Kalau kau katakan aku berhati mulia, kau salah teman, aku masih perempuan biasa, perempuan dengan kodrat yang sama dengan yang lainnya, mudah cemburu, mudah menangis, dan kerap memendam perasaan seorang diri. Namun saat aku melakukan tindakan ini tentu aku sudah memikirkan banyak hal yang akan aku terima setelahnya.
Perempuan mana yang sudi membagikan kasih sayang suami dengan yang lain? tentu jumlahnya bisa kita hitung dengan jari di antara seribunya. Dan aku melakukannya...
Kalau kau tanya mengapa aku bisa senekat ini? aku akan jawab semua karena aku sayang suamiku. Tentu kau akan berkata "itu alasan klise, namun sanggupkah kamu?"Â Aku jawab dengan tegas teman, aku sanggup dan itu sudah terjadi meski aku tertatih menjaga perasaanku.
Perempuan itu sangat mencintai suamiku, dan itu juga aku lihat dari sinar matanya, tatkala dia datang bersama abang tertuanya ke rumahku. Abang lelakinya memintaku untuk merelakan suamiku mempersunting atau tepatnya dipersunting adik perempuannya.
Saat itu tentu gundah gulana meraja di dada. Suamiku yang telah mendampingiku belasan tahun harus aku relakan menikah dengan perempuan lain. Ah... konyol kalau aku mengiyakan bukan?. Tapi kenyataannya aku menganggukkan kepala, aku memberikan suamiku padanya, aku merelakan pelukannya untuk memeluk tubuh perempuan itu nantinya.
Perempuan itu adalah anak majikan suamiku, dia sering meminta suamiku mengantarkannya ke berbagai tempat yang akan dia kunjungi sebagai pedagang kain. Suamiku supir keluarga kaya itu. Hubungan mereka baik dan saling menghormati, itu yang aku lihat. Pun hubungan kami dengan keluarga besar itu, sangat baik. Sejak masih bujang hingga kami berumah tangga, suamiku telah bekerja untuk mereka, itulah yang membuat hubungan kami sudah sangat dekat.
Namun tatkala prahara menghampiri perempuan itu, segalanya turut berubah, termasuk keadaan rumah tangga kami. Perempuan yang usianya terpaut 10 tahun dari suamiku dan belum mempunyai suami itu mengalami tragedi perkoasaan. Seseorang masuk kamarnya dan berhasil menodai kesuciannya. Mungkin peritiwa mengenaskan itu takkan berlanjut karena jiwa perempuan itu telah ditangani seorang psikolog dan juga ustadzah dengan baik, namun karena akibat dari perkosaan itu menjadikan dia hamil, itu yang kemudian mau tidak mau menyeret keluargaku atau tepatnya suamiku menjadi bagian dari kisah tragedi itu, karena tanpa diduga selama ini perempuan itu telah menyimpan cinta untuk suamiku.
Karena berbagai pertimbangan, akhirnya perempuan itu mau menjaga janin yang belum ia ketahui siapa ayahnya. Sejauh ini kasus perkosaan memang telah ditutup oleh keluarga itu. Mereka malu mengungkap kasus yang bagi mereka adalah aib besar. Dan akhirnya keluarga besar itu membuat skenario atau apalah namanya. Skenario itu (kalau boleh aku menyebutnya demikian) melibatkan suamiku... Keluarga itu meminta suamiku untuk menikahi anaknya guna menutupi kehamilannya. Dan aku menyetujuinya.
Jangan kau kira aku gila, atau lebih parah lagi aku "menjual" suami, saat kau tahu syarat apa yang aku ajukan pada mereka, teman. Karena yang aku lakukan semua demi kebaikan suami, aku terlalu mencintainya. Sudah lebih dari 5 tahun suamiku menderita asam urat dan berbagai penyakit yang menyertainya seperti darah tinggi, diabetes dan terkadang sesak nafas. Meski perawakannya masih gagah, toh saat sakit ia terlihat lemah layaknya daun yang hampir layu. Sebagai supir biasa, tentulah gaji tidak akan mencukupi untuk pengobatan yang layak buat suamiku tatkala penyakitnya kambuh, belum biaya sekolah dua anak kami yang masih duduk di sekolah lanjutan pertama.Kadang meski dalam keadaan sakit, suamiku tetap bekerja hanya agar gajinya utuh dibayarkan sang majikan.Aku tak bisa membantu banyak untuk meningkatkan keadaan perekonomian keluarga, hasil laba dari berdagang gorengan hanya cukup untuk bekal uang saku sekolah anak dan membeli keperluan sekolahnya.Kenyataan ini yang membuat aku merasa kasihan pada suami.
Sebenarnya syarat yang aku ajukan tidaklah terlalu berat buat keluarga besar yang kaya raya itu. teman. Dengan jujur aku katakan tentang keadaan suamiku pada si abang dan perempuan itu, dan mereka berdua tetap mau menerima suamiku. Untuk itu aku meminta agar mereka sangat menjaga keadaan suamiku, terlebih saat suamiku sakit. Lagi-lagi kau akan berkata "aku gila" tatkala mengetahui bahwa perjanjian itu aku sahkan di depan saksi dan seorang pengacara. Aku berbuat begitu sebagai sebuah kekhawatiran akan kelanjutan nasib suamiku kelak. Aku tak ingin suamiku menderita...
Kini setelah anak yang dikandung perempuan itu lahir, hubunganku dengan suami masih baik-baik saja. Namun jangan kau tanya bagaimana perasaanku saat mereka menikah ya teman?. Aku tak menghadirinya, aku memilih pulang dulu ke kampung, aku hanya ingin menjaga hatiku dan hati anak-anakku. Alhamdulillah anak-anak memahami keadaan ini, karena sejauh ini mereka tak protes padaku ataupun ke ayahnya. Dan awal-awal aku harus berpisah ranjang dengan suami dan merelakan dia pulang ke rumah lain, tentu itu membuat perasaan tak menentu, bayangan-bayangan suami tengah asyik masyuk dengan perempuan itu kerap menghantuiku, dan itu manyakitkan hati.
Semua sudah menjadi pilihan, bagiku mengantarkan suami pada kehidupan yang "layak" adalah pilihan tepat, aku tak perlu menyesalinya. Pun saat akhirnya aku harus benar-benar berpisah dengan suami karena aku memilih pulang kampung bersama anak-anak, itu adalah pilihan yang tak perlu aku ratapi lagi. Aku harus pulang untuk mengurus beberapa petak sawah warisan orang tua yang semenjak ayahku meninggal menjadi terbengkalai. Keputusan pulang kampung sebenarnya punya tujuan lain selain memenuhi permintaan ibuku, agar aku tak terlalu sering melihat kemesraan lelaki yang hingga detik ini masih sah sebagai suamiku itu dengan perempuan lain. Rasanya beban itu yang kini sudah tak ingin aku panggul, beban bathin melihat kemesraan suami denga perempuan lain.
Teman, ini sekelumit kisahku dengan suamiku, yang selalu aku doakan untuk kebahagiaannya, kesehatannya dan juga kehidupannya. Jangan kau tanya bagaimana perasaan suamiku padaku setelah menikah dengan perempuan lain ya?. Aku takkan menjawabnya, aku tak ingin salah bicara dan salah menduga, biarlah kisah cintaku dengan suami tetap terpelihara dengan indah.
Teman, hari mulai siang, aku harus pamit dulu, sawahku membutuhkan olahan tanganku, semoga besok setelah sahur, kita bisa berbincang lagi si surau tua ini....
Takdir tak memerlukan air mata
***
*sumbing, 7 7 14
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H