Mohon tunggu...
Selvia Parwati Putri
Selvia Parwati Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tiada ragu meninggalkan kata; di sana terbingkai kita ada.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Eksistensi Bahasa Persatuan: Bersemayam di Tenggorokan

9 Desember 2020   20:35 Diperbarui: 11 Desember 2020   08:31 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dibuat pada aplikasi Canva.

Masih banyak pemuda Indonesia yang menyelipkan bahasa asing atau istilah asing dalam percakapan sehari-harinya. Ada yang menyelipkan bahasa Jerman, Inggris, singkatan istilah asing, bahasa daerah, dan lain sebagainya. Bahkan ada juga yang menggunakan istilah “kasar” seperti kata bacot yang berkonotasi negatif yang dengan mudahnya dia ucapkan. Sebagaimana terlampir data berikut:

Kuesioner yang saya buat perihal
Kuesioner yang saya buat perihal "Pemakaian bahasa Indonesia dalam Kehidupan Sehari-hari" dengan sasaran generasi muda.

Sadarkah bahwa kita hampir saja kehilangan penuh jati diri sebagai warga negara Indonesia? Itu baru bahasanya saja yang dikesampingkan, bagaimana kalau budayanya juga? Miris bukan? Sejatinya, kita tidak boleh lupa akan makna luhur Sumpah Pemuda, ikrar yang sudah diucapkan pemuda-pemudi terdahulu hendaknya terus dilestarikan nilai dan sarat maknanya. Seharusnya generasi muda makin cinta tanah air, makin bangga membudayakan segala aspek kehormatan tanah air. Bukan malah malu, merasa tidak keren, dan tidak bangga. 

Justru kita harus bangga akan budaya Indonesia yang saat ini tengah mendunia, terutama bahasa Indonesia yang saat ini kabarnya tengah digemari anak muda Vietnam. Sebagian besar alasan mereka tertarik mempelajari bahasa Indonesia karena berkeinginan belajar tentang kekayaan Indonesia: seperti mengulik resep kuliner, seni, budaya, hingga wisata. Selain itu, bahasa Vietnam secara struktur mirip dengan Bahasa Indonesia, bahkan frasanya pun sama, sehingga warga Vietnam tidak terlalu kesulitan untuk memahaminya. (Siti Nurfitriani, akses 5 Desember 2020).

Dari lika-liku permasalahan krisis cinta bahasa Indonesia, saya berspekulasi bahwa yang menjadi faktor kurang dicintainya bahasa Indonesia adalah karena masyarakat Indonesia tidak dibiasakan, tidak diajarkan, dan tidak diberi penyuluhan yang cukup akan pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Misalnya saja, kita perlu memasukkan pembelajaran KBBI dalam pelajaran Bahasa Indonesia di kurikulum sekolah, mempelajari PUEBI dengan tuntas hingga mempraktikkan dalam pembuatan karangan. Sejatinya, memang sistem pendidikan negara Indonesialah yang harusnya berbenah. 

Selain sistem pendidikannya, asupan rasa cinta tanah air pun perlu diperkuat bisa dengan bangga menggunakan produk dalam negeri, ikut berpartisipasi pada Hari Kemerdekaan Indonesia, juga bisa ikut andil memajukan seni dan sastra Indonesia dengan melahirkan berbagai karya. Ini diharapkan generasi muda dan seluruh masyarakatnya timbul rasa kepemilikan terhadap aset bangsa Indonesia, termasuk bahasanya.

Cintai bahasa Indonesia dengan utuh, mengaguminya dengan penuh, mempraktikkannya dengan sungguh-sungguh. Jika engkau kagum dengan bahasa persatuan, engkau tahu bagaimana kerasnya perjuangan pahlawan. Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing. Cinta bahasa Indonesia, cinta tanah air kita!

DAFTAR PUSTAKA

Apriyono, Ahmad. 2017. Milenial Lebih Suka Berbahasa Inggris, Bagaimana Sikap Orang Tua? (diakses tanggal 3 Desember)

Nurfitriani, Siti. 2019. Suka Duka Melatih Lidah Vietnam Mengucap Bahasa Indonesia.  (diakses tanggal 4 Desember 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun