Mohon tunggu...
Selsa
Selsa Mohon Tunggu... Administrasi - blogger

aku wanita biasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nyanyian Penyair tuk Negeri

8 Februari 2012   10:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:54 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_161397" align="aligncenter" width="300" caption="by google"][/caption] Senja merayap, tergantikan kelam malam, penyair itu masih saja berkutat pada pena dan selembar kertas usang. Jarinya mulai menari menterjemahkan keinginan jiwanya. Kadang dia tertegun, matanya nanar menatap dunia luar yang mulai menggelap lewat kisi jendela. Tinta hitamnya tergores tuk menguraikan impian yang menyesakkan dadanya. Dari mulutnya, terdengar lirih lagu pujaan tentang nusa. Namun lagu itu lebih terasa menyayat manakala tergambar di matanya betapa negeri yang dia kagumi ini tengah terpuruk. Tiba tiba jarinya terhenti manakala terlintas nama nama penjilat yang mengotori bumi ibu pertiwi ini. Kegeraman terpancar pada gemeletuk giginya. Dia muak namun tak bisa berbuat apa apa selain mengeraskan volume lagu pujian tuk negeri dari bibir kelunya. Lagu Padamu Negeri pun berkumandang di tengah hening malam sunyi. Tak jarang orang menggangap gila pada penyair itu karena tak bisa memahami jalan pikirnya. Tak satupun tangan rela bersentuhan dengan tanganya yang sebenarnya telah melahirkan berpuluh puluh syair tentang kecintaan pada negeri. Namun penyair itu tak pernah sakit hati, di otaknya hanya ada satu impian tentang negeri damai yang jauh dari kerakusan penguasa yang membuat rakyat sengsara. Malam semakin sunyi, namun penyair itu belum berhenti bernyanyi meski pena telah ia simpan di kotaknya dan kertas usang telah ia lipat. Kali ini kidung sedih buat bumi pertiwi terdengar bak gaung membahana di antara tebing pegunungan. Jarinya yang biasa gemulai menarikan mata pena, kini mengeras dan mengepal. Di matanya wajah wajah penguasa dan penjilat negeri berseliweran seakan mengejeknya. Airmatanya mengalir deras menciptakan lautan dendam yang membara,dan dia terus bernyanyi, Padamu Negeri.......  Tanpa lelah, tanpa henti, mengiringi impiannya.

**********************

terinspirai dari teman fb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun