"Aku ingin menua bersamamu, anak-anak pasti punya kehidupan masing-masing, meninggalkan kita berdua. Lalu hanya ada aku dan kamu. Aku ingin punya rumah di desa, bisa melihara ayam, bebek dan syukur-syukur punya kambing". Khayalannya di satu sore saat berdua menikmati senja di lereng Sumbing Sindoro
Sambil menyeruput teh panas dia melanjutkan apa yang jadi angan-angannya.
"Aku akan selalu disampingmu, menggunakan sisa waktuku untuk menebus masa-masa dimana aku sering meninggalkan kamu" Hatiku meleleh, senja sore itu menjadi syahdu
Andai saat itu tak banyak orang di sekitar kami, mungkin aku sudah memeluknya untuk mengungkapkan betapa aku bahagia saat itu.
 Dua tahun semenjak janji itu, dia pergi meninggalkan aku sendiri. Raganya tak sanggup menahan segala dera sakit yang selama ini sudah bersarang. Dia menyerah dan pulang ke rumah Allah di saat petang hampir luruh ke bumi.
 Kini 36 purnama telah berlalu, semenjak kepulangannya menghadap Kekasihnya, aku sendiri, di rumah ini, namun aku tidak sibuk mengurus ternak seperti keinginannya dulu. Aku sibuk mengenang kembali ribuan kenangan yang tertinggal di lubuk hatiku yang pilu, sibuk mengeja takdir yang belum bisa kudamaikan dengan sendiriku.
 Terkadang aku ingin berteriak menggugat Dia yang telah membawa suamiku, yang menjadikan angan-anganku menguap entah, namun aku merasa tidak pantas. Sebab cintaNya melebihi apapun di dunia ini. CintaNya lah yang mengakhirkan derita suami. CintaNyalah yang nanti akan mempersatukan kami kembali di JannahNya,
Insya Allah.
Kedu 23 Januari 22
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H