu bangsa, maka ia dapat menghancurkan manusia lewat pendidikan. Hal tersebut dikarenakan salah satu alasan manusia dapat terbentuk "manusia" adalah lewat pendidikan yang ditempuhnya. Saat ini, banyak sekali manusia yang berilmu tetapi tidak memiliki adab dan moral. Bagaimana suatu negara dapat dikatakan maju jika masyarakat di dalamnya hanya mementingkan nilai pengetahuan dibandingkan dengan nilai adab dan moral? Manusia yang mementingkan nilai adab dan moral selalu sadar dan mengetahui siapa dirinya.

Adanya psikologi dalam dunia pendidikan ini, setiap peserta didik diharapkan untuk tidak membangun alasan serta menyalahkan orang tua atau guru. Hal tersebut dikarenakan orang tua maupun guru sudah melakukan versi terbaik mereka walaupun dengan keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Mereka akan selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun, setiap orang tua maupun guru juga harus dapat mengerti dan memahami keadaan jiwa setiap peserta didik agar melalui pemahaman tersebut orang tua ataupun guru dapat mengukur kemampuan dan tingkat pemahaman supaya setiap pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Oleh sebab itulah, maka ilmu psikologi harus benar-benar dipahami dan oleh para guru, sehingga mampu menerapkan metode dan media pengajaran yang tepat sebab pendidikan  hanya  dapat berjalan efektif apabila dapat menjawab dan memenuhi kebutuhan psikologi peserta didik. Hal tersebut sejalan bahwa guru harus memenuhi ukuran kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya, sehingga peserta didik dapat mencapai ukuran pendidikan yang tinggi (Mukhtar, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Asrori. 2020. Psikologi Pendidikan Pendekatan Multidispliner. Jawa Tengah: CV. Pena Persada.

Herlambang, Yusuf., Wahid, Rahman., & Solahudin, Nizan., 2021. Landasan Pendidikan: Sebuah Tinjauan Multiperspektif Dasar Esensial Pendidikan Indonesia. Bandung: Yayasan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Multiliterasi.

Ramirez, N. F. 2016. Why the Baby Brain Can Learn Two Languages at the Same Time. The Conversation, 15.

Sanjaya, Reynata. 2022. Perbedaan Teori Nativisme, Empirisme & Konvergensi dalam Pendidikan.Tirto ID. Dapat diakses melalui https://tirto.id/perbedaan-teori-nativisme-empirisme-konvergensi-dalam-pendidikan-gtAN

Sokip. 2019. The Importance of Educational Psychology for Teachers.

Sukmadinata, N. S. 2019. Landasan Psikologi Proses Pendidikan.

Sumantri, B. A., & Ahmad, N. 2019. Teori Belajar humanistik dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Fondatia, 3(2), 1-18.

Sumantri, M. S., & MSM, P. 2015. Hakikat Manusia dan Pendidikan.

Yamin, Mukhtar Martins. 2005. Metode Pembelajaran Yang Berhasil. Jakarta: Nimas Multimas.

Yuliawati, L. 2008. Pentingnya Landasan Piskologis dalam Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. 5 (1). 99-112.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun