Di tengah turbulensi ekonomi yang semakin intens, kenaikan harga barang pokok menjadi persoalan yang menghimpit kehidupan banyak keluarga, khususnya mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Lonjakan harga yang terjadi pada berbagai komoditas vital seperti beras, minyak goreng, gas elpiji, dan bahan bakar bukan hanya sekadar angka yang tercatat di pasar, tetapi juga sebuah tantangan nyata yang semakin memperburuk kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat miskin. Bagi mereka yang bergantung pada penghasilan harian atau sektor pekerjaan informal, kenaikan harga ini sangat membebani dan mengancam daya beli yang sudah terbatas.
Dampak Kenaikan Harga terhadap Kehidupan Masyarakat Miskin
Kenaikan harga barang pokok dapat dipandang sebagai lonjakan biaya hidup yang luar biasa. Misalnya, beras premium yang harganya sempat menembus Rp 14.000 per kilogram, atau minyak goreng yang harga literannya melonjak hingga lebih dari Rp 14.000. Bagi masyarakat miskin, harga-harga tersebut tidak hanya sekadar angka, tetapi beban berat yang harus ditanggung. Kehidupan sehari-hari mereka pun terpaksa mengurangi kebutuhan pokok lainnya, seperti kesehatan dan pendidikan, demi memenuhi kebutuhan dasar pangan.
Selain menggerus daya beli, kenaikan harga pangan juga berpotensi mengancam ketahanan gizi masyarakat miskin. Ketika harga bahan pangan bergizi seperti sayur-sayuran, daging, dan ikan melambung, banyak keluarga miskin yang terpaksa menggantinya dengan makanan yang lebih murah dan kurang bernutrisi. Dampaknya, masalah kesehatan jangka panjang dapat muncul, mulai dari gangguan gizi hingga penurunan kualitas hidup secara keseluruhan.
Strategi Bertahan Masyarakat Miskin di Tengah Krisis Ekonomi
Meskipun terperangkap dalam kondisi yang sulit, masyarakat miskin Indonesia telah menunjukkan ketahanan luar biasa. Beragam strategi bertahan hidup pun diterapkan. Banyak yang memilih untuk bekerja di sektor informal, seperti menjadi pedagang kaki lima, tukang ojek online, atau membuka usaha kecil-kecilan dari rumah. Meski demikian, kendala utama tetap pada pendapatan yang tidak tetap dan sulitnya menjangkau kebutuhan dasar yang semakin mahal.
Selain itu, banyak keluarga miskin yang mengurangi konsumsi pangan mereka, mengganti makanan bergizi dengan bahan yang lebih murah. Namun, pengorbanan ini tidak tanpa risiko. Meskipun dapat bertahan dalam jangka pendek, di sisi lain hal ini memperburuk kondisi kesehatan mereka. Bagi anak-anak yang tumbuh dalam keluarga miskin, kurangnya asupan gizi dapat menghambat perkembangan fisik dan kognitif mereka, mengurangi peluang mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan di masa depan.
Peran Bantuan Sosial Pemerintah dalam Mengurangi Beban Masyarakat Miskin
Dalam menghadapi krisis ini, bantuan sosial dari pemerintah menjadi salah satu strategi yang diharapkan dapat meringankan beban masyarakat miskin. Program-program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan subsidi pangan memang memberikan sedikit kelegaan. Namun, jumlahnya sering kali tidak cukup untuk mengatasi dampak kenaikan harga yang berkelanjutan.
Misalnya, meskipun program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dan subsidi energi membantu meringankan biaya hidup keluarga miskin, fakta menunjukkan bahwa masih banyak keluarga yang tidak terjangkau oleh bantuan ini karena ketidakmerataan distribusi atau kesalahan pendataan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan Indonesia pada Maret 2023 masih berada di angka 9,57%, yang berarti lebih dari 26 juta orang hidup dalam kondisi miskin. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun bantuan sosial sudah disalurkan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bantuan tepat sasaran dan mencakup seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan.
Solusi dan Kebijakan yang Diperlukan untuk Mengurangi Dampak Krisis