Mohon tunggu...
Selsa
Selsa Mohon Tunggu... Administrasi - blogger

aku wanita biasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Monolog Rindu

27 November 2016   19:44 Diperbarui: 27 November 2016   19:49 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : Granito Ibrahim

Sejatinya aku benci sekali dengan  rindu. Aku ingin enyahkan satu kata itu dari kehidupanku kini atau nanti. Sebab kata itu selalu membuat perih jiwa dan sesakkan dada. Betapa tidak!, Ia, rindu itu, selalu sanggup membuatku terkapar, meradang, bahkan layaknya ajal sudah mendekat, jiwaku mengerang-ngerang, menunggu kematian datang. Tak jelas apa obatnya selain sebuah pertemuan dengan yang kurindui. 

Pernah pada satu masa, aku ingin membunuh rindu itu, agar dia tak membayangi langkahku, agar ia tak selalu menyatu di jiwaku, namun sekuat aku ingin membunuhnya, sekuat itu pula rindu itu memainkan peranan di hatiku. Ia mengaduk-aduk ruang jiwa, ia mengobrak-abrik akal sehat, ia pula sanggup membuat sakau pikiranku.

Pernah terjadi dalam hidupku,sebelum pergi kekasihku berkata "pandanglah aku sepuasmu, agar kepergianku yang sementara ini tak membuatmu tersiksa oleh rindu".

Aku terdiam, aku pandangi dia, dari ujung rambutnya, turun ke wajahnya. Aku usap wajahnya, dari dahinya, pipinya, hidungnya, bibirnya...

Sedetik, semenit, sejam...waktu berlalu sampai aku merasa telah cukup, bekalku untuk tidak akan merindunya beberapa waktu hingga dia kembali ke pelukanku lagi.

Tapi apa yang terjadi? semenit setelah bayangan dan wajah kekasihku menghilang dari mataku, rindu memainkan perannya dengan sempurna. Ia, rindu itu melukakan jiwaku, mencabik-cabik hatiku, hingga berdarah-darah. Rindu itu memunculkan wajah kekasihku, rindu itu menghadirkan hasratku untuk mencumbui kekasihku, untuk menciumi wajah yang baru saja aku usap, rindu itu bahkan seakan berniat membunuhku dengan  wajah kekasihku sebagai senjata ampuhnya.

Ah..rindu, rindu itu kejam, tak punya nurani tuk sedikit belas kasihan pada jiwa-jiwa sepi seperti diriku, ia selalu saja datang, datang dan datang, menyiksa tanpa ampun   Itulah mengapa aku membenci rindu.

Malam ini pula, aku akan membunuhnya, atau akan aku makamkan dia di lembah berkabut agar tak perlu lagu menghampiri lalu kembali menyakiti jiwaku.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun