Mohon tunggu...
Selsa
Selsa Mohon Tunggu... Administrasi - blogger

aku wanita biasa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Akhir Kisah

4 November 2015   21:48 Diperbarui: 4 November 2015   22:14 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Perpisahan, betapapun itu adalah duka dan mengingatmu bak memandang siluet di ujung senja, ada sosok, namun tak ada rupa,begitulah adamu di diriku, saat ini

Tak seharusnya aku mengingatmu lagi, karena itu hanya akan membuat hati tertusuk belati lalu darah mengalir di sekujur rasaku. Entah sebenarnya sudah berapa abad kita terpisah oleh jarak, aku tak pernah ingin mengingatnya. Hanya saja setiap kali malam berbingkai purnama, saat itulah lintasan kenangan kita mengharu biru dengan liarnya di pikiranku. Aku mengutuk diri yang tak bisa membuang ataupun mengubur nostalgi milik kita agar tak lagi rasakan duka mencipta di ruang kalbu. Sedemikian mendalam kisah cinta kita mungkin itu alasan mengapa aku tak serta merta sanggup menghapusnya dari memori, meski akhir dari semuanya adalah tragis.

Yah tragis, sebab kau meninggalkan aku dalam kepekatan duka yang teramat pahit tuk kucecap seorang diri. kau pergi tanpa pesan, tanpa sepatah kata sebagai tanda untukku agar aku berhenti mengaharapkanmu.  Usia jalinan kita hampir tak terhitung oleh jemari, jalan yang kita tapaki pun telah panjang, juga segenap rasa dan setiaku aku persembahkan hanya untukmu. Mengapa kau tega berlalu begitu saja? Hingga ke sepuluh purnama kepergianmu, saat aku masih mengharap kepulanganmu, aku dapati kenyataan kau telah nikmati kebersamaan dengan yang lain.

Sakit, tak terperi tentunya, tanya dan harapan aku ungkapkan kepadamu saat itu, namun kau hanya terdiam, tanpa pernah memberikan jawaban dari segala tanya dan harapan itu. Kini setelah sekian lama sejak perpisahan pilu itu, aku belum sanggup bangun dari keterpurukan, aku masih selalu menangis tatkala kenanganmu hadir. Bukan kepergianmu yang kini aku sesali, tapi aku menangisi kebodohanku tatkala mempersembahkan cinta dan kesetiaanku tanpa batas kepadamu. Karena kini aku tahu, kau tak sepatutnya menerima kesucian hatiku.

Kini, hujan di petang ini, mengharuskanku mengingatmu, sebab rinai di awal malamlah cerita kita bergulir, memenuhi kisah-kisah yang pernah kita lewati bersama. Deras di luar kamar, belumlah cukup menggambarkan derasnya air mata yang aku cucurkan manakala namamu hadir. Pada kelam malam saja bisa aku curahkan segala pedih dan berharap embun di esok hari kan hapuskan sembab jiwaku, lalu mengubahnya menjadi harapan, hari indah akan tiba meski entah kapan. 

***

ilustrasi gambar : Gilang Rahmawati 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun