Jangan sampai hal seperti ini terjadi pada manusia. Masa di mana anak seharusnya menikmati masa bermain, tetapi sudah harus berumahtangga hanya karena sebuah kesalahan.
Saat ini, anak usia SD kelas 4 atau 5 mungkin sudah ada rasa tertarik dengan lawan jenis. Namun, bukan berarti dia sedang benar-benar jatuh cinta. Ada hormon yang memengaruhi dalam masa pertumbuhannya.
Di masa SD atau SMP, Â merasa tertarik pada lawan jenis bisa terjadi dengan orang yang berbeda-beda. Tidak heran ada istilah "Cinta Monyet" untuk menyikapi peritiwa tersebut.Â
Apa jadinya jika anak sedang jatuh cinta dan langsung dinikahkan? Wah, pasti banyak sekali ditemukan pernikahan di usia dini.
Pemerintah juga mengesahkan batas tentang usia perkawinan. Berdasarkan UU Nomor 16 tahun 2019 (perubahan atas UU Nomor 1 tahun 1974), batas usia minim perkawinan adalah 19 tahun. Melalui hal ini, diharapkan kehidupan pernikahan lebih sehat dan layak.
Ada empat hal yang menjadi pendorong adanya pernikahan usia dini di Indonesia, yaitu:
1. Pergaulan
Usia remaja memiliki jiwa yang labil dan seringkali mengalami penyesalan akibat memiliki pikiran sesaat. Bergaul dengan teman kadangkala dianggap lebih menyenangkan jika dibandingkan bercengkerama dengan orang tua.
Kenyamanan dengan teman memberikan peluang untuk kompak. Jika salah pergaulan, bisa-bisa terseret dalam keadaan yang tidak menyenangkan, misalnya kehamilan di luar nikah. Demi menutup malu, akhirnya dinikahkan walaupun belum cukup umur.Â
2. Faktor Ekonomi
Kondisi pada keluarga yang ekonominya kurang kadangkala menjadi pendorong untuk segera menikahkan anak. Hal ini biasanya terjadi pada anak perempuan.
Anak perempuan yang telah menikah, dianggap sudah menjadi tanggung jawab suami. Lebih bersyukur lagi jika suaminya orang berduit dan mampu membantu ekonomi orang tua.
Nah, ironisnya jika anak dinikahkan di usia dini demi dapat membayar hutang orang tua. Ternyata hal ini masih terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Fisik dan mental anak belum tentu siap di usia pernikahan tersebut.