"Baik ma, semalam telpon, katanya lagi diajak mamanya ke Bandung, dia nitip salam buat eyang yang mewarisi cantiknya"sahutku. Vira adalah anak semata wayangku yang kini tinggal bersama ibunya, Kania. Sejak perceraianku dengan ibunya 5 tahun yang silam aku memang mengalah agar Vira ikut ibunya, aku berpikir seorang ibu pasti bisa lebih jeli membimbing anaknya. Meski sebenarnya Vira juga sangat dekat denganku, toh setiap 2 minggu atau sebulan sekali aku juga menyempatkan mengajak Vira jalan, dan bahkan tiap hari aku selalu telpon ataupun SMS ke dia. Dan selama ini hubungan kami masih baik-baik saja, bahkan meski Kania kini sudah menikah lagi.
"Kau melamun mas?, dah nyampai nih" mama mengejutkanku. Segera aku tepikan mobil, dan berhenti.
"Gak melamun kok ma, ok ma, sekarang kita mau kemana?"Â
"Mama pengen jalan susuri kebun karet ini mas"
"Ayo ma" kami keluar dari mobil dan berjalan menuju perkebunan karet.
Perkebunan masih sepi, sesekali terlihat petani berjalan untuk memeriksa batok kecil tempat penampungan karet mentah. Kami berjalan bersisian namun tak banyak kata keluar dari bibir mama, padahal aku sangat berharap mama mau menceritakan mengapa beliau memintaku mengantar ke kebun karet yang sangat jauh dari kota kami.
***
Â
Â
"Mama akan menceritakan semua, mama pikir sekarang saatnya mama menceritakan semuanya, karena mama sudah tua, sudah sering sakit-sakitan, mama tidak ingin meninggal membawa sebuah rahasia yang sudah mama simpan rapat-rapat selama ini" kata mama, lagi-lagi dengan bibir bergetar.Â
"Kenapa mama memintamu untuk mengantar ke kebun karet mas? Karena kisah mama bersemi di antara rerimbun pohon karet seperti ini" Mama memulai ceitanya. "Di perkebuan karet ini mama ingin bernostalgia terhadap masa percintaan mama dahulu nak" lanjutnya.