PK 22 2 18
oleh Selsa
Inilah sepenggalan puisi yang menggambarkan kesedihan atas robohnya Jembatan Progo yang menyimpan nilai sejarah kelam pada saat perjuangan masa lalu negeri ini di daerah Temanggung.
Satu bukti sejarah kelam masa Agresi Belanda (tahun 1949) dan perjuangan pribumi Temanggung, lenyap sudah. Bersama dengan kisah sejarah yang memudar oleh waktu, kini jembatan bersejarah dimana diperkirakan sekitar 3000-an pribumi tidak bersalah harus mati sia-sia oleh sebab ketakutan Belanda dengan perjuangan rakyat Temanggung itu tinggal kenangan.
Ke-3000an pejuang RI ini dipenggal atau ditembak kepalanya di jembatan Progo ini, jasad mereka lalu dibuang di sungai yang berada di bawahnya.
Semalam 21 Februari 2018 jembatan tua ini ambruk, setelah semalaman Temanggung diterpa hujan deras,belum begitu jelas sebab ambruknya, entah karena banjir semalam atau memang karena kelapukan bahan yang menyangga jembatan itu.
Berita sedih ini sekiranya bisa menjadikan pelajaran bagi para pejabat yang bertanggung jawab terhadap aset sejarah yang nilainya sangatlah tinggi. Sebab sudah lama tanda-tanda kerusakan yang terlihat pada jembatan ini, namun meski silih berganti penguasa di Kabupaten Temanggung, pada kenyataannya jembatan ini tidak tersentuh dengan baik.
Seandainya boleh usul, Jembatan Progo ini bisa dijadikan monumen, dengan diorama yang mengisahkan tentang pembantaian pejuang di masa itu, tentu akan menarik generasi kini untuk mempelajari dan mengetahui kisah kelam sejarahnya.
Kini tinggal menunggu saja kesigapan Pemerintah Daerah (atau ini kewenangan Pemerintah Propinsi?) untuk tetap menyelamatkan aset sejarah bangsa.
Dan ini bukan hanya harapan personal namun harapan banyak warga Temanggung khususnya dan Indonesia umumnya.Â